Mohon tunggu...
Okti Nur Risanti
Okti Nur Risanti Mohon Tunggu... Penerjemah - Content writer

Menulis adalah salah satu upaya saya dalam memenuhi misi mandat budaya.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Covid-19, Petaka atau Kesempatan?

22 Maret 2020   16:57 Diperbarui: 22 Maret 2020   19:49 588
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Hari ini, saya mengikuti ibadah daring gereja melalui video streaming di YouTube. Begitu juga dengan suami dan anak yang mengikuti misa dari gereja Katedral dari siaran YouTube. 

Dengan adanya himbauan untuk beribadah, bekerja, dan belajar di rumah, kami berusaha untuk mengikuti aturan pemerintah, termasuk dalam mengikuti ibadah minggu yang biasanya kami lakukan di gereja.

Aneh? Ya, memang sedikit aneh, dan kurang, karena ada banyak hal yang tidak bisa kami lakukan saat melakukan ibadah online ini, terutama bagi suami yang menjadi umat gereja Katolik. Dia tidak bisa menerima komuni seperti pada misa biasa yang diadakan di gereja. 

Ada banyak keterbatasan, memang, tetapi kami menyadari bahwa situasi ini adalah yang terbaik dan menjadi bentuk lain dari pernyataan iman, untuk mengasihi dan berbela rasa dengan dunia dan masyarakat yang tengah menghadapi pandemi.

Jika dipikir-pikir, selalu ada hikmah atau berkat di balik setiap persoalan. Pandemi Covid-19 ini membuat kita semua harus menatap realitas dan bertindak dengan cara yang berbeda. Yang paling mencolok tentu saja adalah hidup sekarang berjalan secara digital, di mana kita bekerja, belajar, dan beribadah secara daring. 

Kita semua dipaksa untuk melakukan koneksi dan beraktivitas secara daring, sesuatu yang sebelum ini masih tampak asing dan belum lazim dilakukan oleh mayoritas orang. Ini tentu menjadi satu perkembangan positif, dan seharusnya dapat melahirkan peluang-peluang baru bagi mereka yang berpikiran maju dan kreatif.

Pada sisi lain, meski beraktivitas secara daring, pandemi covid-19 ini juga membuat kita kembali ke rumah, tempat yang tampaknya justru menjadi semakin "asing" bagi kebanyakan orang belakangan ini. 

Sekarang, kita kembali beraktivitas bersama-sama di rumah, menikmati masakan rumah, menikmati atmosfer dalam rumah, dan berkumpul dengan orang-orang rumah. 

Hal-hal yang dulu hanya kita jalani pada saat akhir pekan atau libur panjang, kini menjadi sesuatu yang dapat kita nikmati setiap hari, meski bukan dalam suasana liburan. Mengenal anak, orangtua, saudara, bahkan diri sendiri dengan lebih baik menjadi kesempatan yang terbuka lebar bagi kita pada masa-masa ini, sesuatu yang biasanya sulit kita lakukan dalam kesibukan atau rutinitas di luar rumah.  

Banyak dari kita juga dipaksa untuk beristirahat sebagai akibat dari wabah virus corona. Kita yang selama ini selalu dikejar deadline, pekerjaan, rutinitas, janji, rapat, pertemuan, evaluasi, tugas, dsb, dst, harus menjadi lebih memperlambat ritme kita dalam masa-masa ini. Tanpa disadari, kita sesungguhnya sedang memberi kesempatan kepada tubuh, mental, dan pikiran kita untuk beristirahat. 

Memang tidak sepenuhnya beristirahat, tetapi paling tidak beristirahat dari ritme serba sibuk, cepat, terburu-buru, dan unconscious yang sudah menjadi kebiasaan kita setiap hari. 

Kita membutuhkan waktu untuk jeda, untuk kembali melihat pada hal-hal lain yang biasanya terabaikan atau tidak kita pedulikan, yang sesungguhnya penting bagi kesehatan jiwa dan mental kita. Dan, pandemi covid-19 memberi kesempatan tersebut kepada kita. Blessings in disguise, begitu biasa kita menyebutnya, atau berkat di balik awan. Virus corona ternyata membawa banyak hal yang patut untuk disyukuri, entah disadari atau tidak.

Peristiwa baru juga membawa pengetahuan, bahasa, atau fenomena baru. Selain pengetahuan tentang wabah dan apa pun yang terkait dengan virus corona sendiri, ada banyak hal baru yang kita dapatkan selama pandemi ini berkembang. Lockdown, salah satunya. Tidak banyak yang tahu istilah ini sebelumnya. 

Namun, kini lockdown hampir menjadi bahan pembicaraan kita setiap hari, di mana pun dan kapan pun. Rasanya selama hampir sebulan ini, tidak pernah saya tidak melihat kata-kata lockdown berseliweran di media berita dan sosial, baik dalam bentuk berita, obrolan, saran, kritik, bahkan hujatan. Hal yang sama juga dapat dilihat dengan istilah social distancing, wfh alias work from home, dan pembelajaran jarak jauh.

Lalu, ibadah daring/online juga menjadi salah satu hal yang mesti kita terima, meski praktiknya sendiri sebenarnya bukan baru dilakukan pada saat ini. Sudah banyak gereja atau orang yang menyediakan dan melakukan ibadah secara online sebelumnya. Namun, situasi pandemi covid-19 lah yang membuat banyak orang "dipaksa" untuk melakukan ibadah online di rumah, baik secara pribadi maupun bersama keluarga. 

Terlepas dari pro kontra setuju atau tidak setuju terhadap cara ibadah ini, gereja digital menjadi salah satu alternatif yang perlu serius dipikirkan oleh gereja dalam menjangkau banyak orang. Arus zaman tidak surut ke belakang, dan gereja juga harus mau dan mampu memanfatkan teknologi sebagai media untuk mendekatkan orang kepada Tuhan. Menjadi relevan, atau ditinggalkan. Itu pilihan yang harus dihadapi oleh gereja dalam arus perkembangan informasi dan teknologi saat ini.

Meski begitu, wabah covid-19 juga bisa menjadi ancaman pada kerukunan dan persatuan pada bentuk yang berbeda. Dengan adanya larangan untuk mengadakan kerumunan massal, himbauan untuk social distancing, dan melakukan berbagai aktivitas dari rumah, ternyata berimbas buruk kepada orang-orang yang belum memahami benar persoalan mengenai ancaman yang ditimbulkan oleh virus ini secara luas kepada stabilitas sistem kesehatan, ekonomi, keamanan, dan kesejahteraan masyarakat. 

Segala kebijakan yang ada pada saat ini justru menjadikan mereka berprasangka buruk kepada pemerintah, sesama, bahkan Tuhan. Banyak yang belum siap untuk menjaga jarak, menghindari pertemuan sosial, untuk sebisa mungkin tetap berada di rumah, dan untuk beribadah dari rumah.

Seminggu terakhir, banyak sekali pro kontra yang timbul mengenai masalah beribadah di rumah ini. Saling hujat dan menghakimi terjadi di antara sesama umat. Tidak beriman, lebih takut kepada virus atau pemerintah, bahkan sampai pernyataan bahwa ibadah online itu sesat, menjadi hal-hal yang mewarnai hari-hari di antara sesama orang Kristen sendiri. 

Rasanya menyedihkan sekali ketika banyak orang masih terpancang pada pola dan tradisi, bukan pada hal yang esensi dan mendasar. Lebih menyakitkan lagi jika itu ternyata menjadi alasan bagi terjadinya perpecahan di antara umat Tuhan. Benarkah kita sudah menjadi orang beriman yang dewasa, patut menjadi refleksi kita masing-masing pada hari-hari ini.

Sementara kita tidak tahu kapan situasi ini akan segera berakhir agar dunia kita menjadi normal kembali, hal terbaik yang dapat dilakukan adalah menjalani setiap hari sebaik mungkin. Keluhan tidak akan membawa hasil apa pun, kecuali kesuraman yang lebih gelap. 

Jika sampai hari ini kita masih sehat, masih dapat bekerja, menikmati makanan yang tersedia di atas meja, beraktivitas dan berkumpul dengan anggota keluarga di rumah, bersyukurlah. Namun, dalam rasa syukur itu, jangan sampai kita menjadi pongah dan menutup mata terhadap kebutuhan orang lain. Gunakan kesehatan kita agar dapat berguna bagi yang lain.

Masa-masa kesukaran ini justru menjadi kesempatan terbaik bagi kita untuk mengembangkan dan menempa karakter baik dalam diri. Selain korban jiwa, ada banyak orang yang menderita dan terpukul di luar sana karena wabah virus corona. 

Mereka yang kehilangan orang-orang yang dikasihi, mereka yang tidak dapat bekerja dan mencari nafkah, mereka yang kesepian, mereka yang terkucilkan, dan mereka yang mengalami kesulitan ekonomi. 

Akan baik sekali jika kita bisa membantu, memberikan daya, tenaga, waktu, materi, pikiran, atau usaha untuk meringankan beban dan penderitaan mereka. Namun, jika ada banyak kendala dan keterbatasan yang kita miliki, maka hal terkecil sekaligus terbesar yang dapat kita lakukan adalah berdoa, dan membawa situasi mereka kepada Sang Pengendali Hidup.

Covid-19 bisa menjadi petaka atau kesempatan bagi kita, tergantung dari sudut mana kita memandang dan menyikapinya. Di atas semua itu, kita bisa tetap percaya, Tuhan baik. Dan, Ia masih berkuasa mengendalikan setiap keadaan dan situasi.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun