Mohon tunggu...
Okti Nur Risanti
Okti Nur Risanti Mohon Tunggu... Penerjemah - Content writer

Menulis adalah salah satu upaya saya dalam memenuhi misi mandat budaya.

Selanjutnya

Tutup

Foodie Pilihan

Mukbang: Apa Faedahnya?

30 September 2019   21:00 Diperbarui: 30 September 2019   21:29 620
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di kantor kami selalu digelar TED mini pada Senin pagi. Nah, hari ini, presentasi singkat yang dibawakan oleh seorang mahasiswa magang di kantor mengambil tema yang cukup menarik, yaitu Mukbang. Karena topiknya penting dan relevan, saya pikir perlu juga untuk membahas materi TED tadi melalui tulisan ini.  

Apa itu Mukbang?

Mukbang atau Meokbang berasal dari kata dasar meokneun (makan) dan bangsong (menyiarkan), atau acara makan yang disiarkan, baik melalui televisi maupun saluran YouTube. Acara ini sendiri berasal dari Korea Selatan, dan menjadi tren pada tahun 2010 setelah diperkenalkan pertama kali pada 2019. Digital milennial tentu menjadi faktor penentu dari populernya mukbang ini, meski tidak bisa dimungkiri ada banyak orang dari berbagai golongan usia yang juga menyukai acara ini. Meski ada banyak ulasan menarik mengapa Mukbang menjadi tren, terutama di antara kaum milenial, tetapi saya tidak akan membahas hal itu.

Seperti materi TED yang disampaikan oleh adik mahasiswa magang tadi, saya justru akan menyorot Mukbang ini sebagai hal yang negatif dan sama sekali tidak mendidik. Meski kebanyakan tujuannya adalah hiburan atau sekadar fun-fun, tetapi saya pikir acara atau tayangan seperti ini seharusnya tidak perlu ditonton apalagi ditiru.  

Mengapa?

Pertama, karena Mukbang mengumbar kerakusan (gluttony). Mengapa rakus? Karena tayangan ini selalu menampilkan acara makan enak dengan porsi yang (sangat) besar, di atas kebutuhan porsi makan normal seseorang. Tidak perlu lagi saya jelaskan bahwa kerakusan adalah hal yang buruk, bahkan perilaku dosa, sebab sifat itu mengumbar hawa nafsu semata.

Kedua, sifat rakus merupakan bentuk kecanduan. Meski berbeda bentuk dan obsesi dari kecanduan narkoba, pornografi, game, atau rokok, tetapi kerakusan juga bersifat adiktif dan menimbulkan dampak negatif. Seorang teman tadi berseloroh bahwa mukbang adalah singkatan dari Gemuk Banget. Tapi ya, mukbang memang mendorong obesitas, dan itu bukan sesuatu yang baik bagi kesehatan, bahkan dapat menyebabkan penyakit-penyakit terminal.

Ketiga, mukbang adalah cerminan perilaku manusia yang tidak memiliki etika atau empati. Kok? Sebab, sementara ada banyak orang di luar sana yang kesulitan untuk mendapat makan karena situasi hidup yang mereka miliki, program acara atau video mukbang justru mengumbar perilaku makan seorang dalam menghabiskan porsi makanan dalam jumlah besar dan/atau banyak. Adakah unsur pendidikan dalam acara seperti ini? Adakah bela rasa dalam tayangan yang mengumbar nafsu seseorang dalam menghabiskan makanan dengan porsi gila-gilaan ini?

Keempat, mukbang mendorong orang untuk memiliki perilaku konsumtif dengan menghabiskan uang pada makanan dan keinginan perut, dibanding pada hal-hal yang penting dan prinsipil.

Kelima, berbeda dengan program atau vlog "wisata kuliner" yang "lebih" memiliki tujuan atau misi yang jelas -- dan terkadang bisa memiliki sisi edukatif -- tidak ada tujuan atau misi positif dari mukbang, selain hedonisme. Jelas 'kan, tindakan yang dasarnya hanya untuk bersenang-senang, tanpa memiliki manfaat yang membangun diri atau orang lain sifatnya hedonisme semata. Tidak ada kebaikan yang akan muncul dari sifat demikian.

Terakhir, jika makan rame-rame dan secukupnya lebih seru dan sehat, mengapa juga kita harus memiliki gaya hidup yang suka makan banyak secara sendirian dan kesepian?  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun