AI, kian menimbulkan tantangan bagi kehidupan manusia. Salah satu tantangan yang sudah dan akan semakin meningkat praktiknya ke depan adalah beberapa pekerjaan manusia yang akan digantikan oleh mesin atau robot. Tentunya, kita perlu menyiapkan diri untuk dapat menghadapi tantangan ini. Kompas sudah sering membahas tentang hal ini, dan dalam salah satu artikelnya disebutkan bahwa penilaian analitis, kecerdasan emosional, evaluasi kreatif, dan keingintahuan intelektual menjadi hal-hal yang perlu dikuasai oleh pekerja manusia saat ini dan ke depan. Mengapa? Sebab, keterampilan atau kemampuan tersebut sukar untuk dapat disamai levelnya oleh teknologi kecerdasan buatan. (https://www.kompas.id/baca/ekonomi/2023/05/23/hadapi-perkembangan-ai-penilaian-analitis-jadi-keterampilan-mahal). Â
Perkembangan teknologi, khususnyaNamun, selain berbagai kemampuan dan keterampilan tersebut, ada lagi hal yang perlu dimiliki oleh manusia, khususnya generasi muda, agar dapat bertahan mengatasi tantangan zaman. Menurut saya, hal ini justru menjadi dasar penting yang perlu kita miliki, terutama karena kita semua, tanpa terkecuali, akan menghadapi tantangan yang semakin besar dan sulit ke depan. Persoalan kerusakan alam dan daya dukung lingkungan, sumber daya alam yang kian menipis, persaingan antarindividu yang semakin ketat (dalam hal studi, pekerjaan, dan akses untuk memperoleh keamanan, kemakmuran dan kesejahteraan), serta persaingan dengan mesin atau teknologi itu sendiri sudah semakin nyata dan berpotensi mengancam kehidupan dan kesejahteraan umat manusia di dunia.
Ok, jadi apa yang kita perlukan?
Resilience atau daya lenting.
Nah, apa sih resilience itu?
Kamus Oxford menjelaskan resilience sebagai kemampuan seseorang untuk bertahan dan memulihkan diri dari kesulitan. Ini juga tentang bagaimana seseorang bisa menjadi 'elastis' saat menghadapi berbagai situasi. Resilience sangat terkait dengan emosi, mental, dan perilaku seseorang untuk dapat fleksibel dalam menghadapi segala situasi. Dengan resilience, seseorang bisa bekerja lebih mudah dan cepat untuk bertumbuh menjadi pribadi yang lebih baik (https://mnp.ac.id/feature/resilience-artinya/). Resilience, thus, tidak cuma erat terkait dengan konteks bencana saja.
Dari situ jelas kan mengapa resilience atau daya lenting ini menjadi sifat atau skill dasar yang perlu kita miliki untuk bertahan menghadapi tantangan, kesulitan, bahkan kegagalan dalam hidup. Sebab, bahkan tanpa tantangan yang sudah saya sebutkan di awal tulisan tadi saja, kita semua niscaya akan menghadapi situasi-situasi tersebut dalam hidup. Tidak seorang pun memiliki privilege untuk terluput dari hal-hal semacam itu.Â
Daya lenting atau resilience-lah yang kemudian menjadi faktor pembeda pada bagaimana masing-masing orang akan dapat bangkit, bertahan, dan terus melangkah sampai akhir. Jika Darwin masih hidup saat ini, mungkin ia akan menyebutkan resilience sebagai salah satu kemampuan untuk beradaptasi yang perlu dimiliki oleh species/individu untuk bertahan dari kepunahan (survival of the fittest). Lagipula, meski rata-rata orang mungkin memiliki natur untuk mencapai tujuan atau keberhasilan dengan cara/kemampuan/kepandaian/sikap yang mereka miliki, tetapi tidak semua orang mampu pulih dan bangkit dari kegagalan atau kesulitan dengan baik.
Sayangnya, resilience ini bukan satu sifat/kemampuan yang dapat kita miliki secara otomatis atau dengan sendirinya. Generasi strawberry yang isunya pernah dibahas oleh Prof. Rhenald Kasali dalam YouTube, tampaknya akan sulit untuk menampilkan sifat ini dalam diri mereka. How come?
Sebab, daya lenting atau resilience ini hanya akan muncul dalam diri mereka yang sudah terbiasa struggle atau berjuang dalam hidupnya. Mereka-mereka yang terbiasa hidup dalam kemudahan dan zona nyaman akan sulit untuk memiliki sifat atau kemampuan ini karena mereka tidak pernah "dilatih" atau terbiasa untuk menghadapi serta menyikapi kesulitan atau kegagalan.
Dulu, kita mungkin bisa dengan mudah berlindung dalam zona nyaman dengan situasi yang ada pada saat itu. Namun, sekarang, apalagi ke depan, dengan semakin besarnya tantangan, persaingan, kesulitan, dan berbagai situasi "kelangkaan" yang terjadi, mau tak mau kita semua perlu memiliki resilience atau daya lenting jika ingin terus eksis, alias bertahan.
Lalu, bagaimana kita -- baik sebagai pribadi, orang tua, maupun pendidik -- dapat menumbuhkan atau menerapkan resilience ini pada diri sendiri maupun anak-anak kita?
1. Jangan Suka Berada di Zona Nyaman
Tantang diri sendiri atau anak-anak kita untuk berani mencoba dan melakukan berbagai hal baru, kebiasaan baru, tantangan baru, bahkan hal-hal yang sulit. Dengan melakukannya, selain dapat belajar banyak hal dan pengalaman baru dalam prosesnya, kita atau anak-anak kita juga akan memiliki pengalaman gagal berulang kali yang mesti dihadapi (tidak ada yang mahir sebagai pemula!). Jika sudah terbiasa menghadapi tantangan, kesulitan, dan kegagalan, kita tidak akan lagi memandang kegagalan sebagai "end of the world" dan mudah berputus asa. Kita justru akan menjadi pribadi yang tangguh dan cepat bangkit dalam situasi sulit.Â
2. Kembangkan Sikap Suka Belajar dan Miliki Literasi yang Baik
Kedua hal tersebut menjadi dasar bagi kita dan anak-anak kita untuk memiliki pengetahuan, wacana, wawasan, dan keterampilan yang diperlukan agar dapat merespons dan memecahkan berbagai masalah dengan tepat.
3. Selalu Belajar untuk Beradaptasi
Mampu menerima setiap perubahan atau pengalaman baru serta bersikap terbuka untuk menyesuaikan diri dengan konteks dan situasi yang ada merupakan hal yang perlu kita upayakan. Dengan memiliki sikap ini, kita akan mengembangkan sikap untuk mudah beradaptasi menghadapi setiap perubahan, bahkan untuk cepat bangkit dari kegagalan atau kesulitan.
4. Miliki Mindset yang Tepat tentang Kegagalan
Tanamkan pemikiran ini dalam diri kita dan anak-anak kita: Kegagalan itu merupakan proses atau peristiwa yang harus kita alami atau hadapi sebelum mencapai tujuan atau keberhasilan! Singkirkan jauh-jauh pemikiran bahwa kegagalan merupakan sebuah kekalahan, hal yang harus dihindari, hal yang merugikan, apalagi tanda atau bukti dari ketidakmampuan/kekalahan. Nope. Itu adalah proses yang mesti kita lalui untuk menjadi semakin baik ke depan. Dengan berani mencoba dan gagal, kita akan lebih banyak belajar, mengembangkan diri, dan mengembangkan mental pejuang.Â
5. Belajar untuk Memiliki Sikap Positif
Sikap positif menjadi kekuatan bagi kita untuk mampu melihat hal-hal baik dari setiap situasi sekaligus mendorong kita untuk bangkit dari kesulitan dan kegagalan. Namun, sikap positif sendiri bukan sesuatu yang muncul secara alami dengan sendirinya dalam diri dan pemikiran kita. Sikap ini muncul sebagai buah dari kehidupan spiritualitas yang baik dari seseorang, yang ditandai dengan rasa syukur dan keimanan yang kuat. Untuk itu, kita perlu memiliki relasi yang erat dengan Tuhan, yang berdaulat atas segala sesuatu yang terjadi pada ciptaan-Nya. Inilah yang menjadi pegangan kita dalam menghadapi aneka tantangan dan persoalan hidup dan memampukan kita untuk dapat bersikap positif.Â
Masih banyak lagi yang sebenarnya bisa kita lakukan untuk dapat mengembangkan resilience dalam diri kita maupun anak-anak kita. Namun, kelima hal di atas rasanya sudah cukup untuk dapat kita terapkan mulai sekarang.Â
Jangan lupa, untuk bisa menjadi seorang resilient, dibutuhkan waktu, usaha, serta kesabaran. Be patient with ourselves and with the process. Lakukan selangkah demi selangkah, biasakan, terus bertekun, dan uletlah dalam menjalaninya. Tanpa sadar, dengan terus melakukannya, suatu saat nanti kita bahkan tidak akan menyadari bahwa sesungguhnya kita sudah menjadi pribadi yang ulet, berdaya lenting, tidak mudah menyerah maupun berputus asa.
Semangat!
Â
Â