Janji yang Ambigu dan Peluang untuk Menghindari Tanggung Jawab
Seperti yang diungkapkan oleh Dr. Paul Cairney, politik janji sering kali dibuat dengan ambiguitas yang sengaja. Janji makan gratis dari Prabowo pada permukaannya terdengar sangat jelas dan menarik, tetapi tanpa rincian yang spesifik tentang menu yang dijanjikan, bagaimana logistik akan berjalan, atau sumber pembiayaan yang digunakan.Â
Dalam situasi ini, pemerintah dapat mengklaim bahwa mereka telah memenuhi janji, meskipun mungkin terjadi perubahan signifikan pada implementasinya, seperti mengganti nasi dengan mi instan atau susu sapi dengan susu ikan yang lebih murah dan lebih mudah diakses. Hal ini mengarah pada skenario di mana janji politik tampak dipenuhi di atas kertas, tetapi kualitas programnya tidak sesuai dengan ekspektasi publik.
Ambiguitas dalam janji makan gratis ini memungkinkan adanya fleksibilitas dalam interpretasi janji tersebut. Jika tidak ada penjelasan spesifik mengenai jenis makanan yang akan disediakan, politisi dapat dengan mudah mengubahnya sesuai dengan kondisi anggaran yang ada, sambil tetap mengklaim telah memenuhi janji.Â
Bagi masyarakat, ini bisa dianggap sebagai pelanggaran janji atau setidaknya penyimpangan dari harapan awal. Namun, dari perspektif politisi, perubahan ini dapat dianggap sebagai solusi pragmatis untuk mengatasi keterbatasan anggaran.
Realitas Ekonomi dan Keterbatasan Anggaran
Seperti yang dijelaskan oleh Prof. Andreas Schedler dalam The Politics of Unfulfilled Promises (1998), banyak janji politik yang gagal terealisasi karena tidak kompatibel dengan realitas ekonomi.Â
Dalam kasus kebijakan makan gratis ini, kita bisa melihat bahwa janji ambisius ini mungkin menghadapi tantangan besar terkait biaya. Menyediakan makanan gratis setiap hari untuk jutaan siswa di seluruh Indonesia tentu memerlukan anggaran yang sangat besar. Anggaran pendidikan yang ada mungkin tidak mampu menampung tambahan beban tersebut tanpa mengorbankan sektor lain yang juga penting.
Sebagai hasilnya, pemerintah mungkin dipaksa untuk mencari alternatif yang lebih murah, seperti mengganti komponen makanan yang awalnya dijanjikan. Mengganti nasi dengan mi instan atau susu sapi dengan susu ikan bisa menjadi cara untuk menekan biaya sambil tetap mengklaim bahwa program makan gratis tetap berjalan.Â
Namun, keputusan seperti ini menimbulkan pertanyaan serius tentang kualitas gizi dari makanan yang disediakan, serta apakah kebijakan ini masih sesuai dengan tujuan awalnya, yaitu meningkatkan kesehatan dan gizi siswa.
Lobi Politik dan Prioritas Anggaran