Tapi hujan semakin deras, dan jiwa Banyu semakin larut di dalamnya. Saya bisa melihat jiwa saya menari bersama Banyu di bawah derasnya hujan. Tertawa lepas, lupa pada raganya. Ya ya, saya akan membiarkannya lagi kali ini.
Membiarkan sang jiwa Amarta dan Banyu hidup. Karena ini sudah musim kemarau. Dan jiwa kami hanya akan hidup jika ada hujan.
Lalu hujan mulai berhenti perlahan. Jiwa Banyu memeluk erat jiwa saya, mengecup bibirnya, dan membisikkan 'terima kasih' ke telinga.
Hujan berhenti. Jiwa kami telah pulang ke raganya masing-masing.
Ini yang terkahir kalinya. Tidak akan ada lagi telepati, tidak ada lagi imajinasi, tidak ada lagi ilusi dan mimpi semu.
Saya pun berdiri bersiap untuk pulang. Saya melihat Banyu sudah tidak lagi ada di seberang sana. Ah sebodo. Kenapa saya harus peduli.
Tapi ketika saya hendak berbalik, sebuah tangan menarik tangan saya.
Tangan seorang Banyu.
"Terima kasih, Amarta"
Dan akhirnya untuk yang pertama kalinya saya bisa mencium aroma raga Banyu, mendengar suara nyata Banyu, dan melihat senyum dari raga seorang Banyu. Bukan lagi ilusi.
*Catatan kecil sepulang rapat di paviliun tengah halaman gedung kampus. Dan saya baru menyadari, betapa romantisnya gedung kampus saya ha-ha-ha.