Kita membutuhkan waktu untuk jeda, untuk kembali melihat pada hal-hal lain yang biasanya terabaikan atau tidak kita pedulikan, yang sesungguhnya penting bagi kesehatan jiwa dan mental kita. Dan, pandemi covid-19 memberi kesempatan tersebut kepada kita. Blessings in disguise, begitu biasa kita menyebutnya, atau berkat di balik awan. Virus corona ternyata membawa banyak hal yang patut untuk disyukuri, entah disadari atau tidak.
Peristiwa baru juga membawa pengetahuan, bahasa, atau fenomena baru. Selain pengetahuan tentang wabah dan apa pun yang terkait dengan virus corona sendiri, ada banyak hal baru yang kita dapatkan selama pandemi ini berkembang. Lockdown, salah satunya. Tidak banyak yang tahu istilah ini sebelumnya.Â
Namun, kini lockdown hampir menjadi bahan pembicaraan kita setiap hari, di mana pun dan kapan pun. Rasanya selama hampir sebulan ini, tidak pernah saya tidak melihat kata-kata lockdown berseliweran di media berita dan sosial, baik dalam bentuk berita, obrolan, saran, kritik, bahkan hujatan. Hal yang sama juga dapat dilihat dengan istilah social distancing, wfh alias work from home, dan pembelajaran jarak jauh.
Lalu, ibadah daring/online juga menjadi salah satu hal yang mesti kita terima, meski praktiknya sendiri sebenarnya bukan baru dilakukan pada saat ini. Sudah banyak gereja atau orang yang menyediakan dan melakukan ibadah secara online sebelumnya. Namun, situasi pandemi covid-19 lah yang membuat banyak orang "dipaksa" untuk melakukan ibadah online di rumah, baik secara pribadi maupun bersama keluarga.Â
Terlepas dari pro kontra setuju atau tidak setuju terhadap cara ibadah ini, gereja digital menjadi salah satu alternatif yang perlu serius dipikirkan oleh gereja dalam menjangkau banyak orang. Arus zaman tidak surut ke belakang, dan gereja juga harus mau dan mampu memanfatkan teknologi sebagai media untuk mendekatkan orang kepada Tuhan. Menjadi relevan, atau ditinggalkan. Itu pilihan yang harus dihadapi oleh gereja dalam arus perkembangan informasi dan teknologi saat ini.
Meski begitu, wabah covid-19 juga bisa menjadi ancaman pada kerukunan dan persatuan pada bentuk yang berbeda. Dengan adanya larangan untuk mengadakan kerumunan massal, himbauan untuk social distancing, dan melakukan berbagai aktivitas dari rumah, ternyata berimbas buruk kepada orang-orang yang belum memahami benar persoalan mengenai ancaman yang ditimbulkan oleh virus ini secara luas kepada stabilitas sistem kesehatan, ekonomi, keamanan, dan kesejahteraan masyarakat.Â
Segala kebijakan yang ada pada saat ini justru menjadikan mereka berprasangka buruk kepada pemerintah, sesama, bahkan Tuhan. Banyak yang belum siap untuk menjaga jarak, menghindari pertemuan sosial, untuk sebisa mungkin tetap berada di rumah, dan untuk beribadah dari rumah.
Seminggu terakhir, banyak sekali pro kontra yang timbul mengenai masalah beribadah di rumah ini. Saling hujat dan menghakimi terjadi di antara sesama umat. Tidak beriman, lebih takut kepada virus atau pemerintah, bahkan sampai pernyataan bahwa ibadah online itu sesat, menjadi hal-hal yang mewarnai hari-hari di antara sesama orang Kristen sendiri.Â
Rasanya menyedihkan sekali ketika banyak orang masih terpancang pada pola dan tradisi, bukan pada hal yang esensi dan mendasar. Lebih menyakitkan lagi jika itu ternyata menjadi alasan bagi terjadinya perpecahan di antara umat Tuhan. Benarkah kita sudah menjadi orang beriman yang dewasa, patut menjadi refleksi kita masing-masing pada hari-hari ini.
Sementara kita tidak tahu kapan situasi ini akan segera berakhir agar dunia kita menjadi normal kembali, hal terbaik yang dapat dilakukan adalah menjalani setiap hari sebaik mungkin. Keluhan tidak akan membawa hasil apa pun, kecuali kesuraman yang lebih gelap.Â
Jika sampai hari ini kita masih sehat, masih dapat bekerja, menikmati makanan yang tersedia di atas meja, beraktivitas dan berkumpul dengan anggota keluarga di rumah, bersyukurlah. Namun, dalam rasa syukur itu, jangan sampai kita menjadi pongah dan menutup mata terhadap kebutuhan orang lain. Gunakan kesehatan kita agar dapat berguna bagi yang lain.