Mohon tunggu...
Oky Nugraha Putra
Oky Nugraha Putra Mohon Tunggu... Freelancer - Universitas Padjadjaran

Alumnus Prodi Sejarah Unpad. Hobi membaca, menulis, olahraga (bersepeda, jogging, sesekali hiking), tertarik pada dunia kesejarahan (sosial-budaya, politik-militer).

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Jejak Sultan dari Maluku Utara di Cianjur

24 Juli 2024   15:54 Diperbarui: 24 Juli 2024   15:58 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Makam Sultan Jailolo Hajuddin (tanda bintang) di Desa Sukamaju, Kecamatan Cianjur, Kabupaten Cianjur. Foto: Oky Nugraha Putra. 

Oleh: Oky Nugraha Putra* 

Salah satu hobi penulis adalah bersepeda. Ketika bersepeda di seputaran kota Cianjur, Jawa Barat ke arah barat dari tempat kelahiran penulis, tepatnya di daerah Desa Sukamaju, Kecamatan Cianjur, Kabupaten Cianjur, penulis mendapatkan informasi menarik tentang adanya makam orang seberang pulau yang letaknya berada di belakang benteng Taman Makam Pahlawan (TMP) Cianjur ke arah selatan. Peristiwa tersebut terjadi di sekitar tahun 2021/2022. 

Berdasarkan informasi awal yang penulis dapatkan, penduduk di sekitar makam yang tersusun dari batu sungai tersebut menyebut makam tersebut dengan sebutan makam "Abah Jilolo". Artikel berjudul Dari Jailolo ke Priangan (2018) menjawab rasa penasaran mula penulis. Hendi Jo dalam tulisannya itu menyebutkan bahwa makam tersebut oleh para sesepuh yang merupakan penduduk di sekitar TMP Cianjur sering disebut makam Jilolo. 

Dari ingatan sosial masyarakat sekitar, orang yang bersemayam di makam tersebut adalah raja yang gagah berani, memiliki banyak pengikut, dan juga merupakan seorang haji. Benarkah demikian? R. Z. Leirissa menjawab rasa penasaran penulis tersebut. Dalam disertasinya yang disusun dan diujikan di Universitas Indonesia berjudul Masyarakat Halmahera dan Raja Jailolo: Studi tentang Sejarah Masyarakat Maluku Utara (1990), Leirissa menyatakan bahwa pernah ada seorang penguasa Kesultanan Jailolo yang dibuang pemerintah Belanda ke Cianjur di paruh pertama abad ke-19. 

Ada dua orang keturunan dari Mohamad Arif Bila yang merupakan Sultan Jailolo I hasil pengangkatan politis oleh Sultan Nuku pada tahun 1797. Anak Arif Bila itu adalah Kimelaha Sugi dan Hajuddin. Sebenarnya menurut narasi Leirissa, Arif Bila ini melakukan poligami dalam melestarikan keturunannya. Hanya dua orang anak saja dari pernikahan pertamanya yang banyak diceritakan tersebut. Tahun pembuangan kedua anak dari Arif Bila tersebut tercantum 1832 Masehi. 

Berapa tunjangan, siapa yang harus ikut dan juga siapa yang bisa kembali ke negerinya tercatat dalam arsip pemerintah kolonial Belanda menurut Leirissa. 

Dugaan kuat bahwa makam tersebut merupakan makam Sultan Hajuddin dari Jailolo diungkapkan dalam disertasi yang disusun Leirissa tersebut. Tahun 1844, rombongan yang dibuang ke Cianjur itu sebagian diperbolehkan pulang ke Jailolo, namun tidak dengan Hajuddin. Hajuddin dan Jamaludin, putra dari Sultan Seram tetap ditahan tinggal di Cianjur. 

Pemerintah kolonial khawatir bahwa mereka berdua akan menghidupkan kembali Kesultanan Jailolo jika pulang ke sana.

Wilayah Kecamatan Jailolo, Halmahera Barat saat ini. Sumber citra satelit: https://www.google.com/maps/place/Jailolo,+West+Halmahera+Regency...
Wilayah Kecamatan Jailolo, Halmahera Barat saat ini. Sumber citra satelit: https://www.google.com/maps/place/Jailolo,+West+Halmahera+Regency...

Anak Sultan Seram, Jamaludin yang turut tidak dipulangkan ke Maluku kemungkinan besar juga meninggal di Cianjur. Informasi tentang makam Jamaludin di Cianjur ini belum penulis dapatkan. Kemungkinan besar makam di belakang benteng TMP Cianjur tersebut merupakan makam Sultan Hajudin penulis peroleh pula dari hasil wawancara bersama Ibu Enen (55), penduduk sekitar makam yang sekarang bisa dikatakan mengurus makam tersebut.

Ibu Enen (55), penduduk yang rumahnya berada di tenggara makam Sultan Hajuddin. Foto oleh: Oky Nugraha Putra, 2024.
Ibu Enen (55), penduduk yang rumahnya berada di tenggara makam Sultan Hajuddin. Foto oleh: Oky Nugraha Putra, 2024.

Enen bercerita bahwa dua juru makam sebelum dirinya adalah laki-laki yang bernama Mang Kardi dan Mang Ukat. Namun, secara tetiba di tahun 1990an ketika Mang Ukat pergi ke Pasar Kamisan Cianjur, dirinya tidak pulang lagi ke rumahnya yang persis di depan rumah sebelah kiri dari rumah Enen. Awalnya, kakak Enen yang dipercaya menjadi juru makam Abah Jilolo tersebut, namun kemudian dirinya menggantikan kakaknya. Bahkan, Enen mengaku di beberapa kesempatan dia bermimpi didatangi oleh Abah Jilolo itu.

Perupaan yang Enen berikan kepada penulis berupa laki-laki tinggi besar, berjubah, dan dirinya tidak bisa langsung menatap pria tersebut di beberapa kesempatan mimpinya itu. Bahkan, anaknya lebih jauh mengatakan pernah "didatangi secara langsung" oleh Abah Jilolo tersebut ketika sedang memasak di dapur yang memang letaknya dari denah rumah Enen berada paling dekat ke lokasi makam Abah Jilolo tersebut.

Bukti lain bahwa makam tersebut merupakan persemayaman orang dari Maluku Utara dibuktikan dengan keberadaan pohon pala (Myristica Fragrans). Pohon yang berasal mula dari Maluku tersebut ditemukan di sebelah utara dari kompleks pemakaman Sultan Hajuddin atau Jailolo tersebut. Hal tersebut penulis buktikan dengan mendatangi Kampung Kebonmanggu, Desa Nagrak, Cianjur yang berlokasi sekitar +/- 1km dari makam Hajuddin. 

Di kampung tersebut, sekarang hanya tersisa sekitar tujuh buah pohon pala saja. Foto oleh: Oky Nugraha Putra.
Di kampung tersebut, sekarang hanya tersisa sekitar tujuh buah pohon pala saja. Foto oleh: Oky Nugraha Putra.

Di kampung tersebut, sekarang hanya tersisa sekitar tujuh buah pohon pala saja. Dahulu, menurut penuturan Wawan, area sekitar satu hektare tersebut dipenuhi ratusan pohon pala. Pak Wawan (53) ketika penulis datangi masih mengingat semasa dia kecil daerah tersebut dipenuhi oleh pohon pala. Selain menyaksikan sendiri secara langsung, masyarakat yang tinggal di kampung itu juga menurut Wawan sebelumnya tidak memiliki atau membangun rumah di sekitar sisa-sisa pohon pala yang sekarang tinggal berjumlah tujuh buah saja setelah yang terakhir tumbang karena tersambar petir.

Wawan sedang mengasuh anaknya ketika penulis datangi. Foto oleh: Oky Nugraha Putra, 2024.
Wawan sedang mengasuh anaknya ketika penulis datangi. Foto oleh: Oky Nugraha Putra, 2024.

Pernyataan Wawan ini semakin memperkuat bukti bahwa pernah ada orang Maluku Utara atau orang seberang pulau yang tinggal di sekitar daerah sana. Selain memori kolektif penduduk di sana tentang Abah Jilolo, dan keberadaan pohon pala, asal-usul pohon pala yang mulanya endemik dan salah satu rempah yang dicari oleh orang Eropa juga patut dipikirkan. 

Ada peribahasa di antara orang Ternate dan Tidore di Maluku Utara yang berbunyi, Jang Amba Tong pe Pala yang berarti, "Jangan ambil pala kami". Selain karena kolonialisme Eropa yang memonopoli perdagangan pala di milenium sebelumnya, penulis curiga bahwa ada keterkaitan emosional jika orang Maluku Utara pergi keluar wilayah kulturalnya, apalagi mereka adalah kaum bangsawan, salah satu cara mengingat, mengikat, dan merasa tetap terikat secara memori dengan tanah kelahirannya adalah dengan menanam pohon pala tersebut. 

Dalam buku Sejarah dan Memori: Titik Simpang dan Titik Temu (2015) yang dieditori oleh Budiawan, ingatan individu yang telah ditransmisikan atau diwariskan, sudah dikategorikan sebagai pewarisan ingatan mengarah menjadi ingatan kolektif atau sosial apabila diturunkan secara lintas-generasi. 

Dalam politik memori sendiri ada tiga istilah yang melekat kepadanya; remembering, forgetting, dan denying. Bagi penulis, pewarisan ingatan berkaca pada kasus di atas yang penulis suguhkan merupakan salah satu sisi realita dari memori yakni proses "pengingatan". Mengingat akan adanya seseorang yang dibuang ke Cianjur, diberi penanda dan tanda kultural berupa pohon pala, dan ingatan penduduk sekitar tentang "Abah Jilolo" merupakan bukti kuat memori kolektif orang Cianjur tentang Sultan Jailolo Hajuddin Syah yang pernah bermukim di daerah tersebut pada pertengahan abad 19.

*Mahasiswa Magister Sejarah FIB UGM

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun