Ketokohan dalam partai politik bukanlah fenomena baru. Dalam buku "Political Parties: A Sociological Study of the Organisation of Political Parties in the Modern State" oleh Michael Banton, dijelaskan bahwa partai politik berbasis ketokohan sering muncul sebagai solusi dalam situasi ketidakstabilan politik.Â
Sedangkan di Indonesia, di mana perubahan politik sering kali diwarnai oleh ketidakpastian dan dinamika yang cepat, sebuah partai politik yang berfokus pada kepemimpinan individu seperti yang diusulkan oleh Anies Baswedan bisa menawarkan kepastian dan arah yang jelas.
Namun, model ini juga memiliki tantangan. Menurut buku "Theories of Political Representation" oleh David Beetham dan Ian Bridgman, partai politik berbasis ketokohan berpotensi mengarahkan perhatian dan kekuasaan pada sosok tertentu, mengabaikan kepentingan dan suara rakyat yang lebih luas.Â
Ini bisa menimbulkan masalah representasi, di mana keputusan politik lebih banyak dipengaruhi oleh kepentingan pribadi pemimpin ketimbang kebutuhan kolektif masyarakat.
Risiko Elitisme dan Konsekuensinya
Salah satu kekhawatiran utama mengenai partai politik berbasis ketokohan adalah potensi elitisme.Â
Nancy Fraser dalam bukunya "Redistribution or Recognition? A Philosophical Exchange" mengungkapkan bahwa elitisme politik dapat muncul ketika kekuasaan terkonsentrasi pada individu atau kelompok kecil, yang seringkali tidak mewakili kepentingan masyarakat luas.Â
Dalam konteks Indonesia, dengan sejarah politik yang kerap kali didominasi oleh individu atau kelompok tertentu, partai berbasis ketokohan bisa memperburuk situasi ini.
Elitisme dalam partai politik dapat mengurangi keterlibatan dan partisipasi rakyat dalam proses politik. Ketika keputusan lebih didominasi oleh sosok sentral atau kelompok kecil, ada risiko bahwa kebijakan yang diambil tidak selalu mencerminkan kepentingan dan kebutuhan masyarakat umum.Â
Hal ini berpotensi menciptakan jarak antara pemimpin dan rakyat, merusak prinsip-prinsip dasar demokrasi.