Fenomena terpilihnya artis dan anak pejabat sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di Indonesia telah menarik perhatian publik dan memunculkan banyak perdebatan. Dalam beberapa tahun terakhir, nama-nama besar dari industri hiburan dan keturunan pejabat terkemuka terlihat semakin sering menghiasi kursi parlemen. Dari kalangan selebritas hingga keluarga dinasti politik, mereka berhasil memenangkan hati para pemilih dan menduduki posisi strategis dalam pembuatan kebijakan.
Apa yang sebenarnya menyebabkan fenomena ini terus terjadi di Indonesia? Apakah hal ini mencerminkan kekuatan demokrasi atau justru mengungkap kelemahan dalam sistem politik kita? Dalam opini ini, saya akan membahas faktor-faktor yang melatarbelakangi fenomena ini, menggunakan teori-teori politik dan sosiologi sebagai landasan, serta mempertimbangkan konteks spesifik demokrasi Indonesia.
Popularitas sebagai Modal Politik
Salah satu alasan mengapa artis kerap berhasil masuk ke dalam parlemen adalah karena mereka memiliki modal sosial** yang kuat, yang dalam istilah Pierre Bourdieu dapat diterjemahkan sebagai daya tarik personal yang sudah dikenal luas oleh masyarakat. Popularitas yang dimiliki oleh para artis berperan sebagai modal sosial dan budaya yang dapat dengan mudah dikapitalisasi untuk memenangkan suara dalam pemilu.
Dalam masyarakat dengan literasi politik yang masih berkembang seperti di Indonesia, pemilih sering kali menggunakan "cue" atau isyarat sederhana untuk menentukan pilihannya. John Zaller, dalam teori komunikasi politiknya, menjelaskan bahwa pemilih sering kali mengambil keputusan berdasarkan informasi yang mereka terima, di mana figur publik seperti artis memberikan isyarat positif karena mereka sudah dikenal, diikuti, dan "teruji" di mata publik. Faktor inilah yang kemudian membuat banyak artis lebih mudah memenangkan suara dibandingkan politisi baru yang tidak memiliki latar belakang populer.
Namun, ini menimbulkan pertanyaan penting tentang kompetensi politik. Apakah popularitas artis otomatis membuat mereka layak menjadi pengambil kebijakan? Dalam banyak kasus, artis yang terpilih mungkin tidak memiliki pengalaman politik atau pemahaman mendalam tentang kebijakan publik, tetapi status mereka sebagai selebritas memberi mereka keuntungan besar dalam persaingan politik.
Dinasti Politik: Mewariskan Kekuasaan
Selain artis, fenomena masuknya anak-anak pejabat atau tokoh politik ternama ke dalam parlemen juga menyoroti dinasti politik yang berkembang di Indonesia. Fenomena ini dijelaskan oleh C. Wright Mills melalui teorinya tentang elitisme, di mana kekuasaan cenderung terkonsentrasi di tangan segelintir kelompok elit yang terus-menerus mendominasi ruang politik, ekonomi, dan sosial.
Anak-anak dari keluarga pejabat memiliki akses mudah ke jaringan kekuasaan yang sudah mapan dan sumber daya yang lebih besar. Selain itu, mereka juga mewarisi modal simbolik dari orang tua mereka yang sering kali sudah memiliki pengaruh besar di masyarakat. Dalam konteks ini, partai politik juga sering kali mendukung figur dari dinasti politik karena mereka dianggap sebagai penerus yang bisa melanjutkan jaringan kekuasaan dan pengaruh.
Sebagai contoh, nama besar dalam keluarga politik seperti keluarga Soekarno terus mendominasi panggung politik Indonesia. Dinasti ini tidak hanya mengandalkan nama besar dari leluhur mereka, tetapi juga memanfaatkan koneksi politik, sumber daya finansial, dan pengaruh yang telah terbangun selama beberapa dekade. Maurice Duverger, dalam kajiannya tentang partai politik, menyoroti bahwa partai politik cenderung menjadi instrumen untuk melanggengkan kekuasaan bagi kelompok elit yang sudah mapan, dan hal ini terlihat jelas dalam konteks politik dinasti di Indonesia.
Literasi Politik yang Rendah
Salah satu tantangan besar yang dihadapi oleh demokrasi di Indonesia adalah literasi politik yang relatif rendah di kalangan masyarakat. Pemilih yang memiliki pemahaman politik yang terbatas sering kali cenderung memilih berdasarkan populisme, bukan berdasarkan kualifikasi atau program kebijakan kandidat. Dalam konteks ini, artis dan anak pejabat mendapatkan keuntungan karena nama mereka sudah dikenal luas dan dianggap sebagai figur "aman" atau "terpercaya."
Anthony Downs, dalam teorinya tentang pilihan rasional dalam demokrasi, berpendapat bahwa pemilih sering kali mengambil keputusan politik dengan mempertimbangkan biaya dan manfaat secara minimal. Di Indonesia, pemilih mungkin tidak selalu memiliki akses atau kesempatan untuk memahami kebijakan yang ditawarkan kandidat, sehingga mereka cenderung memilih figur yang mereka kenal. Akibatnya, artis dan anak pejabat lebih mudah memenangkan suara, meskipun kualitas atau kualifikasi politik mereka dipertanyakan.
Implikasi terhadap Demokrasi
Fenomena ini memiliki implikasi besar bagi kualitas demokrasi di Indonesia. Di satu sisi, masuknya artis dan anak pejabat ke parlemen mungkin mencerminkan keterbukaan politik di mana siapa pun, terlepas dari latar belakangnya, dapat mencalonkan diri dan terpilih. Ini mencerminkan prinsip kesetaraan dalam demokrasi di mana semua warga negara memiliki hak yang sama untuk berpartisipasi dalam politik.
Namun, di sisi lain, fenomena ini juga mengungkap kelemahan dalam demokrasi Indonesia. Ketika popularitas dan koneksi politik lebih diutamakan daripada kompetensi, maka kualitas pengambilan kebijakan bisa terpengaruh. Kebijakan yang dihasilkan mungkin tidak sepenuhnya mencerminkan kebutuhan masyarakat, melainkan lebih dipengaruhi oleh kepentingan elit atau popularitas semata.
Masalah ini juga diperparah oleh polarisasi politik yang diperkuat oleh media sosial. Di era digital saat ini, informasi yang disebarkan melalui media sosial sering kali tidak akurat atau dipengaruhi oleh kepentingan tertentu. Hoaks, disinformasi, dan kampanye hitam menjadi alat bagi pihak-pihak tertentu untuk menggiring opini publik, yang sering kali membuat pemilih tidak dapat membuat keputusan yang benar-benar rasional.
Masuknya artis dan anak pejabat ke dalam parlemen Indonesia mencerminkan beberapa karakteristik yang unik dalam sistem demokrasi kita. Meskipun hal ini menunjukkan keterbukaan demokrasi, di mana siapa pun bisa mencalonkan diri dan terpilih, ada kekhawatiran bahwa fenomena ini dapat menurunkan kualitas pengambilan kebijakan.
Sebagai langkah maju, penting untuk memperkuat literasi politik di kalangan masyarakat dan memastikan bahwa partai politik lebih fokus pada kualifikasi dan program kebijakan, bukan hanya popularitas. Selain itu, perlu ada upaya yang lebih besar untuk mengurangi pengaruh dinasti politik dan memastikan bahwa kekuasaan politik tidak hanya diwariskan dari generasi ke generasi, tetapi terbuka bagi semua warga negara yang kompeten.
Demokrasi Indonesia adalah sebuah perjalanan panjang, dan fenomena ini adalah bagian dari proses evolusi politik yang harus dihadapi dengan hati-hati dan kritis.
Okza Hendrian., M.A
Peneliti di Sygma Research and Consulting
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI