Mohon tunggu...
Okti Nur Risanti
Okti Nur Risanti Mohon Tunggu... Penerjemah - Content writer

Menulis adalah salah satu upaya saya dalam memenuhi misi mandat budaya.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Merdeka dari Ketidakpedulian

23 Agustus 2024   16:10 Diperbarui: 24 Agustus 2024   09:05 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi bendera merah putih (Unsplash -- James Tiono)

Melihat situasi bangsa akhir-akhir ini, saya agak gemas. Bukan hanya pada penguasa dan wakil-wakil rakyat yang beberapa hari ini dibicarakan dan dihujat, tapi juga pada masyarakat kita sendiri. Mengapa sih kita seringnya gagal paham, menghujat, dan menyesal belakangan, dibanding mencegah kebusukan dari awal?

Terlepas dari like atau dislike pada partai, nama-nama, dan wakil-wakil rakyat yang ada, sepertinya kebanyakan dari kita masih memilih orang, partai, dan wakil rakyat berdasarkan popularitas dan "prestasi" semu yang tampak, kalau bukan dari keuntungan pribadi yang akan didapat. Masih belum banyak orang yang benar-benar memilih berdasarkan idealisme, nilai-nilai moral, etika, kebenaran, dan keadilan yang dijunjung para kandidat dan tampak dalam visi misi maupun proses yang dijalaninya. Sementara, justru hal-hal inilah yang seharusnya menjadi dasar dan pertimbangan bagi kita untuk dapat memiliki pemerintah dan wakil rakyat yang amanah, jujur, adil, dan kompeten dalam mengemban kepercayaan yang diberikan.

Tapi, rakyat kan butuh bukti, bukan janji. Butuh makan, bukan idealisme. Dan, butuh yang mudah dicerna, bukan yang terlalu mengawang-awang.

Setuju. Saya tidak bisa menyalahkan masyarakat kita jika sampai berpikir demikian.

Saya bukannya tidak tahu kalau kita semua mungkin sudah terlalu lelah, tidak berdaya, hopeless, atau bahkan tidak punya banyak pilihan dengan situasi hukum serta demokrasi yang selalu terjadi di negara ini. Mulai dari zaman kolonial sampai saat ini, KKN masih saja merajalela. Penguasa yang sulit dipercaya. Wakil rakyat tidak mendengar aspirasi rakyat. Lembaga-lembaga negara kurang terlihat fungsinya. Rakyat hanya dicari saat kampanye, tetapi ditinggalkan saat Pemilu dan Pilkada usai. Pemerintah juga belum serius mendidik dan mencerahkan pemikiran warga negaranya. Lalu, yang sering terjadi, kita sering di-PHP oleh penguasa dan wakill rakyat saat mereka sudah berkuasa. Jadi, untuk apa kita susah-susah berpikir kritis dan idealis? Toh, kita hanya akan selalu mendapat yang itu lagi, yang itu lagi. Sami mawon. Ga ngaruh.

Dan, memang itu fakta yang terjadi saat ini. Kita selalu akan terjebak dalam situasi rumit dan kompleks saat membicarakan carut marut masalah demokrasi, politik, hukum, dan kekuasaan. Apakah kita salah memilih pemimpin dan wakil rakyat? Apakah pemerintah dan wakil rakyatnya yang suka PHP dan tidak amanah? Apakah sistem yang ada sudah tepat? Bagaimana dengan perangkat undang-undang serta penegakan hukum yang terjadi? Lalu, bagaimana dengan faktor budaya, adat, tradisi, geografis, atau situasi politik luar negeri yang memengaruhi? Dan sebagainya, dan seterusnya. Jelas, bukan single factor atau hanya satu faktor yang berpengaruh dalam isu demokrasi, politik, dan kekuasaan ini.

