Mohon tunggu...
Okti Nur Risanti
Okti Nur Risanti Mohon Tunggu... Penerjemah - Content writer

Menulis adalah salah satu upaya saya dalam memenuhi misi mandat budaya.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Pendidikan Tinggi, Untuk Apa dan Siapa?

20 Mei 2024   07:07 Diperbarui: 24 Mei 2024   16:14 891
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi gambar pendidikan tinggi (Unsplash, MD Duran)

Sebagai orang tua dari anak yang akan segera memasuki perguruan tinggi, ribut-ribut tentang kenaikan UKT (Uang Kuliah Tunggal) di PTN yang sangat memberatkan banyak mahasiswa dan orang tua saat ini terasa jadi begitu relevan dan relate. 

Dibanding dulu, rasanya kok orang tua zaman sekarang makin memiliki pergumulan yang berat untuk menguliahkan anaknya di perguruan tinggi. Padahal, visi Indonesia emas 2045 sangat terkait dengan dunia pendidikan sebagai sarana pencetak SDM bangsa yang unggul dan kompeten dalam menghadapi berbagai tantangan dan masalah global.

Meski mahalnya biaya pendidikan itu bukan isu baru dan bahwa kita sebenarnya juga sadar bahwa pendidikan itu merupakan investasi mahal, tapi benarkah wacana yang menyatakan bahwa pendidikan tinggi itu hanya bagi orang kaya? Bagaimana peran negara dalam hal ini? Lalu, bagaimana sebenarnya hak setiap warga masyarakat terkait dengan pendidikan di negara kita?

Supaya bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, mari mulai dengan pertanyaan untuk apa dan untuk siapa pendidikan itu.

Tujuan Pendidikan

Pendidikan secara umum merupakan proses atau kegiatan yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan peserta didik melalui berbagai jenis dan jenjang pembelajaran agar mereka mampu hidup dan berkontribusi di tengah masyarakat. 

Lebih lanjut, pendidikan merupakan syarat utama untuk membangun serta membentuk pengetahuan, kapasitas, karakter, kepribadian, moral, etika, serta peradaban bangsa. 

Dalam konteks Indonesia, untuk mencapai amanat konstitusi yang terdapat dalam pembukaan UUD'45, pendidikan menjadi sarana negara untuk memajukan kesejahteraan umum serta mencerdaskan kehidupan bangsa.

Berdasarkan fungsi dan tujuan pendidikan tersebut maka negara juga wajib untuk mengupayakan dan memajukan pendidikan anak bangsa demi mewujudkan cita-cita konstitusi. Upaya tersebut secara signifikan akan tampak pada upaya pemerintah dalam pembangunan infrastruktur, sarana-prasarana, kebijakan, sistem, kurikulum. perundangan, pendanaan, termasuk memberi akses pendidikan sebesar-besarnya kepada warga negara

Untuk Siapa?

Dalam UUD pasal 31 ayat 1 tertulis bahwa setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.

Ini berarti pendidikan adalah hak bagi setiap warga negara. Sebagai konsekuensinya, negara tidak boleh menghalangi upaya dari setiap warganya untuk mendapatkan akses pendidikan dalam berbagai jenjang dan jenis pendidikan. 

Tidak boleh ada diskriminasi atau isu yang sifatnya menghambat setiap individu untuk mengenyam pendidikan. Dan, tidak boleh terjadi bahwa hanya ada segelintir orang yang mampu mengakses pendidikan demi alasan apa pun. Pendidikan harus bersifat inklusi, setara, dan bagi semua.

Nah, dengan melihat tujuan serta sasaran pendidikan dari kerangka konstitusi, sekarang kita jadi punya dasar untuk mengatakan bahwa ketidakmampuan pemerintah saat ini untuk menjamin akses bagi setiap warga negara agar dapat mengenyam pendidikan di perguruan tinggi merupakan tindakan yang menjauh dari cita-cita konstitusi.  

Negara, terutama melalui PTN, seharusnya memfasilitasi anggota masyarakat agar mendapat kesempatan untuk mengenyam pendidikan di perguruan tinggi. 

Jika kemudian ada masalah fasilitas, sarana prasarana, serta biaya pendidikan tinggi yang mahal cost-nya maka sudah menjadi tugas negara dan pemangku kepentingan untuk mengatasi masalah tersebut. Beban dari mahalnya biaya pendidikan mestinya menjadi tanggung jawab pemerintah, meski dana dari masyarakat juga dapat dipergunakan untuk meringankannya. 

Jangan lupa, masalah kebocoran dana dan sistem tata kelola perguruan tinggi yang lebih baik juga masih sangat perlu dibenahi agar anggaran dari pemerintah sungguh mengena pada sasaran.  

Tak heran jika pernyataan dari pihak Kemendikbud tentang pendidikan tinggi sebagai tersier menjadi blunder ketika dari sana tersirat bahwa pemerintah/negara lepas tangan dalam memberi akses yang setara pada setiap warga negara untuk mengenyam pendidikan tinggi. 

Meski dalam UUD'45 pasal 31 ayat 2 tertulis bahwa Pemerintah wajib membiayai pendidikan dasar (SD--SMA), itu bukan berarti negara boleh lepas tangan dari kewajiban memberi akses bagi setiap warga negara untuk mengenyam pendidikan tinggi. Sebab, mencerdaskan kehidupan bangsa (melalui pendidikan tinggi) yang tercantum dalam pembukaan UUD'45 merupakan amanat konstitusi yang wajib hukumnya untuk dijalankan oleh penyelenggara negara.  

Salah Kaprah Pandangan tentang Pendidikan Tinggi

Terlepas dari konteks isu kenaikan UKT, saya juga ingin menyoroti banyaknya pandangan yang keliru dari masyarakat sendiri mengenai pendidikan. Salah satunya adalah anggapan bahwa perguruan tinggi merupakan cara/sarana bagi seseorang untuk memperoleh kesuksesan secara materi.

Meski tidak sepenuhnya salah, tetapi jelas bukan itu yang menjadi arti dan tujuan dari pendidikan.

Pendidikan tinggi ala kapitalisme yang hanya bersifat materialistis seperti itu justru mengerdilkan makna sejati dari pendidikan. Berhasil lulus dari perguruan tinggi seharusnya menjadikan seseorang makin bermanfaat dan berdampak dalam masyarakat. Itu tidak diukur dari banyaknya materi yang didapat, melainkan dari seberapa besar pengaruh yang masyarakat terima dari kiprah yang mereka hasilkan.

Lagipula, kalau hanya ingin kaya atau punya kelimpahan materi, seseorang tidak perlu harus menempuh jalur pendidikan tinggi. Dengan berdagang, berinvestasi, memproduksi/menghasilkan karya, menjual/menyediakan jasa, atau membuat konten melalui berbagai platform yang sekarang sedang marak, seorang dengan latar belakang pendidikan sekolah dasar (SD -- SMA) pun bisa memiliki pemasukan yang melebihi penghasilan seorang lulusan S1, bahkan S3 sekalipun.

Pendidikan tinggi seharusnya menjadi hak semua orang, terutama buat mereka yang sungguh punya visi, misi, dan idealisme untuk berkontribusi lebih bagi masyarakat. Dengan begitu, wacana, pengetahuan, keterampilan, serta dasar berpikir kritis yang diperoleh dari dunia perguruan tinggi dapat menjadi modal penting bagi mereka untuk dan ketika berkontribusi di tengah masyarakat.

Terkait dengan tingginya UKT PTN,  kita bayangkan saja kalau pendidikan tinggi di Indonesia hanya dapat diakses oleh kalangan "the have"! Lalu, bagaimana nasib mayoritas masyarakat Indonesia yang berasal dari kalangan menengah dan menengah ke bawah, yang sebetulnya cerdas, punya kapasitas, punya visi, misi, serta idealisme baik untuk berkontribusi bagi masyarakat? 

Tidakkah UKT tinggi akhirnya malah menjadi sistem dari negara yang justru memotong kesempatan mereka untuk berkontribusi dan berdampak positif bagi kemajuan bangsa? Ujung-ujungnya, bangsa kita malah jadi kehilangan kesempatan untuk memiliki SDM unggul dan bermutu.

Belum lagi kebanyakan orang tua sendiri juga punya pemikiran salah kaprah dalam menanamkan tujuan pendidikan kepada anak-anaknya. Karena merasa sudah banyak berinvestasi pada dana pendidikan anak yang dimulai sejak preschool, mereka lalu menanamkan pemikiran pada anaknya untuk hanya berambisi memiliki pekerjaan atau karier dengan penghasilan tinggi. 

Kalau bisa, bahkan mencari pekerjaan di luar negeri yang lebih cuan. Idealisme untuk bekerja dan berkontribusi demi kemajuan masyarakat dianggap tidak penting. Masa bodoh kalau Indonesia belum sejahtera dan sulit maju. Yang penting anak mereka kaya dan makmur. Yang lain, EGP, alias emang gue pikirin.

Atau, jangan-jangan, mungkin itulah penyebab mengapa negara kita sekarang memiliki krisis keteladanan. Karena pendidikan dipandang hanya sebagai sarana untuk mencari uang, kampus seringnya mencetak orang-orang intelek tetapi yang kurang punya manfaat dan kontribusi tinggi terhadap masyarakat. 

Para koruptor dan PNS yang bekerja semaunya dan seadanya mungkin menjadi potret buram dari hasil pendidikan kita yang cenderung bersifat materialistis dan kurang punya idealisme.

Tragis.

Jelas, bahwa meski sudah berulangkali berganti menteri dan kurikulum sejak merdeka 79 tahun yang lalu, negara kita ini masih punya banyak PR dan segudang masalah dalam bidang pendidikan. 

Hari ini, kita membahas isu UKT dan pandangan terhadap pendidikan tinggi yang salah kaprah. Di luar itu, masih ada banyak lagi isu kompleks dalam dunia pendidikan kita, seperti: mutu dan kompetensi guru, kemampuan literasi siswa, akses buat penyandang difabel untuk mendapat pendidikan inklusi, masalah kurikulum sekolah, minimnya penelitian dan jurnal ilmiah yang dihasilkan dosen perguruan tinggi, kesiapan lulusan perguruan tinggi dalam menghadapi era industri 4.0, dan sebagainya, dan seterusnya.

Yah, pada akhirnya mari kita berharap dan berupaya agar Indonesia emas tidak menjadi Indonesia cemas gara-gara masalah carut marut dalam dunia pendidikan ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun