Mohon tunggu...
Oky Nugraha Putra
Oky Nugraha Putra Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Seorang manusia yang terus belajar, belajar, belajar pada siapapun.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

[Resensi Buku] Jejak Rasa Nusantara; Sejarah Makanan Indonesia

1 Juli 2017   07:52 Diperbarui: 1 Juli 2017   15:42 6909
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Takdir setiap bangsa bergantung dari apa yang mereka makan"~Jean Anthelme-Brillat Savarin (hal. 283)

 Sejarah panjang bangsa Indonesia menyediakan ruang untuk kajian kuliner yang oleh penulis buku ini dianggap sangat penting dan perlu untuk diteliti secara mendalam. Makanan massal di Indonesia yang saat ini familiar dengan lidah kita tidak begitu saja ada tanpa melalui proses historis yang sangat panjang. Dibalik kelezatan rendang khas Minang, capcay, nasi goreng khas Tiongkok, olahan kari khas Timur Tengah hingga masakan pribumi seperti pecel dan rawon, penulis mencoba menarasikan dengan apik keberadaan makanan-makanan tersebut di tengah masyarakat Indonesia sekarang.

Jejak Rasa Nusantara Sejarah Makanan Indonesia merupakan buku sejarah tentang perkembangan makanan di Indonesia. Mungkin jumlah sejarawan kuliner berlatar belakang sejarah akademik di Indonesia sangat langka. Salah satunya Fadly Rahman, penulis buku ini. Dalam bukunya ini, penulis buku menggunakan sumber yang sangat beragam mulai dari sumber artefak berupa prasasti, tulisan berupa naskah-naskah kuno, catatan-catatan perjalanan bangsa asing, hingga buku-buku masak masa kolonial, karya-karya tulis ilmiah masa kolonial, dan dokumen resmi pemerintahan kolonial.

Buku ini pada mulanya merupakan karya tulis ilmiah dari hasil akhir studi penulis buku di program studi S-2 Sejarah Universitas Gadjah Mada dari tahun 2012-2014 berupa tesis yang dipertahankan. Penulis buku cukup ambisius untuk melakukan penelitian tentang eksistensi makanan di Indonesia ini. Dengan menggunakan pendekatan waktu sejarah berdurasi panjang (long duration) dari sejarawan Perancis, Fernand Braudel. Braudel sendiri membagi konsep periode sejarah menjadi tiga masa; masa panjang terkait ruang-ruang geografis, masa sedang terkait siklus ekonomi, dan masa pendek terkait sejarah politik (hal. 12). Penulis buku memulai narasi sejarah makanan ini mulai dari abad ke-10 hingga pertengahan paruh kedua dekade 1960-an yakni ketika diterbitkannya buku masakan nasional Indonesia Mustika Rasa.

Makanan di Indonesia pada masa kerajaan tradisional semisal di Pulau Jawa tercantum dalam dua buah prasasti yang berangka tahun 901 dan 902. Dua buah prasasti tersebut bernama Taji dan Watukura (hal. 20). Dalam prasasti Watukura misalnya disebut salah satu makanan massal saat itu yaitu tau-hu (tahu). Olahan pangan dari kacang kedelai itu terindikasi merupakan makanan yang dibawa orang-orang dari daratan Tiongkok. Sedangkan dalam prasasti Taji olahan minuman berupa tuak telah dikenal pada masa itu. Sama seperti tahu, tuak pun terindikasi merupakan olahan pangan yang terpengaruh Tiongkok.

Pada umumnya panganan di Nusantara pada saat itu merupakan olahan pangan yang berasal dari beras, ikan asin yang dikeringkan, dan jenis-jenis minuman fermentasi. Laporan Ma Huan yang merupakan juru tulis perjalanan Laksamana Zheng He (Cheng Ho) menegaskan hal tersebut (hal. 25). Selain itu, dalam naskah kuno Sunda semisal Sanghyang Siksakandang Karesian (1518 M) dicantumkan penyiratan rupa-rupa rasa yang ada dalam makanan pribumi seperti rasa asin, pedas, pahit, masam, gurih, dan manis (hal. 29-30).

Datangnya para Muslim yang sekaligus juga menyebarkan ajaran Islam di Nusantara sepanjang abad ke-13 sampai 15 memengaruhi pula panganan masyarakat pada waktu itu. Pengharaman makan daging babi merupakan syarat utama ketika seseorang melakukan konversi kepercayaan kepada Islam. Proses islamisasi makanan ini tidak serta merta disambut dengan baik oleh masyarakat pribumi. Di Makassar misalnya, penguasa setempat berjanji tidak akan masuk Islam sebelum semua babi di kawasan hutan Bulo-bulo lenyap. Anehnya, pada suatu malam tiba-tiba semua babi di hutan itu lenyap. Sang penguasa pun menepati janjinya untuk masuk Islam diikuti oleh para pengikutnya (hal. 31-32).

Sepanjang masa kuno dimulai dari abad ke-10 hingga ke-17 penulisan resep-resep masakan dalam sumber tradisional sangat minim. Kalaupun ada itu hanya menyiratkan berbagai macam olahan pangan yang sudah jadi. Beberapa makanan dari masa kuno itu hingga kini bahkan masih ada seperti pecel dan rawon. Masyarakat pribumi pada waktu itu belum menyadari betul akan pentingnya perekaman sesuatu melalui tulisan. Baru di abad ke-18 munculah sebuah buku tentang bagaimana cara membudidayakan, mengolah serta mengonsumsi panganan yang ada di Nusantara. Buku tersebut berjudul Herbarium Amboinense ditulis oleh seorang ahli botani asal Jerman yang bekerja untuk VOC bernama Rumphius. Buku tersebut diterbitkan pada tahun 1741 M. Buku Rumphius tersebut mengubah citra kepulauan timur yang selama itu hanya dikenal sebagai kepulauan rempah-rempah. Ternyata banyak sekali potensi bahan makanan dari timur yang belum teramati secara baik. Satu hal penting dari karya Rumphius menurut penulis buku adalah jasanya dalam mengamati pemanfaatan berbagai macam vegetasi sehingga mendorong penduduk Ambon untuk mempertahankannya sebagai bahan makanan. Contohnya adalah sagu (hal. 34-37).

Rendang, olahan daging khas Minang yang pernah didaulat menjadi makanan paling enak di dunia tak luput dari perhatian penulis buku. Teknik mengolah daging untuk membuatnya tahan lama tersebut ternyata dipengaruhi oleh boga Luso-Asia. Boga Luso-Asia adalah berbagai macam makanan Asia yang terpengaruh pengolahan makanan khas Portugis. Teknik menggoreng daging sambil mengaduknya ditambah dengan sedikit air dalam kuali tersebut dikenal dengan nama bafado. Bafado ini menurut penulis buku hampir mirip dengan balado. Penulis buku berasumsi boleh jadi rendang dan balado ini merupakan teknik turunan dari bafado itu (hal. 51-52).

Keberadaan berbagai jenis makanan di Indonesia tidak bisa dilihat dari satu faktor saja. Dalam hal ini percampuran berbagai kebudayaan antara Barat, Timur Tengah, Asia Timur, dan Pribumi sendiri. Namun, hulu dari keberadaan berbagai macam bahan pangan ini yaitu lanskap alam Hindia-Belanda pada waktu itu. Orang yang dianggap berjasa dalam memperkembangkan tanah pertanian di Jawa pada masa itu adalah Caspar Georg Carl Reindwart (1773-1854). Dia merupakan seorang akademisi sekaligus ahli botani dari Belanda. Ketika mengepalai Departemen Pertanian, Seni, dan Pendidikan pemerintahan kolonial, Reindwart mengusahakan bagaimana caranya menyebarluaskan metode pertanian, mengadakan pendidikan umum, serta riset profesional di bidang botani. Semua ini diusahakannya untuk mengetahui tanaman apa saja yang mengandung nutrisi berguna serta apakah tanaman itu berfaedah untuk dikonsumsi sebagai makanan atau tidak (hal. 63-64).

Di paruh pertama abad ke-19 usaha-usaha untuk mereformasi selera makan masyarakat pribumi semakin menggeliat. Mulai dari kebijakan sewa tanah Raffles hingga penuturan sastrawan Melayu, Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi yang menyatakan bahwa "....tiadalah mereka itu gemar memakan daging dan minyak sapi, melainkan ikan dan sayur dan perkara2 yang busuk2, seperti tempoyak dan pekasam dan petai dan sebagainya...." (hal. 79). Munsyi mengganggap selera makan pribumi harus diubah. Para misionaris pun tak luput dari usaha untuk mereformasi selera makanan pribumi. Hingga muncul istilah yang disebut "kuliner teologi" (hal. 81-82).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun