Usulan Prabowo Subianto untuk membentuk kabinet dengan 40 menteri pada periode pemerintahannya ke depan mengundang berbagai pandangan dari kalangan politik, akademisi, dan masyarakat. Langkah ini, yang menyimpang dari batas maksimal 34 menteri sebagaimana diatur dalam UU Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara, memicu pertanyaan tentang apakah kebijakan ini demi kepentingan rakyat atau lebih untuk mengakomodasi kepentingan kelompok politik tertentu.
Sebagai salah satu aktor politik terkemuka di Indonesia, Prabowo Subianto telah bertransformasi dari lawan politik menjadi bagian integral dari pemerintahan Jokowi sejak menjabat sebagai Menteri Pertahanan. Pengalaman ini memberikan pandangan berbeda mengenai langkah politik akomodatif yang diambilnya. Dengan latar belakang tersebut, mari kita telaah strategi politik akomodatif dalam konteks kepentingan rakyat dan kelompok, serta implikasinya terhadap pemerintahan.
Menurut Giovanni Sartori dalam Parties and Party Systems: A Framework for Analysis (1976), politik akomodatif merujuk pada pendekatan di mana berbagai kelompok politik yang berbeda, termasuk oposisi, diakomodasi dalam pemerintahan untuk menciptakan stabilitas dan mengurangi konflik. Hal ini sejalan dengan prinsip pluralisme politik, di mana pemerintahan berusaha untuk menciptakan konsensus di antara berbagai kekuatan politik. Dalam konteks ini, keputusan Prabowo untuk memperluas kabinetnya bisa dipahami sebagai upaya untuk merangkul berbagai kelompok politik dan memastikan stabilitas politik yang lebih luas.
Namun, Arend Lijphart, dalam bukunya Patterns of Democracy (1999), memperingatkan bahwa politik akomodatif bisa memiliki risiko menjadi sekadar bagi-bagi kursi untuk menjaga dukungan politik tanpa memberikan hasil nyata bagi rakyat. Ketika pengangkatan menteri lebih difokuskan pada kepentingan kelompok tertentu, ada bahaya bahwa efisiensi pemerintahan akan terganggu dan kebijakan yang dihasilkan cenderung tidak berpihak pada kepentingan publik.
Rencana Kabinet Prabowo dan Kepentingan Rakyat
Langkah Prabowo untuk mengusulkan 40 kementerian, termasuk kementerian baru seperti Kementerian Pangan Nasional dan Kementerian Perpajakan dan Penerimaan Negara, mencerminkan keinginannya untuk memperkuat pemerintahan di bidang-bidang yang dianggap strategis bagi pembangunan nasional. Sebagai negara dengan populasi yang besar dan wilayah yang luas, Indonesia memang membutuhkan perhatian khusus pada sektor-sektor ini. Penguatan struktur kabinet diharapkan dapat meningkatkan kinerja pemerintah dalam menghadapi tantangan yang lebih kompleks di masa mendatang.
Namun, perlu diingat bahwa penambahan kementerian harus sejalan dengan prinsip efisiensi dan efektifitas. Seperti yang dikemukakan oleh David Easton dalam teori Political System, keberhasilan pemerintahan diukur dari sejauh mana sistem politik dapat merespon input dari masyarakat dan menghasilkan output yang sesuai dengan kebutuhan rakyat. Jika penambahan kementerian hanya bertujuan untuk mengakomodasi kepentingan politik, maka efektivitas pemerintahan bisa dipertanyakan.
Selain itu, menurut Max Weber dalam konsepnya tentang birokrasi, pemerintahan yang efektif adalah pemerintahan yang mampu menjalankan tugas-tugasnya dengan birokrasi yang rasional, efisien, dan sesuai dengan aturan yang jelas. Dalam konteks ini, jika penambahan menteri hanya menghasilkan pembengkakan birokrasi tanpa peningkatan kinerja, maka kebijakan ini bisa dianggap kontra produktif bagi kepentingan rakyat.
Batasan Hukum dan Tantangan Efisiensi
Seperti yang diatur dalam UU Nomor 39 Tahun 2008, jumlah kementerian dibatasi maksimal 34. Usulan Prabowo untuk memperluas kabinet hingga 40 menteri memerlukan revisi hukum yang signifikan. Selayaknya pembentukan kementerian baru harus didasarkan pada kebutuhan yang jelas dan bukan semata-mata untuk akomodasi politik.
Meskipun Partai Gerindra berpendapat bahwa penambahan menteri ini adalah langkah yang wajar mengingat besarnya tantangan yang dihadapi negara, para kritikus politik menekankan pentingnya menjaga efisiensi dan efektivitas pemerintahan. Menurut mereka, penambahan kementerian yang tidak disertai dengan pembagian tugas yang jelas hanya akan menambah beban birokrasi tanpa memberikan manfaat nyata bagi rakyat.
Efek Terhadap Kepentingan Kelompok
Politik akomodatif yang dilakukan Prabowo bisa dipandang sebagai upaya untuk memperkuat dukungan politiknya di kalangan partai koalisi. Dengan menambahkan kementerian baru, ada ruang yang lebih besar untuk mengakomodasi kepentingan partai-partai politik yang mendukungnya. Hal ini bisa menjadi strategi yang efektif untuk menjaga stabilitas politik dan memastikan kelangsungan pemerintahan. Namun, jika penambahan menteri lebih banyak berfungsi sebagai bagi-bagi kekuasaan kepada elit politik, ini dapat menciptakan situasi di mana kebijakan lebih berpihak pada kelompok tertentu daripada rakyat luas.
C. Wright Mills, dalam The Power Elite (1956), mengemukakan bahwa dalam sistem politik yang didominasi oleh kelompok elit, keputusan politik cenderung diambil untuk melindungi kepentingan kelompok tersebut. Dalam konteks kabinet Prabowo, ada kekhawatiran bahwa langkah ini bisa lebih banyak menguntungkan kelompok elit politik daripada masyarakat umum.
Mengapa Kepentingan Rakyat Harus Diutamakan
Dalam analisis politik modern, salah satu tujuan utama pemerintahan adalah untuk melayani kepentingan rakyat secara luas, bukan hanya kelompok tertentu. Menurut Jean-Jacques Rousseau dalam The Social Contract, pemerintahan yang ideal adalah pemerintahan yang berfungsi sebagai perwakilan kehendak umum (general will) dari rakyat. Dalam hal ini, langkah politik akomodatif seperti yang dilakukan Prabowo harus dapat menunjukkan bahwa kebijakan yang diambil berpihak pada kesejahteraan rakyat secara keseluruhan.
Jika kabinet dengan 40 menteri ini dapat menghasilkan kebijakan yang progresif, memperkuat infrastruktur nasional, meningkatkan kesejahteraan sosial, dan memperbaiki layanan publik, maka langkah ini bisa dilihat sebagai strategi yang berpihak pada kepentingan rakyat. Namun, jika penambahan kementerian hanya menghasilkan pembagian jabatan yang lebih luas di antara partai-partai politik, maka kebijakan ini lebih menguntungkan kelompok elit.
Tantangan Politik Akomodatif
Politik akomodatif yang dilakukan Prabowo Subianto melalui usulan kabinet 40 menteri ini menghadapi tantangan besar antara melayani kepentingan rakyat atau kelompok politik. Seperti yang dijelaskan oleh Lijphart, politik akomodatif bisa menciptakan stabilitas, tetapi harus diimbangi dengan efisiensi dan akuntabilitas. Jika kabinet ini mampu menghadirkan solusi bagi tantangan besar yang dihadapi Indonesia, seperti ketahanan pangan dan perbaikan birokrasi, maka langkah ini bisa dianggap positif.
Namun, masyarakat perlu terus mengawasi implementasi kebijakan ini. Pemerintahan Prabowo harus dapat membuktikan bahwa kebijakan ini tidak hanya demi kepentingan kelompok elit politik, tetapi sungguh-sungguh untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Transparansi, efektivitas, dan tanggung jawab adalah kunci untuk menjawab keraguan publik terhadap langkah ini.
Okza Hendrian., M.A
Penulis adalah Peneliti di Sygma Research and Consulting fokus pada demokratisasi dan politik lokal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H