Lingkungan sekitar dan media sosial juga bisa menjadi faktor pendorong doom spending. Melihat teman memamerkan barang-barang baru di media sosial dapat memicu keinginan untuk memiliki hal yang sama. Ini mendorong kita untuk ikut berbelanja, meskipun kita tidak membutuhkannya.
5. Bentuk Self-Reward
Doom spending sering dijadikan alasan sebagai bentuk self-reward atau self-care pada diri sendiri saat masa sulit. Membeli barang baru bisa menjadi bentuk menghibur diri sendiri. Sebenarnya ini tidak menjadi masalah jika dilakukan dengan perencanaan keuangan yang baik.
6. Budaya Konsumerisme
Budaya konsumerisme sering kali mendorong kita membeli lebih banyak untuk menunjukkan status atau gaya hidup. Prinsip konsumerisme adalah memiliki barang-barang tertentu untuk meningkatkan status sosial. Hal ini dapat mengakibatkan belanja impulsif, bahkan ketika kita sebenarnya tidak membutuhkannya.
7. Kurangnya Kesadaran Finansial
Orang yang terjebak dalam doom spending mungkin tidak sepenuhnya menyadari dampak terhadap pengeluaran mereka. Akibat kurangnya pemahaman tentang anggaran dan pengelolaan keuangan, mereka merasa lebih bebas untuk berbelanja tanpa mempertimbangkan konsekuensi jangka panjang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H