Nah, tapi mari kita berbicara saja pada hal yang paling mendasar dan esensial, yaitu pada partisipasi dan kedaulatan rakyat yang menjadi inti demokrasi. Dalam konteks ini, kita bicara tentang perlunya kedewasaan, sifat kritis, dan kecerdasan rakyat untuk menjadi subjek sekaligus filter utama dalam mewujudkan kedaulatannya. Jika ini tercapai, maka seharusnya elemen serta kunci dasar untuk mewujudkan sistem pemerintahan yang sesuai dengan cita-cita rakyat dan undang-undang akan tercapai. Masyarakat sejahtera, adil, dan makmur bukan lagi mimpi atau angan-angan yang jauh untuk terwujud. Tidak percaya? Lihat saja pada negara-negara maju macam Norwegia, Swedia, Finlandia, Denmark, Swiss, dsb. Salah satu faktor penting yang membuat mereka maju adalah karena mereka memiliki pemimpin dan pemerintah yang kredibel dan bisa dipercaya.

Lalu, bagaimana cara agar kita bisa menjadi subjek dan filter demokrasi yang dewasa, kritis, dan cerdas?

Dengan pendidikan dan pemberdayaan masyarakat yang dilakukan oleh penyelenggara negara, yang kemudian juga kita tindaklanjuti.

Dengan pendidikan, rakyat akan diberi ruang, fasilitas, keterampilan, pengetahuan, dan wacana untuk mampu berpikir kritis serta dalam. Lalu, dengan upaya-upaya pemberdayaan, kita akan didorong, difasilitasi, serta diberi kesempatan agar mampu berkiprah dan berkecimpung dalam dunia politik, kelembagaan, organisasi dan kepemimpinan. Pemerintah dan berbagai lembaga negara dalam hal ini berperan sebagai fasilitator, katalisator, serta dinamisator dalam mendidik dan memberdayakan masyarakat agar dapat menjadi agen-agen demokrasi yang mampu mewujudkan cita-cita kemerdekaan Indonesia berdasarkan Pancasila. Barulah setelah itu kita bisa menjalankan peran dengan sebaik-baiknya untuk memilih, memfilter, menyerahkan mandat kepada partai dan orang-orang yang akan menjabat sebagai pemerintah dan wakil rakyat, ikut mengawasi jalannya pemerintahan, fungsi lembaga negara, dan penegakan hukum, bahkan terjun ke dalam dunia politik itu sendiri. Harapannya, jika semua proses ini dijalankan dengan baik, terciptalah pemerintahan yang baik, yang dapat membawa kita menjadi masyarakat yang maju, adil, dan makmur. Namun, jika tidak, boro-boro maju dan sejahtera. Untuk hidup layak saja mungkin akan menjadi standar yang sulit untuk dicapai oleh banyak orang.

Tengok saja pada zaman penjajahan dulu. Saat itu, bangsa kita dibuat menjadi bodoh, miskin, dan terpecah agar tidak mampu melawan penjajah. Jangan sampai hal yang sama terjadi sekarang pada saat kita sudah merdeka dan lepas dari penjajahan. Tidak boleh terjadi situasi pembodohan, pengabaian, dan pembiaran dari penguasa terhadap rakyatnya sendiri untuk mampu berpikir dan bertindak kritis.

Karena itu, adalah penting bagi setiap warga negara Indonesia diberikan ruang untuk berpikir dan menyuarakan suaranya secara kritis sejak masih mengenyam pendidikan. Kurikulum dan model pendidikan yang diberikan harus membudayakan peserta didik untuk mampu berpikir dan menyuarakan pendapatnya secara merdeka dan bertanggung jawab. Budaya patriarki, feodalisme (tunduk pada otoritas dan senioritas), ekskluvisme, relasi kuasa, dan otoritarian harus dihilangkan dalam sistem pendidikan kita, bahkan sejak usia prasekolah. Sebaliknya, tanamkan budaya membaca, cinta budaya dan literasi, diskusi, presentasi, mengantri, piket, dan kebiasaan berpikir dengan nalar dan akal sehat, bukan karena mitos, membeo, apalagi karena ikut-ikutan.

