Judul : Perpustakaan Kelamin, Buku dan Kelamin Dalam Pertaruhan
Penulis : Sanghyang Mughni Pancaniti
Penerbit : Semesta Institute
Tempat terbit : Bandung
Tahun terbit : 2016
Tebal halaman : 229
“Pada darahku, tanya menjadi kekuatan yang haram untuk didua”.
-Hal. 1
Kalimat yang menghantam alam bawah sadar mayoritas masyarakat itu akan kita dapati ketika kita membuka halaman nomor satu dalam novel ini. Berlatar di Desa Cigendel, Kecamatan Tanjungsari, Kabupaten Sumedang abad ke-21 novel ini mengisahkan tentang seorang pemuda yang sama sekali tidak disekolahkan sedari kecil oleh ibunya bernama Hariang dan sekelumit kisah hidupnya yang berkelindan antara cinta dan bakti pada ibunya, Pabukon Kadeudeuh, Drupadi kekasihnya, Barudak PAKU (Pasukan Anti Kuliah), dan Kang Ulun si pencari donor kelamin !
Menarik memang bila hanya menilik sekilas dari judul novel ini. Orang mungkin akan memiliki imajinasi yang menjijikan tentang perpustakaan yang berisi buku-buku tentang seks, kelamin, pelacuran, serta serba-serbi unsur pemuasan birahi lainnya. Atau tentang kelamin pria maupun wanita hasil pengawetan yang dipajang di perpustakaan agar para pembaca buku di perpustakaan itu merasakan sesuatu yang ‘berbeda’ daripada perpustakaan lainnya. Bukan tentang itu, bukan ! Novel ini sama sekali bukan tentang hal menjijikan seperti itu.
Dimulai di bagian pertama ketika Hariang kecil ingin membuka dan masuk ke sebuah bangunan di depan rumahnya yang setiap hari terlihat olehnya. Pintu bangunan tersebut selalu digembok. Ibunya selalu mengelak untuk menjawab apa isi ruangan tersebut bila anak semata wayangnya itu bertanya. Saking kesalnya dengan sikap ibunya yang belum mau menjawab apa isi ruangan di depan rumah mereka itu, Hariang suatu hari pergi keluar rumah dengan wajah bersungut-sungut penuh kemarahan pada ibunya (Hal. 2-3).
Semenjak bocah Hariang sudah tinggal dengan ibunya berdua di rumah mereka di Desa Cigendel yang terhindar dari hiruk-pikuk keramaian perkotaan. Ayahnya meninggal dunia ketika Hariang masih dalam kandungan. Hariang kecil tak pernah tahu dimana makam ayahandanya. Bila bertanya pada ibunya, ibunya pasti tidak pernah menjawabnya. Sampai-sampai Hariang menarik kesimpulan bahwa bangunan yang selalu digembok di depan rumahnya itu adalah makam ayahnya. Ya, makam ayahnya ada di dalam bangunan itu ! Mengapa ? Karena hampir setiap dini hari ibunya selalu masuk ke ruangan itu dan diam-diam Hariang mengikuti ibunya. Dari luar bangunan tersebut Hariang mendengar suara ibunya yang sedang komat-kamit membaca lantunan surat Yaasin, Tahlil dan do’a-do’a hadiah kepada orang yang telah meninggal dunia (Hal. 6).
Dugaan Hariang meleset ketika ia sudah mencapai umur 20 tahun. Akhirnya ibundanya mengajak Hariang yang selalu penasaran dengan bangunan di depan rumahnya itu untuk masuk ke dalam dengan menutup kedua mata Hariang. Setelah membuka penutup mata anaknya tersebut, Hariang terkejut bahwa isi dari bangunan itu bukanlah makam ayahnya, tidak ada makam, tidak ada gundukan tanah, tidak ada ! Ada apa di dalamnya ? Ada buku, ya, ada buku. 11.000 buku ada di bangunan tersebut. Ibu Hariang sengaja tidak memberitahukan keberadaan buku-buku itu agar Hariang penasaran dan terus bertanya. Agar suatu ketika ia mengetahui isi bangunan itu Hariang akan mencintai buku-buku itu. 19 tahun ibu Hariang mengumpulkan buku-buku itu dengan keringatnya sendiri dari hasil menjual singkong dan jagung di ladangnya yang diurus oleh Mang Dayat, paman Hariang. Selama 20 tahun pula peradaban agung itu disembunyikan dari anak semata wayangnya.
