Menuliskan citarasa dalam kaitannya dengan kemelekan aksara di kalangan pribumi berawal di paruh kedua abad ke-19 di Hindia Belanda. Tepatnya di tahun 1857 ketika buku masak Kokki Bitja terbit perdana (hal. 92). Kesadaran akan pentingnya merekam berbagai macam olahan makanan, dimulai dari bahan-bahannya, cara pembuatan, serta rasanya memulai era baru dari berkembangnya buku masak dan ilmu makanan di Hindia-Belanda.
Menariknya pencatatan citarasa ini tak hanya berwujud dalam sebuah buku. Namun juga dalam catatan harian (diary book). Seperti misalnya Ietje Go Pheek Thoo yang sudah rajin menuliskan berbagai resep makanan semenjak tahun 1930-an. Resep makanan yang ditulisnya beragam. Mulai dari olahan makanan khas Tionghoa, Belanda, sampai Pribumi (hal. 168). Cara Ietje mengumpulkan resep-resep itupun menarik. Caranya, yakni saling mengutip resep dengan teman-temannya dan sebaliknya. Praktik penulisan resep makanan dengan cara saling kutip itu lebih didasarkan pada selera makanan yang paling disukai banyak orang. Rendang menjadi salah satu contohnya. Penulisan resep rendang tulisan tangan Ietje menjadi salah satu bukti bahwa makanan, menurut penulis buku, bisa menerabas ruang-ruang geografis dan ras (hal. 169).
Proyek ambisius dari Soekarno untuk membukukan berbagai resep olahan makanan di Indonesia terwujud pada 8 Februari 1967. Satu abad lebih setelah terbitnya buku masak Kokki Bitja. Buku tersebut diberi judul Buku Masakan Indonesia Mustika Rasa: Resep2 Masakan Indonesia dari Sabang sampai Merauke (hal.274). Buku ini menghimpun lebih dari 1600 resep masakan di Indonesia. Dengan distribusi jumlah resep paling dominan dari Jawa sejumlah 440 resep, hingga paling sedikit dari Timor sejumlah 12 resep. Ironis, kurang dari dua minggu setelah penerbitan buku masakan Indonesia cita-cita Presiden Soekarno ini, Soekarno menyerahkan kekuasaan kepada Soeharto, 20 Februari 1967. Disamping kelebihan serta kekurangannya, penulis buku berasumsi bahwa buku masakan Indonesia ini merupakan suatu perkembangan paling revolusioner dalam sejarah makanan di Indonesia (hal. 282).
 Istilah "makanan Indonesia" mungkin masih terdengar sangat asing di telinga sebagian besar masyarakat Indonesia. Rasa etnonasionalisme yang     masih terasa kental dalam beberapa olahan makanan di Indonesia membuktikan hal tersebut. Makanan belum dianggap sebagai suatu kesatuan identitas nasional bangsa Indonesia. Makanan dapat menjadi identitas politik bagi suatu bangsa. Apalagi di zaman serba digital yang semakin mereduksi batas-batas geografi, politik, dan budaya. Makanan bukan hanya urusan perut semata. Di dalamnya berkelindan proses historis, geografis, agraris, politis, hingga sosial-budaya. Selamat menikmati berbagai rasa makanan Indonesia dalam Jejak Rasa Nusantara Sejarah Makanan Indonesia. Selamat membaca.
Judul buku: Jejak Rasa Nusantara Sejarah Makanan IndonesiaÂ
Penulis: Fadly Rahman, S.S, M.A
Tahun terbit: 2016
Penerbit: PT. Gramedia Pustaka Utama
Ketebalan: 395 halaman
Oky Nugraha Putra, mahasiswa Ilmu Sejarah FIB Universitas Padjadjaran
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H