Sementara itu, meski menjadi kabupaten tetangganya, Wonogiri merupakan daerah yang kurang beruntung dalam hal SDA serta akses terhadap pusat ekonomi. Karena kurang subur, Wonogiri bersama beberapa kabupaten yang memiliki kondisi sama, seperti Gunung Kidul, Pacitan, Grobogan, Kebumen, serta beberapa daerah di pesisir, menjadi daerah kantung perantauan.Â
Tak heran jika merantau kemudian menjadi kultur masyarakat dari daerah-daerah tersebut, karena itu yang harus dilakukan untuk bertahan hidup.Â
Dari situ, jadi jelas 'kan alasan mengapa (orang) Wonogiri lebih tenar dibanding (orang) Karanganyar. "Species invasif", begitu saya sering menyebut para perantau dari Wonogiri yang terdapat di mana-mana itu sebagai gurauan. Mereka ada di desa hingga ke kota, dari Sabang sampai Merauke.
Bisa dikatakan, beruntunglah orang Karanganyar yang bisa aman dan nyaman bertahan di "rumah". Slogan "Mangan ora mangan sing penting ngumpul" tidak berlaku buat mereka, melainkan "Ayo ngumpul trus mangan-mangan". Namun, ruginya, ya mereka jadi tidak atau kurang tenar di Indonesia, dan orang pasti akan bertanya, "Di mana itu?" ketika seseorang mengaku berasal dari Karanganyar.
Sementara itu, terhadap orang Wonogiri, slogan "Mangan ora mangan ngumpul" pun juga sulit untuk mereka terapkan. Sebab, kalau ngumpul, mereka jadinya tidak bisa makan. Mereka harus merantau, karena daerah asal mereka tidak menyediakan banyak pilihan bagi mereka. Merantau jadi keharusan, bukan lagi pilihan.Â
Eh, ngomong-ngomong, kita perlu berterima kasih kepada orang-orang Wonogiri di perantauan. Berkat mereka, mie ayam dan bakso Wonogiri jadi tersedia di seantero Indonesia, dan jadi makanan yang "invasif".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H