Di bagian kedua ibu Hariang menjelaskan pada Hariang mengapa ia tidak menyekolahkan putranya tersebut ke sekolah formal sebagaimana laiknya orang tua lainnya. Begini kata ibu Hariang:
“Tempat yang seharusnya menjadi medan pemanusiaan manusia, telah berubah menjadi ajang bisnis yang menggiurkan, dan memperlakukan manusia seperti binatang. Salah satu fungsi terpenting sekolah atau perguruan tinggi adalah, dia menjadi tempat mencetak manusia yang kurang pandai menjadi pandai, menciptakan manusia yang berpikirnya acak-acakan menjadi sistematis, bahkan mendidik manusia yang tidak berakhlaq menjadi berbudi luhur. Hari ini, apakah ada sekolah atau perguruan tinggi semacam itu ? Sulit sekali ditemukan ! Buktinya, perguruan tinggi, misalnya, mereka hanya menerima calon mahasiswa yang cerdas, punya kemampuan, punya uang, dan memiliki surat keterangan berkelakuan baik. Kalau perguruan tinggi menerima calon mahasiswa yang telah ‘sempurna’ seperti itu, lalu, fungsi mereka apa ? Menjualnya ?” (Hal. 13).
Di Hal. 18 Hariang menceritakan kisahnya tentang salah seorang ustadz di kampungnya yang tidak dapat menjawab apa yang ia tanyakan. Lantas mengatakan padanya untuk hati-hati dalam bicara agar tidak murtad. Orang dan kaum seperti ini sama persis seperti apa yang dikatakan oleh Milan Kundera, “Mereka adalah kaum yang tak dapat menerima kebenaran secara terbuka. Mereka menolak kebenaran sebagai pencarian dan mengharamkan pertanyaan”.
Sosok ibu bagi Hariang sangatlah istimewa. Walaupun hanya lulusan SMA, tapi ibunya bak profesor. Berbicara satu kata, menjadi dua kata, tiga kata, menjadi cakrawala. Dua tahun setelah Hariang mengetahui Pabukon Kadeudeuh yang selama ini disembunyikan ibunya, ia sering berdiskusi dengan ibunya tentang buku-buku yang telah dikhatamkan. Mulai dari buku-buku karya ulama dan pujangga Islam seperti Al-Ghazali, Ibnu Rusyd, Jalaluddin Rumi, Imam An-Nawawi, hingga para pemikir Barat seperti Jean Paul-Sartre, Umberto Eco, Dan Brown, dan tak lupa para cendekia Indonesia seperti Putut Widjanarko, Umar Kayam, Sutardji Calzoum Bachri, W.S Rendra. Apalagi ketika membicarakan buku dari masa ke masa mulai dari keberadaban buku hingga kebiadaban terhadap buku (Hal. 25). Terpenting, Pabukon Kadeudeuh tersebut menjadi perpustakaan bebas kunjung oleh warga Desa Cigendel. Luar biasa. Sebuah pengabdian untuk meningkatkan literasi.
Kegandrungan Hariang membaca yang dibangun oleh ibunya membawa ia membaca sebuah cerpen dari Lan Fang berjudul Jangan Main-main dengan Perempuan yang benar-benar menguliti habis rekayasa sosial yang selama ini menelenjangi kaum perempuan secara lahir maupun batin (Hal 39-40). Kaum perempuan selama ini telah dieksploitasi sedemikian rupa menjadi ‘barang dagangan’ oleh kepentingan tertentu.
Ibu Hariang benar-benar ibu yang teguh memegang prinsip. Ibu yang satu ini sangat mengharapkan anaknya untuk berani menghadapi kedukaan hidup, tidak pantang menyerah, dan berani berkorban. Untuk sebuah buku, Hariang dilarang menerima sumbangan apalagi meminta pada orang lain. Itulah katanya. “Untuk buku kita harus berkorban”, ucap ibu Hariang. Ibunya membuat sebuah puisi untuk Hariang yang sarat makna:
Tuhanku...
Cintai anakku,
Dengan cinta yang tidak buta.
Jangan manjakan ia oleh suka.
Paksa ia mencicipi luka.
Taburkanlah duri di kakinya
Cambuklah punggungnya
Agar mengerti dia
Hidup tak seindah khayalan tentang sorga
Tuhanku,
Jangan izinkan ia berdoa
Jika masih mengartikannya meminta
Kedatangannya di kaki-Mu, Paduka
Hanya karena rindu dan nyatakan cinta.
Bungkam mulutnya jika ia memohon menang.
Karena itu mengharapkan kalah dari orang.
Hidup tak boleh ia artikan sebagai perlombaan.
Cukuplah sebagai peristiwa agung yang sengaja Kau ciptakan.
(Hal. 49-50).
Puisi sarat makna tersebut merupakan puisi yang tercantum di buku catatan Hariang. Sebagai do’a untuknya dalam menjalani kehidupan. Bisa dilihat dari kata per kata, kalimat per kalimat, bait per bait dari puisi tersebut tak ada sama sekali ungkapan manja seorang ibu kepada anaknya sebagaimana lazimnya kebanyakan ibu. Ibu Hariang mungkin ingin agar anaknya meurih heula daripada engke meunang peurah.
Novel ini sangat bernas literatur rujukan bila ditilik dari pencantuman judul-judul buku serta penulis yang penulis novel ini kutip di dalamnya. Seperti The Name of The Rose karya Umberto Eco, Kata-kata karya Jean Paul-Sartre, Etika Kesarjanaan Muslim: Dari Al-Farabi Hingga Ibnu Khaldun karya Franz Rosenthal, Dan Muhammad Adalah Utusan Allah karya Annemarie Schimmel, Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto karya John Roosa, Sugih Tanpa Banda karya Umar Kayam, Memposisikan Buku di Era Cyberspace karya Putut Widjanarko, Robohnya Surau Kami karya Aa Navis, Tetralogi Pulau Buru karya Pramoedya Ananta Toer, Burung-burung Manyar karya Y.B. Mangunwijaya, Bidayatul Mujtahid karya Ibnu Rusyd, Syarah Mahadzab karya Imam Nawawi Al-Andalusi, Hilzamun Awwam karya Imam Al-Ghazali, Mantiqu’t Thair karya Faridud-Din Attar, Matsnawi karya Jalaluddin Rumi. Bahkan di Hal. 196-205 dicantumkan daftar buku-buku yang pernah dilarang di Indonesia mulai tahun 1968-1998.
Pada bagian keempat mulai terjadi konflik yang melanda sosok Hariang si tokoh utama novel ini. Ini terjadi tatkala Kang Ulun tetangganya di Desa Cigendel yang sudah dianggap laiknya kakak kandung olehnya meminta pertolongan pada Hariang. Pertolongan yang tidak biasa dan terkesan memang sangat berat ini adalah permintaan untuk mencarikan pendonor kelamin. Kang Ulun kehilangan kelaminnya ketika masih kecil. Yakni saat proses khitanan. Suatu kecelakaan menimpa kelaminnya hingga terpotong habis ! Gila ! Bentuk kelamin memang sepele, tapi dia adalah segala-galanya, benarkah demikian ?
Tak menunggu waktu lama untuk Hariang menerima permohonan bantuan saudaranya yang ingin menjadi ‘lelaki normal’ tersebut. Keesokan harinya Hariang langsung berangkat ke Bandung untuk menemui kawan-kawannya dan juga untuk menghadiri diskusi Barudak PAKU (Pasukan Anti Kuliah) yang akan mendiskusikan buku Penghancuran Buku dari Masa ke Masa karya Fernando Baez. Sebelum mencari pendonor kelamin dan menghadiri diskusi itu Hariang mampir dulu ke kosan kekasihnya, Drupadi untuk menuntaskan hasrat ‘kebinatangannya’ (Hal. 61-75).
Menggunakan motor Drupadi, pencarian yang sangat melelahkan bagi Hariang untuk mencari pendonor kelamin pun dimulai. Apakah ada orang yang mau mendonorkan seonggok daging segala-galanya itu ? Kang Ulun meminta donor kelamin dari orang hidup pula. Bukan banci, apalagi orang mati ! Duh, Hariang kewalahan. Mulai dari kawannya Ipay di Cipadung hingga Dian di kawasan stasiun Kiaracondong, tak ada yang mau mendonorkan kelaminnya. Karena ucapan Dian kawannya yang terakhir ia temui untuk pencarian donor kelamin, Hariang harus berkelahi dengannya. Dengan luka di wajah, Hariang memaksakan diri pergi ke RSHS untuk berobat. Disini ia mendapat secercah harapan ketika bertemu dengan Naldi. Ia sedang membutuhkan uang untuk proses operasi ayahnya. Hariang berpikir mungkin saja Naldi mau mendonorkan kelaminnya untuk pengobatan ayahnya. Apalagi uang yang diberikan Kang Ulun sebesar 1,5 Milyar cukup untuk memenuhi kebutuhan biaya operasi sebesar 200 juta. Tapi malang nian perjuangan Hariang. Ketika membonceng Naldi untuk kembali ke Desa Cigendel tepatnya setelah tiba di kawasan Ujungberung, Naldi meminta untuk turun dan mengurungkan niatnya mendonorkan kelaminya. Kelaminnya lebih berharga dari uang bahkan nyawa ayahnya sendiri. Harapan Hariang kandas. Dalam keputusasaan Hariang bergumam, “Kelamin memang berbentuk sepele, tapi dia adalah segala-galanya” (Hal. 99).
Hariang tak jadi pulang ke Desa Cigendel. Dia akhirnya datang ke markas Barudak PAKU untuk tujuan sebenarnya ia ke Bandung, yakni menghadiri diskusi buku. Seperti biasa, ketika Barudak PAKU akan memulai mendiskusikan buku mereka akan ditanya terlebih dahulu apakah sudah melakukan ritual membasuh kaki ayah dan ibu ? Setelah semuanya serempak menjawab barulah diskusi akan dimulai. Pada malam itu yang menjadi moderator adalah Reza dan pengulas bukunya yakni Kang Abok Silet, sesepuh Barudak PAKU selain Kang Uni yang juga pemilik toko buku Mangmeser. Saling sanggah dan dukung argumentasi terjadi malam itu ketika sesi tanya jawab berlangsung. Diskusi diakhiri dengan ucapan dari Kang Uni yang menyitir Joseph Alexandrovitch Brodsky serta kebiasaan Barudak PAKU menyanyikan lagu kebangsaan mereka di akhir kegiatan diskusi, Lingkaran Aku Cinta Padamu karya Iwan Fals (Hal.129-130).
Selesai berdiskusi malam itu Barudak PAKU nongkrong di pinggir jalan raya Cipadung menunggu kedatangan pedagang bajigur langganan, Abah Ujang. ‘Tragedi Paha’ terjadi disini. Seorang perempuan dengan berpenampilan seksi membeli bajigur juga tatkala Barudak PAKU tengah menikmati seruput demi seruput hangatnya air bajigur malam itu. Tatang dan Rido tak lewat Hariang sendiri memperhatikan paha putih nan mulus dari si perempuan itu. Tak banyak cakap, perempuan itu yang menyadari bahwa dirinya sedang diperhatikan secara binal oleh beberapa Barudak PAKU langsung melakukan tindakan tegas. Percekcokan terjadi dengan Drupadi yang membela kawan-kawan PAKU-nya. Jika perempuan sudah murka dia akan lebih mengerikan daripada badai. Untung Tuhan membalut mereka dengan kelembutan. Karena kalau tidak, luluh lantaklah semua (Hal. 134).
Begitulah Barudak PAKU yang berasal dari berbagai latar belakang. Ada yang tidak kuliah, ada yang kuliah, dan ada pula yang tidak disekolahkan sama sekali layaknya Hariang. Namun bila sudah berdiskusi, mereka layaknya macan yang lapar sekali. Bedanya, tidak memakan daging mentah. Tapi saling melahap ilmu dan wawasan dari masing-masing anggota Barudak PAKU. Jumlah Barudak PAKU hampir mencapai 500 orang. Jika sudah berbicara pasti banyak yang mengira mereka adalah para mahasiswa. Tapi tidak semua menyandang status itu. PAKU adalah sebuah komunitas diskusi yang merupakan antitesis dari sistem pendidikan di kampus-kampus perguruan tinggi dengan ritualnya membasuh kaki ayah dan ibu sebelum melakukan diskusi.
Di Hal. 161-169 dituliskan bagaimana Hariang yang telah pulang dari Bandung dengan membawa sang kekasih, Drupadi untuk dipertemukan dengan ibunya sedih bukan kepalang. Bagaimana tidak ? Pabukon Kadeudeuh yang merupakan harta ibunya yang paling berharga selain dirinya telah habis terbakar dini hari tadi. Habis tak bersisa. Tak ada satu pun buku dari 11.000 buku yang ada di perpustakaan tersebut terselamatkan. Harta karun bagi warga Desa Cigendel itu telah musnah habis dilahap si jago merah. Hariang langsung masuk ke dalam rumah untuk melihat kondisi ibunya yang sangat terpukul. Hariang sedih karena ibunya seperti telah kehilangan kesadarannya. Drupadi mencoba menenangkannya. Dibantu Mama Kyai Dadang, tokoh masyarakat Desa Cigendel, Hariang dibantu untuk memulihkan kembali kesadaran ibunya. Sebelum tragedi itu, malam sebelumnya Hariang bermimpi tentang pertemuan agung antara ibu, dirinya, dan Drupadi. Tapi semua itu sekarang hanyalah mimpi belaka. Peradabannya telah hilang. Peradaban yang disembunyikan selama 20 tahun ini telah binasa menjadi abu. Bahkan membakar kesadaran ibunya sendiri.
Beberapa hari kemudian Barudak PAKU bersilaturahmi ke rumah Hariang untuk menjenguk keadaan ibunya. Sambil membesarkan hati Hariang yang bertekad akan membangun kembali perpustakaan ibunya itu, Barudak PAKU sebisa mungkin membantu Hariang dalam merealisasikan tekadnya tersebut. Mulai dari menawari donasi buku, mencarikan tempat pekerjaan, hingga menyediakan sarana untuk Hariang mengetik cerpen-cerpennya. Dari beberapa tawaran itu, yang ditolak Hariang hanya tentang donasi buku. Karena teringat petuah ibunya yang mengatakan bahwa untuk buku kita harus berani berkorban. Disinilah Hariang merasakan kedekatan batin antara dirinya dengan Barudak PAKU. Ada 4 macam silaturahmi Barudak PAKU; Silaturahmi wajhi. Silaturahmi dengan bertatap muka dengan waktu yang telah dijadwalkan, khususnya ketika mendiskusikan buku. Silaturahmi fikri. Silaturahmi pemikiran dengan saling menyampaikan ide, gagasan, perdebatan dalam kegiatan berdiskusi di markas PAKU. Apalagi ketika kita membaca buku, kita sedang bertukar pikiran dengan penulisnya. Silaturahmi qalbi. Silih rasa. Ketika yang lain merasa kesenangan maupun kedukaan, yang lain mencoba untuk bersimpati kemudian berempati. Silaturahmi ruhi. Para penulis buku yang telah tiada bisa kita temui melalui do’a-do’a yang dikirimkan kepada mereka. Silaturahmi metafisik untuk mencoba mengenali Yang Maha Tak Terkenali (Hal. 180-181).
Ketika bekerja membantu Kang Uni menjaga Toko Buku Mangmeser, Hariang sangat terkejut dengan pernyataan pemilik toko yang juga salah satu sesepuh Barudak PAKU ini. Kang Uni berharap agar anaknya yang bernama Sabda menyesal telah disekolahkan dan meminta dirinya agar dikeluarkan dari sekolah. Kemudian meminta Kang Uni membuatkan laboratorium dan perpustakaan tempat Sabda belajar. Bagi Kang Uni dia tidak mau anaknya mengalami seperti apa yang Kang Uni alami. Katanya:
“Sekolah dan kuliah, membuat akang tidak mampu membedakan mana proses mana substansi. Ketidakmampuan membedakan itu membuat akang mencampurkan keduanya. Akibatnya, akang menyamakan begitu saja pengajaran dengan belajar, naik kelas atau naik semester dengan pendidikan, ijazah dengan kemampuan, dan kefasihan berbicara dengan kelihaian mengungkapkan sesuatu yang baru. Akang dibiasakan menerima pelayanan, bukan nilai”
(Hal. 193).
Hariang bekerja di Toko Buku Mangmeser dengan buku sebagai imbalannya. Setelah bekerja di Toko Buku Mangmeser, pukul tiga sore ia akan bekerja lagi di restoran milik saudara salah satu Barudak PAKU. Setelah berpamitan kepada Kang Uni untuk langsung menuju kesana ia pun melangkahkan kakinya keluar toko. Sebelum melanjutkan perjalanan ia membaca terlebih dahulu spanduk yang berisi daftar buku-buku yang pernah dilarang di Indonesia (Hal. 195-205). Sebuah ironi dunia intelektual negeri ini.
Disinilah titik klimaks dimulai. Hariang yang sudah membanting tulang bekerja tak kenal waktu mulai dilanda keputusasaan. Berapa lama ia harus mengumpulkan 11.000 buku serta dapat membangun kembali perpustakaan untuk kesembuhan ibunya ? Disaat seperti inilah nama Kang Ulun si pencari donor kelamin melintas di benak Hariang. Ya, dengan imbalan 1,5 milyar Hariang berpikir dapat membangun kembali perpustakaan serta membeli buku-buku. Tapi bagaimana dengan kekasihnya Drupadi ? Bagaimana ia dapat memuaskan calon istrinya tersebut bila ia tak memiliki kelamin ? Manakah yang lebih penting ? Perpustakaan, ibu, atau kekasih ? Pilihan berat ia jatuhkan. Ia siap menjual kelaminnya demi kesembuhan ibunya dan pembangunan kembali perpustakaannya.
Hariang mendatangi rumah Mang Haji Anip tempat Kang Ulun tinggal. Menyambut, mendengar, serta membuat keputusan sulit Kang Ulun ambil untuk menerima donor kelamin dari Hariang yang sudah dianggap saudaranya tersebut. Tak butuh waktu lama lusa harinya mereka berdua langsung berangkat ke Jakarta agar Hariang langsung menjalani operasi pengambilan kelamin. Ngeri ! Sebelumnya Kang Ulun memberikan koper berisi uang 1,5 milyar untuk Hariang. Keesokan harinya Hariang menerima kedatangan Drupadi di rumahnya setelah sebelumnya ia hubungi terlebih dahulu. Hariang berbohong pada kekasihnya tersebut. Dengan dibantu oleh Mang Dayat pamannya, ia menyerahkan urusan pembangunan kembali perpustakaan pada Drupadi dan pembelian buku-buku kepada senior PAKU-nya, Kang Uni. Hariang berangkat esoknya bersama Kang Ulun dengan diantar oleh berbagai ucapan dari warga Desa Cigendel.
Sesampainya di Jakarta mereka berdua langsung menuju rumah ‘sehat’ yang akan menjadi tempat ‘eksekusi’ kelamin Hariang. Setelah melaksanakan sembahyang Dzuhur, Hariang yang telah berbalut baju operasi duduk di kursi roda didorong oleh Kang Ulun untuk memasuki ruangan yang tak akan pernah ia lupakan seumur hidupnya. Ruangan pengambil kelaminnya. Ruangan pengambil ‘masa depannya’. Setelah disuntik bius Hariang pun tertidur dengan menggumam dalam hati “ibu, ibu, ibu, ibu, ibu, ibu, ibu, ibu.....”. Permohonan maaf ia sampaikan pada kelaminnya. Pasca operasi, dua hari kemudian ia terbangun. Seorang suster melayaninya dan tak lupa memberikan surat dari Kang Ulun yang ternyata sudah pergi lebih awal dari rumah ‘sehat’ itu. Hariang terkejut membaca surat dari Kang Ulun itu. Tak lupa sms dari sang kekasih, Drupadi pun tak luput menghantam hatinya (Hal. 222-228). Ada apa ? Silakan nikmati novel ini.
Sekian.
Oky Nugraha Putra,
Mahasiswa Ilmu Sejarah FIB Universitas Padjadjaran.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H