Mohon tunggu...
oktovianus son
oktovianus son Mohon Tunggu... Mahasiswa - Dalam kesunyian malam, aku adalah pelabuhan kecil yang merindukan ombak cerita hatimu. Biarkan aku menjadi telinga yang setia, menampung setiap pasang surut emosimu.

Oktovianus Son. Biasa dipanggil Son, Lahir di Oelneke-Kefamenanu, NTT. Ia saat ini sedang studi di Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Widya Sasana Malang. Ia jatuh cinta sekali kepada puisi dan cerpen. Buku yang telah ditulis adalah Hutan Sunyi, Jiwa yang Berbisik (JSI, 2024).

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Membunuh

27 Januari 2025   14:10 Diperbarui: 27 Januari 2025   14:10 26
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Ayolah. Makan daging buatan kami ini." Mereka menyodorkan mangkok yang berisi daging itu padaku.

"Aku tak ada selerah makan lagi." Jawabku pada mereka dan menolak mangkok yang berisi daging itu.

"Okee! Kalua kau tidak mau, ya sudah kami makan sendiri daging buruan kami." Kata mereka padaku dan mereka melahap daging itu penuh semangat.

Setelah mereka makan. Mereka berdua menatapku dan ingin menyampaikan sesuatu padaku. Hal itu membuat hatiku takut dan gelisah. Namun aku menguatkan diriku bahwa itu hanya perasaanku saja; karena mereka belum menyampaikan maksud mereka padaku.

"Daging buruan yang telah kami makan ini telah memuaskan rasa lapar kami. Mengapa tadinya kamu tidak mau makan daging buruan kami." Tanya mereka padaku. Namun aku tak mau memberikan jawaban.

"Supaya kamu tahu daging buruan itu kami ambil dari nama orang yang kami bicarakan kemarin di dekat jendala kamarmu. Orang itu telah kami ambil dagingnya dan tubuhnya telah mati di kebun putri malu itu. Ia telah hilang kejelekannya dari kami. Akibat ia menjelekkan nama kami. Kematiannya membuat kami merasa puas." Kata mereka padaku. Membuat diriku merasa takut dan mereka meninggalkan aku sendiri di pondok itu.

Aku berpikir dan berpikir tentang pikiran yang yang hampir tak aku pahami isi pikiranku sendiri. Aku jadi tak mau mengenal mereka lagi. Aku berpikir mereka yang kemarin menjelekan nama orang itu. Tetapi mereka berpikir bahwa orang itu yang menjelekkan nama mereka. Aku tak tahu siapakah di antara mereka yang akan dibenarkan. Apakah orang yang telah mati tubuhnya itu atau mereka? Aku juga tak tahu. Mungkin keputusan tepatnya di tempat pengadilan karena aku tak tahu memutuskan perkara ini.

Akhirnya aku memutuskan untuk tidak mengenal mereka lagi. Aku tak mau mengakui kehebatan mereka yang berlagak seperti binatang yang tak berakal budi itu, yang harus dikendalikan dengan kekakang. Ini mungkin kalimat yang tepat untuk menggambarkan kelukuan dua orang itu. Mereka menganggap diri mereka cerdas, tetapi kasar dalam bertindak. Hati manusi mereka telah berubah menjadi hati mesin. Membunuh tanpa perasaan bersalah. Hati nurani mereka telah terbunuh oleh kerakusan diri mereka. Kini tersisa hanya nafsu untuk terus membunuh. Aku mengakhiri semua kecemasanku dengan bertanya "quo vadis hidup manusia di dunia ini? Apabila dikuasai oleh manusia yang tak berhati manusia lagi!?   

    

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun