Suatu hari, atasan saya pernah berkata dalam satu acara rutin di kantor, "Orang Karanganyar tampaknya tidak suka merantau." Â Hal itu beliau ucapkan setelah mendengar bahwa rata-rata alumnus suatu organisasi siswa di Karanganyar masih bekerja atau bermukim di sekitaran Karanganyar, sehingga jika diadakan pertemuan alumni, pesertanya masih lengkap dalam daftar absen.Â
Memang sih, kalo dipikir-pikir, saya juga dulu jarang bertemu orang Karanganyar, atau bahkan mendengar nama daerah ini saat masih tinggal di Jakarta. Hal yang sama juga terjadi dengan Sukoharjo. Karena itu, dulu ketika saya masih bermukim di Sukoharjo dan ditanyai di mana saya tinggal, saya cenderung untuk menjawab "di Solo," Â atau bahkan cukup dengan "di desa," saja.Â
Bukan karena malu, tapi karena susah juga menerangkan tentang di mana letak Sukoharjo kepada kebanyakan orang yang rata-rata belum kenal atau familiar dengan daerah ini. Meski mungkin kebanyakan orang tidak tahu juga di mana letak Sragen atau Gunung Kidul misalnya, tapi begitu mendengar keduanya, orang sudah paham dan manggut-manggut, tidak lagi bertanya, "Di mana itu?"
Nah, kembali ke soal orang Karanganyar yang betah bertahan di kampung halamannya. Sebagai pembenaran fakta atas isu ini di tingkat mikro, memang begitu adanya.Â
Nyatanya, ada 5 orang ber-KTP Karanganyar yang saat ini bekerja di kantor. Dan, mereka sangat kompak sekali menjaga silaturahmi antarpenghuni Kabupaten Karanganyar. Sampai-sampai, satu meja di halaman belakang kantor selalu mereka booking untuk tempat duduk bersama saat acara makan siang, agar bisa selalu menjalin keakraban. Amazing.
Beda cerita dengan orang Wonogiri, kabupaten tetangga Karanganyar. Dari kecil, saya sudah familiar dengan nama daerah ini bersama nama-nama daerah seperti Sragen, Boyolali, Tegal, atau Purwodadi. Sering berkunjung ke Wonogiri dan memiliki sanak famili dari keluarga suami di sana, membuat saya tahu bahwa rata-rata orang Wonogiri suka merantau.Â
"Tak heran jika merantau kemudian menjadi kultur masyarakat dari daerah-daerah tersebut, karena itu yang harus dilakukan untuk bertahan hidup."
Saudara-saudara suami sendiri hampir semua merantau dan bekerja sampai di luar provinsi, bahkan ke luar Jawa. Dan, jika mendengar cerita suami yang sering bertugas ke luar Jawa, pasti ada saja penjual bakso, mie ayam, atau jamu yang berasal dari Wonogiri yang ditemuinya ketika berada di sana. Rumah bagus di desa yang tiada berpenghuni, dan mudik berjamaah saat musim puasa dan Lebaran tiba adalah fenomena yang umum terjadi.Â
Mengapa sih perilaku merantau antara dua daerah ini begitu berbeda? Mengapa orang Karanganyar rata-rata betah berada di "rumah", sementara orang Wonogiri lebih suka merantau?Â
Ada beberapa alasan. Yang pertama karena faktor SDA, dan yang kedua karena masalah kultur. Kabupaten Karanganyar adalah kabupaten yang memiliki sumber daya alam yang kaya dan melimpah. Menjadi daerah subur dan tidak memiliki masalah kekurangan air sepanjang tahun, membuat kabupaten ini mampu menghidupi penduduknya dengan sumber daya yang tersedia.Â
Banyak daerah wisata, pabrik, maupun sektor ekonomi yang dapat menjadi lahan mata pencarian bagi para penduduknya. Selain itu, akses yang relatif dekat saja ke kota Solo yang merupakan pusat perekonomian juga membuat  penduduk Karanganyar relatif mudah bekerja dan mencari nafkah di kota tetangganya ini.
Sementara itu, meski menjadi kabupaten tetangganya, Wonogiri merupakan daerah yang kurang beruntung dalam hal SDA serta akses terhadap pusat ekonomi. Karena kurang subur, Wonogiri bersama beberapa kabupaten yang memiliki kondisi sama, seperti Gunung Kidul, Pacitan, Grobogan, Kebumen, serta beberapa daerah di pesisir, menjadi daerah kantung perantauan.Â
Tak heran jika merantau kemudian menjadi kultur masyarakat dari daerah-daerah tersebut, karena itu yang harus dilakukan untuk bertahan hidup.Â
Dari situ, jadi jelas 'kan alasan mengapa (orang) Wonogiri lebih tenar dibanding (orang) Karanganyar. "Species invasif", begitu saya sering menyebut para perantau dari Wonogiri yang terdapat di mana-mana itu sebagai gurauan. Mereka ada di desa hingga ke kota, dari Sabang sampai Merauke.
Bisa dikatakan, beruntunglah orang Karanganyar yang bisa aman dan nyaman bertahan di "rumah". Slogan "Mangan ora mangan sing penting ngumpul" tidak berlaku buat mereka, melainkan "Ayo ngumpul trus mangan-mangan". Namun, ruginya, ya mereka jadi tidak atau kurang tenar di Indonesia, dan orang pasti akan bertanya, "Di mana itu?" ketika seseorang mengaku berasal dari Karanganyar.
Sementara itu, terhadap orang Wonogiri, slogan "Mangan ora mangan ngumpul" pun juga sulit untuk mereka terapkan. Sebab, kalau ngumpul, mereka jadinya tidak bisa makan. Mereka harus merantau, karena daerah asal mereka tidak menyediakan banyak pilihan bagi mereka. Merantau jadi keharusan, bukan lagi pilihan.Â
Eh, ngomong-ngomong, kita perlu berterima kasih kepada orang-orang Wonogiri di perantauan. Berkat mereka, mie ayam dan bakso Wonogiri jadi tersedia di seantero Indonesia, dan jadi makanan yang "invasif".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H