Mohon tunggu...
Okti Nur Risanti
Okti Nur Risanti Mohon Tunggu... Penerjemah - Content writer

Menulis adalah salah satu upaya saya dalam memenuhi misi mandat budaya.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Ajarkan Anak Sedini Mungkin Mempresentasikan Gagasannya

25 November 2019   21:15 Diperbarui: 27 November 2019   14:26 660
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi mengajarkan anak untuk mempresentasikan sesuatu dari medium gambar

Pertama-tama, selamat hari guru kepada seluruh guru di Indonesia. Saya dan jutaan orang lainnya pastinya merasa kalau para guru adalah orang-orang yang berjasa dalam hidup ini. Tanpa guru, entah bagaimana jadinya kami.

Nah, mumpung momennya sedang pas, saya ingin juga urun pendapat untuk masalah pendidikan. Dan, gagasan saya dalam tulisan ini, di antara banyak ide atau pemikiran yang terkait dengan pendidikan di Indonesia adalah, mari mengajarkan anak-anak untuk melakukan presentasi sedini mungkin.

Presentasi?
Ya. Itu berdasarkan pengalaman saya pribadi (dan kemungkinan besar banyak orang), yang sedari TK, SD, bahkan hingga kuliah jarang melakukan presentasi di sekolah, sehingga akhirnya mengalami kesulitan ketika harus melakukannya saat sudah berada dalam dunia kerja.

Mungkin ada yang berpendapat, "Ah, itu kan hanya masalah percaya diri saja. Tidak perlu lah masuk dalam kurikulum atau sistem pendidikan." Atau, "Itu 'kan bukan hal yang paling penting yang harus dipikirkan untuk sistem pendidikan kita." 

Untuk pendapat pertama, mungkin itu benar, jika saja yang mengalami kesulitan untuk melakukan presentasi ini hanya segelintir orang dari jutaan lulusan sarjana kita. Sementara, untuk pendapat kedua, saya rasa itu cukup keliru dan kudet.

Zaman gini, presentasi itu bisa dibilang menjadi life skill atau ketrampilan hidup yang mesti dimiliki seseorang untuk bisa berkontribusi dengan baik dalam dunia kerja.

Bagaimana kita tahu masih ada banyak lulusan SMA atau bahkan lulusan S1 yang masih kurang mahir dalam melakukan presentasi atau berbicara di depan umum? Bagi saya sendiri, ini bisa dilihat dari anak-anak magang atau para fresh graduate dari beberapa kampus yang bekerja di kantor kami ketika mereka melakukan tugas presentasi. 

Bukan berarti mereka tidak bisa melakukan presentasi loh. Kalau hanya sekadar membuat materi PPt, berbicara di depan umum, atau memaparkan apa yang menjadi topik yang ditugaskan, mereka cukup bisa melakukannya,

Tetapi, untuk bisa menampilkan presentasi yang menarik, menginspirasi, "berisi", serta menampilkan pemikiran dan ide-ide yang cemerlang, bisa dibilang masih sangat sedikit yang mampu melakukannya.

Apa sih pentingnya kemampuan presentasi sehingga saya berpendapat itu harusnya dilatih semenjak dini sehingga bisa dilakukan dengan baik oleh para lulusan S1, atau paling sedikit lulusan SMA?

Perlu diketahui, presentasi atau kemampuan untuk memaparkan ide, pemikiran, serta gagasan itu sudah dan sedang menjadi kebutuhan pada budaya kerja dunia saat ini. Tidak ada kesepakatan, gagasan, ide, pemikiran, produk, atau project yang dihasilkan tanpa melakukan presentasi kepada tim atau pemangku kepentingan.

Di tengah tingkat kompetisi serta standar yang semakin tinggi dalam dunia usaha dan kerja, keterampilan ini menjadi salah satu faktor penentu sukses tidaknya seseorang dalam berkarir dan berusaha.

Selain itu, kemampuan untuk dapat menyajikan presentasi secara baik, secara tidak langsung juga membentuk (atau dibentuk dari) pribadi-pribadi yang kreatif, kritis, terbuka, dan pembelajar. Sifat-sifat itu menjadi ciri dari sumber daya manusia yang maju dan unggul. 

Kita pasti sudah paham, semakin baik kompetensi dan mutu SDM kita, semakin besar pula peluang kita menjadi negara maju. Jadi, jangan remehkan masalah kemampuan untuk melakukan presentasi ini, apalagi buru-buru menyimpulkan kalau itu hanya masalah confident atau kepercayaan diri untuk bisa berbicara di depan umum.

Memang, kepercayaan diri bisa menjadi faktor pendukung. Tetapi, bukan itu utamanya. Ada banyak hal di balik penyajian presentasi yang sukses, yang melibatkan kemampuan riset, membaca, menganalisa, mengolah data, kecerdasan literasi, kemampuan menggunakan teknologi serta berbagai aplikasi penunjang presentasi, kecerdasan berbahasa, struktur dan sistem berpikir, kecerdasan emosi, kecerdasan sosial, selain juga pengalaman dan jam terbang.

Itu semua adalah hal-hal yang sifatnya tidak bisa dipelajari hanya dalam kurun waktu semalam, sepekan, atau mungkin setahun, apalagi untuk dikatakan sebagai bakat. Semua kemampuan itu merupakan proses yang harusnya dibentuk, dilatih, dan menjadi kebiasaan saat sekolah dan belajar.

Ilustrasi (Unsplash, Alex Litvin)
Ilustrasi (Unsplash, Alex Litvin)
Sayangnya, semenjak awal sistem pendidikan kita kurang memberikan ruang bagi peserta didik untuk menjadi kreatif, ekspresif, gemar membaca, rajin melakukan riset, cerdas literasi, bahkan untuk menjadi percaya diri saat berbicara di depan banyak orang.

Jarang sekali tersedia kesempatan bagi siswa untuk memaparkan pemikirannya, mengungkapkan ide dan pendapat dalam diskusi, berdebat dengan peserta didik lain, bahkan dengan guru. Padahal, itu menjadi sarana dan kesempatan yang sangat baik bagi siswa melatih diri untuk terampil mengungkapkan pemikiran dan gagasan.

Itu sebabnya, saya, dan kemungkinan besar banyak yang lain, menjadi gagap ketika harus melakukan hal ini dalam dunia kerja.Memang, belajar tidak hanya dilakukan sepanjang kita menjadi murid atau peserta didik di sekolah atau universitas. 

Namun, saya pikir, terlambat juga rasanya jika hal itu baru dipelajari saat kita sudah bekerja, sementara perusahaan atau tempat bekerja justru sedang menuntut hasil, kontribusi, atau aplikasi dari hasil belajar kita selama belasan tahun bagi kepentingan mereka.

Jika Anda ingat, sejak TK kebanyakan kita hanya diajar untuk mendengarkan dan meniru guru. Begitu seterusnya sampai SMA. Pada saat kuliah, memang mulai banyak tugas untuk presentasi, tetapi itu pun tidak diterapkan oleh semua dosen.

Kita pun jadi pasif, hanya belajar dari materi atau buku-buku yang dipakai atau disarankan guru dan dosen, kurang ekspresif, tidak terbiasa untuk mendengar pendapat, pemikiran, sudut pandang, atau ide yang berbeda, tidak terbiasa berbicara di depan umum, dan yang paling penting, kurang cerdas literasi karena memang tidak diarahkan untuk menjadi demikian dengan pola belajar yang terjadi.

Seandainya saja, semenjak Taman Kanak-Kanak anak-anak dilatih untuk bercerita di depan teman-temannya, untuk membaca kemudian memaparkan isi buku atau cerita kepada teman-temannya, untuk berdiskusi tentang satu materi atau topik, untuk melakukan presentasi proyek atau hasil karya yang ditugaskan guru.

Atau, seandainya siswa juga diberi kesempatan melakukan riset sederhana dan kemudian memaparkan hasilnya di depan kelas, untuk memilih satu topik yang menarik dan menjadi passionnya dan kemudian mempresentasikannya di depan guru dan teman-teman, anak-anak ini pasti akan memiliki keterampilan untuk melakukan presentasi dengan baik saat mereka lulus sekolah dan kuliah.

Mereka akan tahu bagaimana cara melakukan riset, untuk mencari data dan literatur yang tepat dalam memperkuat presentasi, mengolah data, mengkurasi data, dan menampilkannya dalam cara yang menarik serta percaya diri di depan audiens.

Beberapa sekolah mungkin sudah melakukan sistem pembelajaran semacam itu kepada peserta didiknya semenjak tingkat play group atau kelompok bermain. Namun, yang saya tahu, metode pembelajaran seperti itu umumnya hanya dilakukan oleh sekolah-sekolah swasta yang mahal, yang biaya SPPnya selangit, yang bagi kebanyakan orang bisa digunakan sebagai biaya cicilan rumah atau bahkan biaya hidup selama sebulan.

Tidak banyak sekolah negeri atau swasta minim dana yang melakukannya, terlebih sekolah di pedesaan atau di daerah terpencil. Kalau pun ada sekolah negeri yang melakukannya, itu hanya dilakukan oleh sekolah negeri pada tingkat SMA, di kota, atau yang termasuk ke dalam golongan sekolah negeri bermutu baik.

Belum semua anak di seluruh pelosok Indonesia merasakan sistem pembelajaran yang sedemikian, yang memungkinkan mereka untuk mengembangkan keterampilan melakukan presentasi ini.

Tapi, tak adil rasanya jika saya hanya mengeluh atau menyalahkan saja tanpa memberi solusi. Sesungguhnya, keterampilan anak untuk dapat menyiapkan dan menyajikan presentasi ini juga dibentuk di tengah keluarga. Kebiasaan dan budaya ini memang tidak bisa dipasrahkan untuk dibentuk oleh guru dan sistem pendidikan semata. 

Orangtua dan keluarga semestinya menjadi contoh dan teladan yang pertama bagi anak, untuk mampu menyajikan ide, gagasan, konsep, dan pemikiran dengan baik. 

Banyak membaca, mendongeng, bercerita, membacakan buku, kebiasaan berbicara dengan menggunakan bahasa secara baik dan benar, kebiasaan menjelaskan sesuatu dengan runut dan jelas, mengajak anak bercakap-cakap, bercerita, dan berdiskusi perlu menjadi budaya dan kebiasaan orangtua dan seluruh anggota keluarga di rumah.

Setelah itu, sesuai dengan usia dan kemampuannya, beri kesempatan kepada anak untuk banyak membaca, bercerita, untuk memaparkan atau menjelaskan pendapatnya tentang sebuah topik, situasi, peristiwa, orang, atau buku yang dibaca, berdiskusi, membuat berbagai rencana pribadi maupun untuk keluarga, menyusun peraturan dan kesepakatan bersama, serta kegiatan-kegiatan yang akan memicu kemampuannya untuk menjadi kritis, mencari tahu, memiliki konsep, untuk berbicara dan mengemukakan pendapat.

Jika kita belum atau malah tidak terbiasa untuk melakukan semua hal itu, maka mulailah kebiasaan tersebut sekarang. Mulai dari yang paling sederhana, yang paling dapat kita lakukan untuk membuat anak mulai memiliki budaya mengungkapkan pikiran.

Jika dari rumah anak sudah memiliki budaya dan kebiasaan tersebut, tidak akan sulit baginya untuk meneruskan dan mengembangkan kemampuan ini di sekolah atau di tempat lain.

Sementara itu, mari kita berharap agar sistem pendidikan kita akan semakin baik ke depan. Tentu harapan saya bukan semata agar melaluinya kita dapat menghasilkan lulusan yang mampu menyajikan presentasi dengan baik. Itu terlalu naif, dan dangkal, tentu saja.

Lebih dari itu, saya dan kita semua pasti berharap agar anak-anak bangsa kita akan menjadi pribadi-pribadi yang unggul dan siap memberi kontribusi yang berguna bagi kemajuan bangsa dan negara kita ke depan melalui pendidikan dan metode belajar yang mereka terima. Semoga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun