Enen bercerita bahwa dua juru makam sebelum dirinya adalah laki-laki yang bernama Mang Kardi dan Mang Ukat. Namun, secara tetiba di tahun 1990an ketika Mang Ukat pergi ke Pasar Kamisan Cianjur, dirinya tidak pulang lagi ke rumahnya yang persis di depan rumah sebelah kiri dari rumah Enen. Awalnya, kakak Enen yang dipercaya menjadi juru makam Abah Jilolo tersebut, namun kemudian dirinya menggantikan kakaknya. Bahkan, Enen mengaku di beberapa kesempatan dia bermimpi didatangi oleh Abah Jilolo itu.
Perupaan yang Enen berikan kepada penulis berupa laki-laki tinggi besar, berjubah, dan dirinya tidak bisa langsung menatap pria tersebut di beberapa kesempatan mimpinya itu. Bahkan, anaknya lebih jauh mengatakan pernah "didatangi secara langsung" oleh Abah Jilolo tersebut ketika sedang memasak di dapur yang memang letaknya dari denah rumah Enen berada paling dekat ke lokasi makam Abah Jilolo tersebut.
Bukti lain bahwa makam tersebut merupakan persemayaman orang dari Maluku Utara dibuktikan dengan keberadaan pohon pala (Myristica Fragrans). Pohon yang berasal mula dari Maluku tersebut ditemukan di sebelah utara dari kompleks pemakaman Sultan Hajuddin atau Jailolo tersebut. Hal tersebut penulis buktikan dengan mendatangi Kampung Kebonmanggu, Desa Nagrak, Cianjur yang berlokasi sekitar +/- 1km dari makam Hajuddin.Â
Di kampung tersebut, sekarang hanya tersisa sekitar tujuh buah pohon pala saja. Dahulu, menurut penuturan Wawan, area sekitar satu hektare tersebut dipenuhi ratusan pohon pala. Pak Wawan (53) ketika penulis datangi masih mengingat semasa dia kecil daerah tersebut dipenuhi oleh pohon pala. Selain menyaksikan sendiri secara langsung, masyarakat yang tinggal di kampung itu juga menurut Wawan sebelumnya tidak memiliki atau membangun rumah di sekitar sisa-sisa pohon pala yang sekarang tinggal berjumlah tujuh buah saja setelah yang terakhir tumbang karena tersambar petir.
Pernyataan Wawan ini semakin memperkuat bukti bahwa pernah ada orang Maluku Utara atau orang seberang pulau yang tinggal di sekitar daerah sana. Selain memori kolektif penduduk di sana tentang Abah Jilolo, dan keberadaan pohon pala, asal-usul pohon pala yang mulanya endemik dan salah satu rempah yang dicari oleh orang Eropa juga patut dipikirkan.Â
Ada peribahasa di antara orang Ternate dan Tidore di Maluku Utara yang berbunyi, Jang Amba Tong pe Pala yang berarti, "Jangan ambil pala kami". Selain karena kolonialisme Eropa yang memonopoli perdagangan pala di milenium sebelumnya, penulis curiga bahwa ada keterkaitan emosional jika orang Maluku Utara pergi keluar wilayah kulturalnya, apalagi mereka adalah kaum bangsawan, salah satu cara mengingat, mengikat, dan merasa tetap terikat secara memori dengan tanah kelahirannya adalah dengan menanam pohon pala tersebut.Â
Dalam buku Sejarah dan Memori: Titik Simpang dan Titik Temu (2015) yang dieditori oleh Budiawan, ingatan individu yang telah ditransmisikan atau diwariskan, sudah dikategorikan sebagai pewarisan ingatan mengarah menjadi ingatan kolektif atau sosial apabila diturunkan secara lintas-generasi.Â
Dalam politik memori sendiri ada tiga istilah yang melekat kepadanya; remembering, forgetting, dan denying. Bagi penulis, pewarisan ingatan berkaca pada kasus di atas yang penulis suguhkan merupakan salah satu sisi realita dari memori yakni proses "pengingatan". Mengingat akan adanya seseorang yang dibuang ke Cianjur, diberi penanda dan tanda kultural berupa pohon pala, dan ingatan penduduk sekitar tentang "Abah Jilolo" merupakan bukti kuat memori kolektif orang Cianjur tentang Sultan Jailolo Hajuddin Syah yang pernah bermukim di daerah tersebut pada pertengahan abad 19.