Mohon tunggu...
Okti Nur Risanti
Okti Nur Risanti Mohon Tunggu... Penerjemah - Content writer

Menulis adalah salah satu upaya saya dalam memenuhi misi mandat budaya.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Sinetron? Sudah Lupa Tuh

12 Maret 2020   20:47 Diperbarui: 13 Maret 2020   06:10 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi YouTube (NordWood Themes, Unsplash)

Judul di atas bukan dibuat dengan niat untuk merendahkan. Kritik mungkin, sesuai dengan arus perkembangan zaman.

Entah dengan yang lain, tapi saat ini, saya merasa melihat konten-konten YouTube jauh lebih menghibur dan bahkan lebih edukatif dibanding menyaksikan sinetron-sinetron atau banyak program acara kita di televisi. Dan, ini bukan hanya karena konteks perubahan media, tetapi juga pada mutu dan kualitas sinetron kita.

Dulu, sebelum YouTube dan vlog marak, saya sudah malas menyaksikan sinetron. Mengapa? Yah, malas saja disuguhi dengan cerita yang tidak masuk akal, dramatis berlebihan, lebay, tidak natural, diulur-ulur tak jelas sampai ratusan episode atau banyak jilid, maksa, dan yang terutama tidak inspiratif. Tidak usah dijelaskan panjang lebar lagi lah ya. 

Semua juga sudah tahu bagaimana wajah sinetron kita. Yang paling bikin sebal adalah jalan ceritanya yang tidak jauh dari penindasan berkepanjangan, melow dan penuh tangisan, alur yang serba kebetulan tapi tidak masuk akal, make up yang selalu tampak seperti mau kondangan, ekspresi yang sering kali kaku atau lebay, plus kualitas akting pemainnya yang sering kurang memadai dan tidak natural. Mungkin, yang lumayan menghibur adalah wajah-wajah pemainnya, yang biasanya putih, mancung, blasteran, dan enak dipandang. Eh, tapi, bukannya kalau nonton sinetron harusnya kita menikmati jalan ceritanya, bukan wajah pemainnya?

Bukan berarti semua mutu sinetron kita buruk loh. Mungkin (saya tidak tahu pastinya, karena saya sudah lama tidak nonton sinetron), masih ada beberapa sinetron yang cukup lumayan dan inspiratif. Tapi, sepertinya jumlahnya sedikit, dan mungkin justru tidak populer untuk jadi favorit masyarakat. Jadi, masalahnya di mana sih, penontonnya atau pembuat sinetronnya?

Memang, masih ada alternatif hiburan lain di televisi, apalagi dari siaran televisi berbayar. Tetapi, sering kali konten-konten dari barat banyak berbau seks, kekerasan, dan nilai-nilai yang tidak terlalu nyambung dengan kerohanian, budaya, atau kehidupan kita. Untung, ada drama Korea dari sesama rumpun Asia, sehingga saya bisa tetap mendapat hiburan dari acara televisi, yang masih lebih relate dan nyambung dengan nilai-nilai kita.

Tidak semua drakor itu bagus dan punya jalan cerita yang menarik juga sih. Namun, hampir semua drakor yang saya ikuti, bagus tuh. Baik dari segi jalan cerita, alur yang tidak maksa dan masuk akal, akting pemain dan setting yang natural, gambar yang enak dilihat, soundtrack yang enak didengar, selera humor yang cerdas dan menyenangkan, dan yang paling keren adalah ide cerita dari satu drakor ke drakor lain yang sangat bervariasi. Tidak dimungkiri, tema di seputar cinta, konflik, dan kecantikan/ketampanan pemainnya masih menjadi daya tarik utama dalam drakor. 

Namun, itu semua terasa masuk akal dan bisa diterima dengan mutu yang ditawarkan dari tiap cerita dan episode. Tak jarang, kita juga menjadi terinspirasi dengan budaya, etos kerja, pesan moral, bahkan dengan optimisme hidup yang disampaikan, meski sebenarnya tidak bersifat harafiah atau sengaja ditonjolkan dengan lebay. Ah, asik deh pokoknya kalo nonton drakor. Bikin ketagihan.

Nah, tapi semenjak YouTube menjadi marak dengan konten vlog dan video-video dari para YouTuber yang kreatif, tontonan saya juga mulai berubah. Berbagai jenis vlog dan video YouTube kini menjadi konten yang saya tonton hampir setiap hari. Mulai dari vlog tentang desain rumah dan ruangan, TED, wisata, daily life, bersih-bersih, gaya hidup, DIY, masak-masak, tips, atau bahkan vlog dari orang-orang Indonesia yang menikah dengan orang asing dan menceritakan kehidupan mereka di negeri orang. Meski sering kali vloggernya tidak menampakkan diri atau wajah (seperti kebanyakan vlogger Jepang atau Korea), tidak berwajah cantik/ganteng atau berpenampilan menarik, bersikap spontan, konyol, apa adanya, bahkan beberapa vlogger kurang mahir dalam mengambil gambar atau dalam proses editing, tapi enak saja menyaksikan konten-konten mereka.

Tampaknya, bukan saya saja yang berpendapat demikian, tapi banyak orang. Ini terlihat dari jumlah subscriber, viewer, atau bahkan keadaan langsung yang bisa kita lihat sehari-hari. Semakin jarang orang melihat televisi atau acara televisi saat ini. 

Tak heran, kalau banyak artis atau pesohor kita pun sekarang ramai-ramai terjun membuat vlog. Bukan saja dalam rangka mempertahankan popularitas, tetapi juga untuk mengeruk penghasilan yang lumayan besar dari sana. Kalau sudah begini, lagi-lagi muncul problem yang saya rasakan saat menyaksikan sinetron. Nama, tampang, dan popularitas jadi modal utama, bukan ide, kreativitas, kualitas, dan isi konten.

Syukurlah, sistem di YouTube dan media sosial lainnya berbeda dengan sistem dunia pertelevisian atau hiburan, sehingga bukan hanya artis, pesohor, yang populer, berprestasi, atau bahkan yang berwajah menawan saja yang bisa jadi influencer atau menampilkan gagasan dan kreativitasnya kepada publik. 

Kini, orang biasa pun bisa menampilkan kemampuannya untuk menghibur atau menginspirasi banyak orang dengan konten-konten yang mereka buat. Asal materi yang ditampilkan menarik, menghibur, inspiring, berguna, dan menyenangkan, siapa pun bisa meraih banyak viewers atau subscribers.

Sebagai contoh, seorang vlogger asal Papua yang menikah dengan warga Jerman menyatakan dalam satu videonya bahwa mereka bisa lebih cepat membeli rumah dari yang mereka rencanakan di negara suaminya berkat penghasilan yang diperolehnya dari YouTube. Padahal, tidak ada yang istimewa-istimewa amat dalam videonya. Tapi, jumlah subscribernya bisa mencapai satu juta orang lebih, melebihi jumlah pengikut vlogger lain yang memiliki jenis konten yang hampir sama. Kok bisa? Entahlah. Saya sih menduga, justru dengan keunikan, serta gayanya yang ekspresif, apa adanya, dan tidak dibuat-buat itulah yang membuat orang-orang tertarik mengikuti kontennya. She's so real, not fake.

Nah, kalau sudah begini, persaingan jadi adil karena semua punya kesempatan untuk bisa "tampil" dan menunjukkan kemampuan atau ide-idenya. Siapa pun bisa mencari nafkah, eksis, populer, dan memberi pengaruh lewat konten-kontennya. Dan, di sisi lain, dengan semakin terbukanya persaingan, masyarakat juga (seharusnya) jadi lebih kritis dalam menilai mutu konten.

Lebih lagi, jika membandingkan dengan konten-konten asing, seharusnya kita bisa belajar dan mengambil banyak pelajaran yang berguna dari mereka. Dari sana, harap-harap sih vlogger-vlogger kita bisa semakin mendunia dan membawa pengaruh positif yang mengharumkan nama Indonesia. Sekali-kali, pengen juga dong ada anak bangsa kita yang menjadi influencer buat dunia, dan bukannya kita terus yang dipengaruhi oleh orang-orang dari negara lain.

Lalu, kembali pada topik sinetron. Gimana yah nasibnya kira-kira ke depan? Hmm, mungkin masih aman untuk beberapa saat. Karena, meski punya banyak kekurangan, toh masih banyak penonton yang membutuhkan hiburan murah meriah, yang tidak memerlukan pemikiran kritis atau berat. Plus masih banyak orang yang suka menyaksikan acara televisi. Tapi, kalau mau dunia hiburan dan media kita semakin maju, eksis, diakui, dan mendatangkan keuntungan, harus ada perubahan yang signifikan, yang tidak lagi memakai pola pikir atau lagu lama, apalagi sekadar bermodal tampang. 

Kita butuh banyak pribadi yang kreatif, cerdas, berpikir maju, luas, dalam, dan terbuka. Mereka-mereka ini yang kita harapkan bisa menginisiasi perubahan dan kemajuan dalam industri hiburan dan media tanah air.

Pengen juga sih suatu saat nanti -- kalau dunia pertelevisian masih eksis -- bisa bilang seperti ini, "Sinetron Indonesia sekarang bagus euy. Ga kalah sama drakor."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun