Karena itu, adalah penting bagi setiap warga negara Indonesia diberikan ruang untuk berpikir dan menyuarakan suaranya secara kritis sejak masih mengenyam pendidikan. Kurikulum dan model pendidikan yang diberikan harus membudayakan peserta didik untuk mampu berpikir dan menyuarakan pendapatnya secara merdeka dan bertanggung jawab. Budaya patriarki, feodalisme (tunduk pada otoritas dan senioritas), ekskluvisme, relasi kuasa, dan otoritarian harus dihilangkan dalam sistem pendidikan kita, bahkan sejak usia prasekolah. Sebaliknya, tanamkan budaya membaca, cinta budaya dan literasi, diskusi, presentasi, mengantri, piket, dan kebiasaan berpikir dengan nalar dan akal sehat, bukan karena mitos, membeo, apalagi karena ikut-ikutan.
Selain Pemerintah dan lembaga negara, keluarga juga punya peran penting untuk membentuk anak-anak dengan kualitas pemikiran, moral, etika, dan budi pekerti yang baik untuk berdemokrasi. Seperti yang sering beredar dalam berbagai postingan media sosial belakangan ini, adalah penting bagi orang tua untuk menanamkan rasa cukup serta rasa malu untuk melakukan hal yang tidak sesuai dengan nilai-nilai moral, etika, dan agama kepada anak. Teladan dan aksi nyata tentu saja menjadi penting untuk diterapkan, bukan hanya doktrin dan khotbah panjang setiap hari. Cinta kepada tanah air dan bangsa juga perlu diajarkan agar anak-anak memiliki wawasan kebangsaan dan nasionalisme yang menjadi modal dasar bagi mereka untuk mencintai bangsa dan tanah airnya.
Nah, apakah peran dan semua upaya itu itu sudah dilakukan, baik oleh penyelenggara negara maupun kita sendiri?Â
Sudah, tetapi sifatnya masih normatif. Penyelenggara negara masih belum benar-benar maksimal menjalankan perannya untuk memajukan dan memberi pencerahan pada SDM Indonesia. Kita sendiri rasanya belum terlalu serius berupaya untuk menjadi masyarakat yang kritis dan cerdas dalam mengawal dan menjunjung tinggi pelaksanaan demokrasi dan hukum di Indonesia. Kita masih permisif membiarkan orang-orang yang salah menduduki posisi dan jabatan penting dalam penyelenggaraan negara. Kita tidak terlalu peduli dengan masalah-masalah ketidakadilan yang terjadi di negara ini. KKN serta berbagai praktik hukum, kekuasaan, dan politik yang culas dan tidak adil yang masih merajalela adalah bukti jelas dari kegagalan dan kurang seriusnya kita dalam mencegahnya.
Kalau kita serius dan benar-benar peduli, kita seharusnya akan berupaya untuk mencari tahu, untuk menjadi kritis dengan banyak membaca, menonton, mencari berita, dan kepo pada semua kandidat yang maju untuk menjadi Presiden, Wakil Presiden, kepala daerah bahkan wakil rakyat dalam hal rekam jejak, prestasi, dan kompetensinya.
Lalu, kita juga perlu mencari tahu apakah cara, proses, dan sistem yang mereka gunakan untuk meraih suara adalah cara-cara yang bermoral, beretika, dan taat hukum. Jika kandidatnya adalah petahana, kita perlu melihat pada capaian serta rekam jejaknya selama menjabat, apakah ybs. memiliki capaian dan rekam jejak yang baik, tidak cacat hukum, amanah, dan tepercaya. Jika semua itu sudah kita lakukan, barulah kita menentukan siapa orang yang akan kita pilih dalam Pemilu atau Pilkada. Tentu saja, kita juga perlu memiliki pemahaman bahwa Pemilu bukanlah bertujuan untuk memilih yang terbaik dan sempurna, melainkan untuk mencegah yang terburuk berkuasa.
 Â
Sulit? Terlalu idealis? Kebanyakan teori?
Mungkin. Bagi mereka yang tidak kritis, bagi mereka yang terbiasa untuk mengambil jalan instan dan pintas, terbiasa menikmati privilege (kekuasaan), terbiasa curang, terbiasa tidak adil dan jujur, terbiasa hidup dalam budaya feodal, bersifat materialistis, tidak (mau) berpikir jauh bagi kepentingan bangsa dan negara, semua itu akan terasa sangat jauh di awang-awang dan sulit untuk dipraktikkan.
Namun, jika kita mencintai Indonesia dan sungguh-sungguh menginginkan cita-cita kemerdekaan terwujud bagi bangsa ini ke depan, kita akan sadar bahwa tidak ada jalan yang mudah dan cepat untuk membangun sebuah peradaban. Jalan panjang dan sulit itu memang perlu ditempuh agar Indonesia emas tidak hanya menjadi jargon semata.
Konon, lawan dari cinta itu bukan benci, melainkan indifference atau ketidakpedulian.
Jadi, kalau kita benar-benar cinta pada negara dan bangsa ini, yuk mulai menjadi pribadi-pribadi yang lebih peduli dan kritis dalam mengawal demokrasi, hukum, dan dinamika politik Indonesia ke arah yang benar. Mari kita sama-sama mencegah kebusukan dan kesewenang-wenangan yang akan menghambat cita-cita kita untuk menjadi bangsa yang maju, sejahtera, dan beradab.
Mari merdeka dari ketidakpedulian.