Telemachus dan Ayahnya
Sekitar abad ke-8 SM, seorang raja bernama Oddyseus (Ulysses dalam bahasa latin) yang berusaha kembali pulang ke rumahnya di Ithaka setelah perang Troya yang berlangsung selama kurang lebih sepuluh tahun. Di masa itu pula, anaknya, Telemachus, bertumbuh dengan tidak mendapatkan kasih sayang dari seorang ayah. Namun hal itu tidak membuat Telemachus menjadi pribadi yang tidak mandiri, tidak bijaksana, atau sifat-sifat negatif lain yang bisa kita temukan pada anak dengan kurang kasih sayang dari ayahnya. Justru sebaliknya, Telemachus tumbuh menjadi anak yang tekun, bijaksana, dan memiliki jiwa leadership yang baik karena pada masa itu, Telemachus harus menyingkirkan orang yang berusaha menggoda ibunya.
Telemachus mengembara mencari ayahnya. Hal itu terpaksa ia lakukan karena para pelamar ibunya, Penelope, semakin merajalela dan menghabiskan harta kekayaan keluarganya. Situasi itu membuat telemachus perlu mengambil tindakan.
Telamachus mengunjungi beberapa tempat seperti Pylos dan Sparta. Di sparta, ia bertemu Menelaus-raja Sparta yang menceritakan bahwa Odysseus terakhir terlihat di pulau Kalypso, ditawan oleh sang dewi. Telemachus pun kembali ke Ithaka dengan harap-harap cemas.
Di lain cerita, ketika perang selesai, Odyseus pulang ke rumahnya. Ia pulang dengan cara yang unik. Ia menyamar sebagai pengemis tua sehingga tidak ada yang mengetahuinya. Hal itu ia lakukan karena istrinya, Penelope, sudah dikuasai oleh para pelamar yang mungkin dengan alasan iba karena ditinggal suami bertahun-tahun.
Penyamaran Odyseus dibantu oleh Athena, penjaga kerajaan. Penyamaran itu berjalan mulus sampai Odyseus bisa memasuki rumahnya tanpa menarik perhatian. Dalam keadaan itu, ia bisa mengamati situasi, mempelajari yang akan menjadi musuh-musuhnya, dan mengatur strategi.
Dengan bantuan Athena pula, Telemachus akhirnya bertemu dengan ayahnya. Pertemuan yang dijadwalkan oleh Athena itu sangat emosional. Namun dibalik semua perasaan emosional, masih ada yang harus mereka kerjakan yaitu menyingkirkan para pelamar dan merebut kembali takhta kerajaan.
Remaja (putri) dalam perkembangannya
Sejauh pengalaman penulis, banyak anak remaja yang mengklaim dirinya kurang kasih sayang dari orang tua. Dari ayah untuk anak perempuan, atau sebaliknya. Hal tersebut mereka klaim begitu saja tanpa perlu mengetahui apa itu afeksi, apa itu interaksi, bagaimana relasi yang seharusnya antara anak dan orang tua. Hal ini masih mengandung tanya bagi saya. Dengan kata lain, tentunya saya sebagai guru yang sehari-harinya berhadapan dengan anak (remaja), tidak begitu langsung percaya atas klaim tersebut. Kemungkinan yang lain adalah seorang anak dengan minim kontrol akan menjadi overconfident.Â
Suatu ketika saya ajak seorang anak remaja SMP untuk berbicara 4 mata dengan saya. Pembicaraan dimulai dengan memperhatikan segala sesuatu yang saya tahu tentang konseling, mulai dari posisi duduk, arah pandangan, jenis pertanyaan, dll.