Selain Pemerintah dan lembaga negara, keluarga juga punya peran penting untuk membentuk anak-anak dengan kualitas pemikiran, moral, etika, dan budi pekerti yang baik untuk berdemokrasi. Seperti yang sering beredar dalam berbagai postingan media sosial belakangan ini, adalah penting bagi orang tua untuk menanamkan rasa cukup serta rasa malu untuk melakukan hal yang tidak sesuai dengan nilai-nilai moral, etika, dan agama kepada anak. Teladan dan aksi nyata tentu saja menjadi penting untuk diterapkan, bukan hanya doktrin dan khotbah panjang setiap hari. Cinta kepada tanah air dan bangsa juga perlu diajarkan agar anak-anak memiliki wawasan kebangsaan dan nasionalisme yang menjadi modal dasar bagi mereka untuk mencintai bangsa dan tanah airnya.

Nah, apakah peran dan semua upaya itu itu sudah dilakukan, baik oleh penyelenggara negara maupun kita sendiri? 

Sudah, tetapi sifatnya masih normatif. Penyelenggara negara masih belum benar-benar maksimal menjalankan perannya untuk memajukan dan memberi pencerahan pada SDM Indonesia. Kita sendiri rasanya belum terlalu serius berupaya untuk menjadi masyarakat yang kritis dan cerdas dalam mengawal dan menjunjung tinggi pelaksanaan demokrasi dan hukum di Indonesia. Kita masih permisif membiarkan orang-orang yang salah menduduki posisi dan jabatan penting dalam penyelenggaraan negara. Kita tidak terlalu peduli dengan masalah-masalah ketidakadilan yang terjadi di negara ini. KKN serta berbagai praktik hukum, kekuasaan, dan politik yang culas dan tidak adil yang masih merajalela adalah bukti jelas dari kegagalan dan kurang seriusnya kita dalam mencegahnya.

Kalau kita serius dan benar-benar peduli, kita seharusnya akan berupaya untuk mencari tahu, untuk menjadi kritis dengan banyak membaca, menonton, mencari berita, dan kepo pada semua kandidat yang maju untuk menjadi Presiden, Wakil Presiden, kepala daerah bahkan wakil rakyat dalam hal rekam jejak, prestasi, dan kompetensinya.

Lalu, kita juga perlu mencari tahu apakah cara, proses, dan sistem yang mereka gunakan untuk meraih suara adalah cara-cara yang bermoral, beretika, dan taat hukum. Jika kandidatnya adalah petahana, kita perlu melihat pada capaian serta rekam jejaknya selama menjabat, apakah ybs. memiliki capaian dan rekam jejak yang baik, tidak cacat hukum, amanah, dan tepercaya. Jika semua itu sudah kita lakukan, barulah kita menentukan siapa orang yang akan kita pilih dalam Pemilu atau Pilkada. Tentu saja, kita juga perlu memiliki pemahaman bahwa Pemilu bukanlah bertujuan untuk memilih yang terbaik dan sempurna, melainkan untuk mencegah yang terburuk berkuasa.
   
Sulit? Terlalu idealis? Kebanyakan teori?

Mungkin. Bagi mereka yang tidak kritis, bagi mereka yang terbiasa untuk mengambil jalan instan dan pintas, terbiasa menikmati privilege (kekuasaan), terbiasa curang, terbiasa tidak adil dan jujur, terbiasa hidup dalam budaya feodal, bersifat materialistis, tidak (mau) berpikir jauh bagi kepentingan bangsa dan negara, semua itu akan terasa sangat jauh di awang-awang dan sulit untuk dipraktikkan.

Namun, jika kita mencintai Indonesia dan sungguh-sungguh menginginkan cita-cita kemerdekaan terwujud bagi bangsa ini ke depan, kita akan sadar bahwa tidak ada jalan yang mudah dan cepat untuk membangun sebuah peradaban. Jalan panjang dan sulit itu memang perlu ditempuh agar Indonesia emas tidak hanya menjadi jargon semata.

Konon, lawan dari cinta itu bukan benci, melainkan indifference atau ketidakpedulian.

Jadi, kalau kita benar-benar cinta pada negara dan bangsa ini, yuk mulai menjadi pribadi-pribadi yang lebih peduli dan kritis dalam mengawal demokrasi, hukum, dan dinamika politik Indonesia ke arah yang benar. Mari kita sama-sama mencegah kebusukan dan kesewenang-wenangan yang akan menghambat cita-cita kita untuk menjadi bangsa yang maju, sejahtera, dan beradab.

Mari merdeka dari ketidakpedulian.

   

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun