Fenomena doom spending tengah menjadi perhatian kalangan Milenial dan Gen Z. Doom spending merujuk pada perilaku belanja konsumtif yang bisa memicu masalah ekonomi dan keuangan.
Doom spending bisa disebabkan oleh beberapa faktor. Salah satunya ketika orang merasa tertekan dan memilih berbelanja untuk menghilangkan stres. Aktivitas belanja yang tidak direncanakan memang dapat membantu meredakan suasana hati yang negatif.
Namun, ada masalah serius jika terus menerus melakukan doom spending. Dampak ini bisa merugikan keuangan kita dalam jangka panjang.
Lantas, apa itu doom spending? Mengapa orang melakukan doom spending?
Mengenal Doom Spending
Doom spending adalah kebiasaan membelanjakan uang secara implusif sebagai cara untuk mengatasi stres dan kecemasan. Fenomena ini sering terjadi ketika seseorang merasa cemas atau takut akan masa depan yang tidak pasti.
Mereka mencoba mencari kenyamanan instan dengan cara berbelanja untuk mendapatkan kepuasan sesaat. Belanja memang sering kali menjadi cara untuk mendapatkan kembali kebahagiaan. Kegiatan ini juga dapat memberikan kepercayaan diri dan meredakan rasa cemas sesaat dari kekhawatiran mereka.
Orang yang melakukan doom spending cenderung membeli barang-barang yang tidak terlalu dibutuhkan. Jika terlalu sering dilakukan, hal ini bisa berdampak buruk terhadap masalah keuangan. Alih-alih menghilangkan stres, doom spending bisa memperburuk kondisi keuangan.
Alasan Orang Melakukan Doom Spending
1. Mengatasi Stres
Stres, kecemasan, kesepian, merupakan beberapa emosi yang sering memicu doom spending. Perasaan negatif ini bisa memicu belanja secara impulsif dengan alasan ingin membahagiakan diri sendiri. Aktivitas berbelanja dapat menciptakan perasaan senang sesaat, namun sering kali berujung pada penyesalan setelahnya.
2. Mengalihkan Perhatian
Doom spending menjadi alasan orang untuk menghindari pikiran negatif tentang masa depan yang tidak pasti. Hal ini membuat kita merasa perlu untuk menikmati hidup saat ini juga.
3. Ketidakpastian Ekonomi
Kondisi ekonomi yang buruk atau ketidakstabilan pekerjaan membuat orang mungkin merasa tertekan sehingga memilih berbelanja untuk melupakannya. Ini mendorong orang untuk menghabiskan uang sekarang daripada menabung untuk masa depan.
4. Pengaruh Lingkungan dan Media Sosial
Lingkungan sekitar dan media sosial juga bisa menjadi faktor pendorong doom spending. Melihat teman memamerkan barang-barang baru di media sosial dapat memicu keinginan untuk memiliki hal yang sama. Ini mendorong kita untuk ikut berbelanja, meskipun kita tidak membutuhkannya.
5. Bentuk Self-Reward
Doom spending sering dijadikan alasan sebagai bentuk self-reward atau self-care pada diri sendiri saat masa sulit. Membeli barang baru bisa menjadi bentuk menghibur diri sendiri. Sebenarnya ini tidak menjadi masalah jika dilakukan dengan perencanaan keuangan yang baik.
6. Budaya Konsumerisme
Budaya konsumerisme sering kali mendorong kita membeli lebih banyak untuk menunjukkan status atau gaya hidup. Prinsip konsumerisme adalah memiliki barang-barang tertentu untuk meningkatkan status sosial. Hal ini dapat mengakibatkan belanja impulsif, bahkan ketika kita sebenarnya tidak membutuhkannya.
7. Kurangnya Kesadaran Finansial
Orang yang terjebak dalam doom spending mungkin tidak sepenuhnya menyadari dampak terhadap pengeluaran mereka. Akibat kurangnya pemahaman tentang anggaran dan pengelolaan keuangan, mereka merasa lebih bebas untuk berbelanja tanpa mempertimbangkan konsekuensi jangka panjang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H