Syukurlah, sistem di YouTube dan media sosial lainnya berbeda dengan sistem dunia pertelevisian atau hiburan, sehingga bukan hanya artis, pesohor, yang populer, berprestasi, atau bahkan yang berwajah menawan saja yang bisa jadi influencer atau menampilkan gagasan dan kreativitasnya kepada publik.Â
Kini, orang biasa pun bisa menampilkan kemampuannya untuk menghibur atau menginspirasi banyak orang dengan konten-konten yang mereka buat. Asal materi yang ditampilkan menarik, menghibur, inspiring, berguna, dan menyenangkan, siapa pun bisa meraih banyak viewers atau subscribers.
Sebagai contoh, seorang vlogger asal Papua yang menikah dengan warga Jerman menyatakan dalam satu videonya bahwa mereka bisa lebih cepat membeli rumah dari yang mereka rencanakan di negara suaminya berkat penghasilan yang diperolehnya dari YouTube. Padahal, tidak ada yang istimewa-istimewa amat dalam videonya. Tapi, jumlah subscribernya bisa mencapai satu juta orang lebih, melebihi jumlah pengikut vlogger lain yang memiliki jenis konten yang hampir sama. Kok bisa? Entahlah. Saya sih menduga, justru dengan keunikan, serta gayanya yang ekspresif, apa adanya, dan tidak dibuat-buat itulah yang membuat orang-orang tertarik mengikuti kontennya. She's so real, not fake.
Nah, kalau sudah begini, persaingan jadi adil karena semua punya kesempatan untuk bisa "tampil" dan menunjukkan kemampuan atau ide-idenya. Siapa pun bisa mencari nafkah, eksis, populer, dan memberi pengaruh lewat konten-kontennya. Dan, di sisi lain, dengan semakin terbukanya persaingan, masyarakat juga (seharusnya) jadi lebih kritis dalam menilai mutu konten.
Lebih lagi, jika membandingkan dengan konten-konten asing, seharusnya kita bisa belajar dan mengambil banyak pelajaran yang berguna dari mereka. Dari sana, harap-harap sih vlogger-vlogger kita bisa semakin mendunia dan membawa pengaruh positif yang mengharumkan nama Indonesia. Sekali-kali, pengen juga dong ada anak bangsa kita yang menjadi influencer buat dunia, dan bukannya kita terus yang dipengaruhi oleh orang-orang dari negara lain.
Lalu, kembali pada topik sinetron. Gimana yah nasibnya kira-kira ke depan? Hmm, mungkin masih aman untuk beberapa saat. Karena, meski punya banyak kekurangan, toh masih banyak penonton yang membutuhkan hiburan murah meriah, yang tidak memerlukan pemikiran kritis atau berat. Plus masih banyak orang yang suka menyaksikan acara televisi. Tapi, kalau mau dunia hiburan dan media kita semakin maju, eksis, diakui, dan mendatangkan keuntungan, harus ada perubahan yang signifikan, yang tidak lagi memakai pola pikir atau lagu lama, apalagi sekadar bermodal tampang.Â
Kita butuh banyak pribadi yang kreatif, cerdas, berpikir maju, luas, dalam, dan terbuka. Mereka-mereka ini yang kita harapkan bisa menginisiasi perubahan dan kemajuan dalam industri hiburan dan media tanah air.
Pengen juga sih suatu saat nanti -- kalau dunia pertelevisian masih eksis -- bisa bilang seperti ini, "Sinetron Indonesia sekarang bagus euy. Ga kalah sama drakor."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H