Mohon tunggu...
Oktav Unik Ardiana
Oktav Unik Ardiana Mohon Tunggu... Guru - Hamba Allah yang tengah menjadi seorang pembelajar. (Mahasiswi dan Guru IPA yang berdomisili di Banyumas dan Cilacap)

Anak perempuan pertama dari 4 bersaudara yang tengah belajar mengabdi pada dunia pendidikan. Masih terus belajar, belajar, dan belajar

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Sekelumit Chatting Siswa dan Centong Nasi

12 Mei 2020   20:52 Diperbarui: 12 Mei 2020   20:48 310
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Chatting Siswa (Jujur Sekali Kamu Nak )

Semenjak menjalankan Work From Home, lebih dari 12 jam setiap harinya berinteraksi dengan benda yang sering disebut gadget. Mulai dari berlangsungnya pembelajaran online sampai pengumpulan tugas secara mandiri peserta didik memanfaatkan benda yang bentuknya persegi panjang ini.

Pengumpulan tugas yang tak langsung dikoreksi justru menambah beban tersendiri bagi guru mapel, termasuk diriku ini. Untuk mengatasi hal tersebut aku lebih suka langsung mengoreksi jawaban peserta didik begitu mereka mengumpulkan tugas mereka. Tentunya di saat aku memang sedang standby dengan gadget. Meskipun proses pembelajaran belum dapat dikatakan 100% maksimal, aku berusaha memberikan pelayanan terbaik bagi anak-anak. Jujur saja aku terkadang merasa kesal pada mereka yang tidak mengumpulkan tugas dan beralasan macam-macam. Padahal yang butuh ilmu kan mereka? Yang butuh nilai mereka juga kan? Astaghfirullah.. Maafkan hamba ya Allah.. Bukannya tidak ikhlas, tapi lebih tepatnya gemesss saja dengan tingkah mereka yang PHP.

Tiap nagih tugas berasa seperti penagih hutang.

Salah satu peserta didikku tengilnya cukup keterlaluan. Dia pintar dan tangkas. Namun ia  juga terkadang usil pada teman-temannya. Hari itu aku memberikan tugas di kelasnya. Sebut saja namanya Apip. Tumben ia rajin pada hari itu. Begitu aku beri tugas yang hanya satu nomor, dia langsung mengerjakan dan mengirim jawaban melalui chat pribadi.

"Nih buu.. pekerjaan saya.." katanya tanpa mengucap salam terlebih dahulu.

"Oke nak, terimakasih" jawabku.

Tugasnya langsung kukoreksi. Secara umum jawabannya benar, namun beberapa bagian perlu perbaikan.

"Paham pip?" tanyaku padanya.

"Paham sangat buu" dengan emot yang mantap.

Syukurlah batinku.

Selang beberapa lama seorang anak teman Apip mengirim jawaban dari soal yang saya berikan. Begitu  kulihat jawabannya, rasa curiga mulai muncul. Kok jawabannya mirip sama punya Apip? Akumencoba memancing si anak ini untuk menjelaskan jawabannya. Tapi pendapatnya semakin membuat aku yakin kalau si anak ini memang tidak mengerjakan sendiri. Masih curiga pada Apip, aku langsung mengirim pesan pada Apip.

"Pip? Saya boleh suudzon sama Apip?" tanyaku langsung tanpa basabasi disertai emot yang menggambarkan perasaan saya saat itu.

"Boleh bu.. Apa si yang ga buat buguru" dengan emot ketawa lebar.

Ealah ini bocah masih sempet bercanda, belum sadar kali ya..

"Kamu ngajarin X sama Y?" tanyaku langsung tanpa basa-basi

"Atau kirim jawaban ke mereka?" skak mat kamu, batinku.

Kukira dia tidak akan mengaku, namun ternyata...

"Dua-duanya Bu. Lha aku bingung dua-duanya tanya sama aku semua"

Jujur banget si ini anak. Sebenarnya aku cukup dongkol sih dengan jawaban dia. Tapi setidaknya dia mengatakan hal yang sebenarnya. Lalu? Haruskah aku marah padanya?

"Mbok ya, lain kali kalau mau kirim jawaban tuh, mandan kreatif"

"Agak diedit dulu. Biar gak sama persis."

"Udah salah, sama persis lagi"

Jawabku puas menyindir dengan emot sesuai keinginanku. Dasar Apip.

sumber: dokpri
sumber: dokpri

Alkisah Centong Nasi

Beralih dari ketengilan si Apip, sedikit bercerita nostalgia Ramadhan saat aku masih duduk di bangku SMP.  Mungkin memakai kata aku akan sedikit lebih santai kali ini. Tepatnya saat itu aku kelas 1 SMP. Aku memang sudah terbiasa di bulan Ramadhan karena ibu telah membiasakanku sejak kecil. Jadi, kalau aku ketahuan mengeluh gak kuat puasa maka siap-siap akan mendengar ceramah sepanjang kutub utara ke kutub selatan. Hehe..(saking panjangnya)

Hari itu aku berpuasa seperti biasa. Sepulang sekolah jam 2 siang dilanjut main bersama adik sambil menunggu waktu 'asar. Selepas shalat 'asar, kedua mata ini tak mampu untuk dicagak dengan segala macam cara. Pokoknya ngantuk sekali. Samar-samar terdengar suara ibu memanggil. Entah sudah berapa lama aku tertidur namun rasanya baru sebentar.

"Sudah adzan Nak, ayo bangun. Buka puasa dulu"

"Iya bu.." jawabku masih dalam keadaan setengah sadar.

Aku duduk dan mengambil menu yang telah disiapkan di meja makan. Entah ada apa saja saat itu makanan yang disajikan, naluriku mengatakan aku harus makan. Tangan kanan mengambil nasi yang ada di piring menggunakan sendok yang kupegang. Terasa aneh saat sendok itu menyentuh bibirku. Ibu menepuk sambil berkata.

"Kamu mau makan pakai centong nasi?"

Seketika aku terbangun dan baru menyadari jika yang kupegang sedari tadi adalah centong nasi. Bukan sendok makan.

Ayah dan ibuku hanya tertawa.

"Makannya kalau habis shalat asar tuh jangan tidur. Nggak baik" tambah ibu sambil tersenyum

"Sudah sana cuci muka dulu" suruh ayah padaku.

Aku yang mulai tersadar sesadar-sadarnya segera mencuci muka sebelum akhirnya melanjutkan ritual berbuka puasa bersama kami.

Semoga menghibur.. :)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun