Awal Ramadlan semakin dekat menghampiri. Bulan yang dianggap sebagai bulan pengujian oleh Kaum Muslim ini baik pengujian secara fisik karena harus mengendalikan rasa lapar dan hausnya di siang hari maupun pengujian secara batin karena harus mengendalikan nafsu dalam dirinya serta berbagai penyakit hati yang kadang kala menggerogoti ini oleh Ridwan dirasa sangat berbeda kali ini. Biasanya, ketika awal Ramadlan segera tiba, Ridwan akan berkumpul bersama orang tua dan adik-adiknya di rumah.Â
Menyambut datangnya tamu agung setiap satu tahun sekali dalam penanggalan Hijriyah tersebut. Ibunya hampir pasti akan selalu memasak rendang dan balado kentang kesukaannya. Membuat sayur opor ayam dan membuat ketupat dibantu adik perempuannya. Selain itu, ibunya pun akan memasak bistik. Daging sapi yang dimasak seperti rendang dengan berbagai campuran rempah. Bedanya, rasa bistik itu manis. Sedangkan rendang, pedas. Bistik itu untuk adik laki-laki Ridwan yang memang tak suka dengan cita rasa pedas makanan. Hidangan itu belum lagi ditambah suplemen makanan, kerupuk.Â
Tak lengkap rasanya bila menyantap ketupat opor ayam plus kentang goreng dan rendang tanpa ditemani renyah dan gurihnya suara kerupuk di dalam mulut. Tak lupa, satu olahan makanan yang harus selalu hadir menemani. Dengan apapun Ridwan makan, ia harus selalu ada. Sambal. Apalagi sambal cabai hijau gerus kasar buatan ibunya sangat pas bila dicampur dengan ketupat opor ayam plus kentang goreng dan rendang ditemani kerupuk itu. Benar-benar selera makan yang cukup mewah bagi Ridwan.Â
Namun sepertinya, awal Ramadlan kali ini, Ridwan harus menunda sejenak tradisi berkumpul bersama keluarganya. Kewajiban akademik harus dia penuhi. Tanggung jawab sebagai seorang mahasiswa masih dipikulnya. Pada Ramadlan tahun Hijriyah 1437 ini waktu UAS semester genap bertepatan dengan waktu awal Ramadlan. Bulan Juni. Mau tak mau Ridwan tak bisa pulang ke rumah barang sejenak hanya untuk menyambut awal bulan Ramadlan. Ridwan sendiri merupakan mahasiswa jurusan Sastra Belanda di Universitas Sumedang (US).
"Ridwan, maneh dimana ? Urang ulin yah. Biasa w, papajar[1] mmh abus bulan siyam", Ridwan membaca sebuah chat yang nongol begitu saja di layar gawainya ketika dia sedang berbaring di kasur kamar kosnya.
Â
"Hayu wa mang, rk papajar kamana yeuh ?", balas Ridwan tiba-tiba bersemangat.
Â
"Biasa w siga keur itu urang ulin ka Cipanas, Garut. Deket pan ti Sumedang mah. Urang ngeueum, Wan", balas kembali kawannya yang bernama Galih itu.
Â
"Oh siap, mang. Berangkatkeunlah. Tapi maenya rk duaan ? Moal ram atuh. Urang ajakan barudak w nya, biasa", balas Ridwan.