Mohon tunggu...
oktovianus son
oktovianus son Mohon Tunggu... Mahasiswa - Dalam kesunyian malam, aku adalah pelabuhan kecil yang merindukan ombak cerita hatimu. Biarkan aku menjadi telinga yang setia, menampung setiap pasang surut emosimu.

Oktovianus Son. Biasa dipanggil Son, Lahir di Oelneke-Kefamenanu, NTT. Ia saat ini sedang studi di Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Widya Sasana Malang. Ia jatuh cinta sekali kepada puisi dan cerpen. Buku yang telah ditulis adalah Hutan Sunyi, Jiwa yang Berbisik (JSI, 2024).

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Membunuh

27 Januari 2025   14:10 Diperbarui: 27 Januari 2025   14:10 25
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Dua orang sahabatku berdiri dekat jendela kamarku. Mereka membicarakan seseorang. Mereka menertawakan orang yang sedang mereka bicarakan. Mereka juga menyebut nama orang itu dengan sebutan anjing. Suara mereka terus menggonggong di dekat jendela kamaku. Aku mengabaikan mereka. Kedua sahabatku itu orang hebat. Tak mungkin, aku yang tak hebat ini mengganggu mereka. Aku tak berani untuk hal itu. Tak mau digigit oleh mereka kedua sahabatku itu.

Beberapa saat kemudia aku mendengar teriakan dari salah satu sahabtku itu. Suara itu menyuarakan suara kebencian kepada seseorang yang mereka bicarakan tadi. Mereka sepertinya saling menyalakan api dalam diri mereka dan membakar diri mereka dengan nama orang yang mereka bicarakan. Hati mereka, jadi membara memaki-maki orang yang tak ada bersama mereka dengan menjelek-jelekkan namanya. Aku mulai terganggu dengan kedua sahabatku itu. Apakah mereka memaki nama orang itu atau memaki sifat orang itu? Atau mereka memaki ke-diri-an orang itu? Ah, aku tak tahu!!? Aku mengabaikan mereka lagi. membiarkan mereka terus menggonggong. Mungkin mereka juga akan lelah untuk membicarakan nama orang itu dan memilih untuk diam.

"Ah,, aku tak puas!!" Kata sabahatku.

 "aku juga tak puas!" Kata sahabatku yang lain.

Aku tak tahu apa yang mereka bicarakan tentang pembicaraan mereka terhadap orang yang mereka bicarakan. Aku jadi berpikir, mereka telah memikirkan yang jelek terhadap orang yang mereka bicarakan namanya. Apa yang akan mereka lakukan untuk orang yang sudah jelek namanya dipikiran mereka? 

"Ahh,, jangan sampai mereka akan mencelakakan orang itu!!?"

Aku membukakan sedikit koin gorden yang dari tadi menutup kaca jendelaku untuk melihat kedua wajah sahabatku itu. Ternyata wajah mereka tidak muram seperti wajah Kain dalam Kitab Kejadian yang mengisahkan tentang ekspresinya ketika membunuh Habel adiknya. Aku yang terlalu cepat mengambil kesimpulan dengan menyimpulkan sesuatu yang pasti akan terjadi. Namun itu kegelisahan hatiku. Aku menutup kembali kain gordenku dan mengabaikan mereka lagi.

Kali ini, tak kudengar gonggongan mereka lagi. Sepertinya mereka sudah menyudahi pembicaraan mereka tentang nama orang yang dari tadinya mereka membicarakan namanya. Suara mereka berdua tak kudengar lagi di dekat jendelaku. Suara mereka semakin kecil sesuai dengan jarak mereka dengan jendela kamarku. Semakin menjauh suara mereka tak terdengar lagi oleh telingaku. Itu mungkin jarak yang tepat bagiku untuk tidak mendengarkan pembicaraan mereka tentang nama orang yang mereka bicarakan itu.

Aku merasa legah tak diganggu lagi oleh pembicaraan kedua sahabatku itu. pembicraan mereka menggelisahkan hatiku. Apalagi pembicaraan mereka, menjelekkan nama orang lain. Padahal orang itu tak jelek seperti yang mereka bicarakan. Kata-kata mereka jelek untuk menjelekkan orang itu. 

"Ahh,, tidak mungkin kata-kata itu jelek, yang jelek itu mungkin pikiran mereka yang dipengaruhi oleh keinginan yang tidak terpenuhi oleh orang yang dibicarakan itu. Mereka berdua sangat rakus. Jika hanya keinginan yang tak terpenuhi mereka menjelekkan nama orang lain. Aku juga memiliki keinginan, tetapi aku tak mau keinginanku mendominasi aku. Aku yang harus mengatur keinginanku bukan keinginan yang mengatur aku.

Beberapa hari kemudia, aku berjumpa dengan kedua sahabatku itu. Aku melihat keceriaan di wajah mereka. Aku diajak oleh mereka berdua untuk pergi makan siang bersama di pondok tempat biasa kami berkumpul untuk berbagi ide. Kata kedua sahabatku, ada daging enak. Buruan mereka tadi malam. Mereka sudah memasak daging itu dengan rakitan bumbu yang menggetarkan lidah. Aku jadi tak sabar untuk mencicipi daging masakan kedua sahabatku itu. Kami bertiga mempercepatkan langkah kaki kami untuk cepat-cepat di pondok itu. Dari kejauhan hidungku sudah mencium aroma daging yang begitu sedap. Membuat lidahku merasakan kesedapannya. Walaupun lidahku belum mencicipi daging yang sedap itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun