Mohon tunggu...
Oky Nugraha Putra
Oky Nugraha Putra Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Seorang manusia yang terus belajar, belajar, belajar pada siapapun.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Resensi Buku "Perpustakaan Kelamin: Buku dan Kelamin Dalam Pertaruhan"

23 Februari 2017   19:47 Diperbarui: 23 Februari 2017   19:49 1551
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi Pribadi

Selesai berdiskusi malam itu Barudak PAKU nongkrong di pinggir jalan raya Cipadung menunggu kedatangan pedagang bajigur langganan, Abah Ujang. ‘Tragedi Paha’ terjadi disini. Seorang perempuan dengan berpenampilan seksi membeli bajigur juga tatkala Barudak PAKU tengah menikmati seruput demi seruput hangatnya air bajigur malam itu. Tatang dan Rido tak lewat Hariang sendiri memperhatikan paha putih nan mulus dari si perempuan itu. Tak banyak cakap, perempuan itu yang menyadari bahwa dirinya sedang diperhatikan secara binal oleh beberapa Barudak PAKU langsung melakukan tindakan tegas. Percekcokan terjadi dengan Drupadi yang membela kawan-kawan PAKU-nya. Jika perempuan sudah murka dia akan lebih mengerikan daripada badai. Untung Tuhan membalut mereka dengan kelembutan. Karena kalau tidak, luluh lantaklah semua (Hal. 134).

Begitulah Barudak PAKU yang berasal dari berbagai latar belakang. Ada yang tidak kuliah, ada yang kuliah, dan ada pula yang tidak disekolahkan sama sekali layaknya Hariang. Namun bila sudah berdiskusi, mereka layaknya macan yang lapar sekali. Bedanya, tidak memakan daging mentah. Tapi saling melahap ilmu dan wawasan dari masing-masing anggota Barudak PAKU. Jumlah Barudak PAKU hampir mencapai 500 orang. Jika sudah berbicara pasti banyak yang mengira mereka adalah para mahasiswa. Tapi tidak semua menyandang status itu. PAKU adalah sebuah komunitas diskusi yang merupakan antitesis dari sistem pendidikan di kampus-kampus perguruan tinggi dengan ritualnya membasuh kaki ayah dan ibu sebelum melakukan diskusi.

Di Hal. 161-169 dituliskan bagaimana Hariang yang telah pulang dari Bandung dengan membawa sang kekasih, Drupadi untuk dipertemukan dengan ibunya sedih bukan kepalang. Bagaimana tidak ? Pabukon Kadeudeuh yang merupakan harta ibunya yang paling berharga selain dirinya telah habis terbakar dini hari tadi. Habis tak bersisa. Tak ada satu pun buku dari 11.000 buku yang ada di perpustakaan tersebut terselamatkan. Harta karun bagi warga Desa Cigendel itu telah musnah habis dilahap si jago merah. Hariang langsung masuk ke dalam rumah untuk melihat kondisi ibunya yang sangat terpukul. Hariang sedih karena ibunya seperti telah kehilangan kesadarannya. Drupadi mencoba menenangkannya. Dibantu Mama Kyai Dadang, tokoh masyarakat Desa Cigendel, Hariang dibantu untuk memulihkan kembali kesadaran ibunya. Sebelum tragedi itu, malam sebelumnya Hariang bermimpi tentang pertemuan agung antara ibu, dirinya, dan Drupadi. Tapi semua itu sekarang hanyalah mimpi belaka. Peradabannya telah hilang. Peradaban yang disembunyikan selama 20 tahun ini telah binasa menjadi abu. Bahkan membakar kesadaran ibunya sendiri.

Beberapa hari kemudian Barudak PAKU bersilaturahmi ke rumah Hariang untuk menjenguk keadaan ibunya. Sambil membesarkan hati Hariang yang bertekad akan membangun kembali perpustakaan ibunya itu, Barudak PAKU sebisa mungkin membantu Hariang dalam merealisasikan tekadnya tersebut. Mulai dari menawari donasi buku, mencarikan tempat pekerjaan, hingga menyediakan sarana untuk Hariang mengetik cerpen-cerpennya. Dari beberapa tawaran itu, yang ditolak Hariang hanya tentang donasi buku. Karena teringat petuah ibunya yang mengatakan bahwa untuk buku kita harus berani berkorban. Disinilah Hariang merasakan kedekatan batin antara dirinya dengan Barudak PAKU. Ada 4 macam silaturahmi Barudak PAKU; Silaturahmi wajhi. Silaturahmi dengan bertatap muka dengan waktu yang telah dijadwalkan, khususnya ketika mendiskusikan buku. Silaturahmi fikri. Silaturahmi pemikiran dengan saling menyampaikan ide, gagasan, perdebatan dalam kegiatan berdiskusi di markas PAKU. Apalagi ketika kita membaca buku, kita sedang bertukar pikiran dengan penulisnya. Silaturahmi qalbi. Silih rasa. Ketika yang lain merasa kesenangan maupun kedukaan, yang lain mencoba untuk bersimpati kemudian berempati. Silaturahmi ruhi. Para penulis buku yang telah tiada bisa kita temui melalui do’a-do’a yang dikirimkan kepada mereka. Silaturahmi metafisik untuk mencoba mengenali Yang Maha Tak Terkenali (Hal. 180-181).

Ketika bekerja membantu Kang Uni menjaga Toko Buku Mangmeser, Hariang sangat terkejut dengan pernyataan pemilik toko yang juga salah satu sesepuh Barudak PAKU ini. Kang Uni berharap agar anaknya yang bernama Sabda menyesal telah disekolahkan dan meminta dirinya agar dikeluarkan dari sekolah. Kemudian meminta Kang Uni membuatkan laboratorium dan perpustakaan tempat Sabda belajar. Bagi Kang Uni dia tidak mau anaknya mengalami seperti apa yang Kang Uni alami. Katanya:

“Sekolah dan kuliah, membuat akang tidak mampu membedakan mana proses mana substansi. Ketidakmampuan membedakan itu membuat akang mencampurkan keduanya. Akibatnya, akang menyamakan begitu saja pengajaran dengan belajar, naik kelas atau naik semester dengan pendidikan, ijazah dengan kemampuan, dan kefasihan berbicara dengan kelihaian mengungkapkan sesuatu yang baru. Akang dibiasakan menerima pelayanan, bukan nilai”

(Hal. 193).

Hariang bekerja di Toko Buku Mangmeser dengan buku sebagai imbalannya. Setelah bekerja di Toko Buku Mangmeser, pukul tiga sore ia akan bekerja lagi di restoran milik saudara salah satu Barudak PAKU. Setelah berpamitan kepada Kang Uni untuk langsung menuju kesana ia pun melangkahkan kakinya keluar toko. Sebelum melanjutkan perjalanan ia membaca terlebih dahulu spanduk yang berisi daftar buku-buku yang pernah dilarang di Indonesia (Hal. 195-205). Sebuah ironi dunia intelektual negeri ini.

Disinilah titik klimaks dimulai. Hariang yang sudah membanting tulang bekerja tak kenal waktu mulai dilanda keputusasaan. Berapa lama ia harus mengumpulkan 11.000 buku serta dapat membangun kembali perpustakaan untuk kesembuhan ibunya ? Disaat seperti inilah nama Kang Ulun si pencari donor kelamin melintas di benak Hariang. Ya, dengan imbalan 1,5 milyar Hariang berpikir dapat membangun kembali perpustakaan serta membeli buku-buku. Tapi bagaimana dengan kekasihnya Drupadi ? Bagaimana ia dapat memuaskan calon istrinya tersebut bila ia tak memiliki kelamin ? Manakah yang lebih penting ? Perpustakaan, ibu, atau kekasih ? Pilihan berat ia jatuhkan. Ia siap menjual kelaminnya demi kesembuhan ibunya dan pembangunan kembali perpustakaannya.

Hariang mendatangi rumah Mang Haji Anip tempat Kang Ulun tinggal. Menyambut, mendengar, serta membuat keputusan sulit Kang Ulun ambil untuk menerima donor kelamin dari Hariang yang sudah dianggap saudaranya tersebut. Tak butuh waktu lama lusa harinya mereka berdua langsung berangkat ke Jakarta agar Hariang langsung menjalani operasi pengambilan kelamin. Ngeri ! Sebelumnya Kang Ulun memberikan koper berisi uang 1,5 milyar untuk Hariang. Keesokan harinya Hariang menerima kedatangan Drupadi di rumahnya setelah sebelumnya ia hubungi terlebih dahulu. Hariang berbohong pada kekasihnya tersebut. Dengan dibantu oleh Mang Dayat pamannya, ia menyerahkan urusan pembangunan kembali perpustakaan pada Drupadi dan pembelian buku-buku kepada senior PAKU-nya, Kang Uni. Hariang berangkat esoknya bersama Kang Ulun dengan diantar oleh berbagai ucapan dari warga Desa Cigendel.

Sesampainya di Jakarta mereka berdua langsung menuju rumah ‘sehat’ yang akan menjadi tempat ‘eksekusi’ kelamin Hariang. Setelah melaksanakan sembahyang Dzuhur, Hariang yang telah berbalut baju operasi duduk di kursi roda didorong oleh Kang Ulun untuk memasuki ruangan yang tak akan pernah ia lupakan seumur hidupnya. Ruangan pengambil kelaminnya. Ruangan pengambil ‘masa depannya’. Setelah disuntik bius Hariang pun tertidur dengan menggumam dalam hati “ibu, ibu, ibu, ibu, ibu, ibu, ibu, ibu.....”. Permohonan maaf ia sampaikan pada kelaminnya. Pasca operasi, dua hari kemudian ia terbangun. Seorang suster melayaninya dan tak lupa memberikan surat dari Kang Ulun yang ternyata sudah pergi lebih awal dari rumah ‘sehat’ itu. Hariang terkejut membaca surat dari Kang Ulun itu. Tak lupa sms dari sang kekasih, Drupadi pun tak luput menghantam hatinya (Hal. 222-228). Ada apa ? Silakan nikmati novel ini.

Sekian.

Oky Nugraha Putra,

Mahasiswa Ilmu Sejarah FIB Universitas Padjadjaran.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun