"Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa,.."
(Petikan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia)
Seperti yang tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945), salah satu tujuan negara ini dibentuk adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.Â
Berarti negara dalam hal ini pemerintah mempunyai tanggung jawab dalam memberikan sistem hingga akses pelayanan pendidikan yang baik terhadap warga masyarakatnya.
Hampir tidak ada yang tidak berubah dalam dunia ini, begitu juga dalam dunia pendidikan. Perubahan-perubahan yang konstruktif dalam dunia pendidikan harus diakui sangat sering terjadi dan berjalan cepat.Â
Hal ini sepertinya sebuah hal yang sangat wajar dan dimaklumi, karena setiap zaman memiliki tantangannya masing-masing dan pendidikan menjadi alat untuk menjawab tantangan atau malah menjadi alat mengubah sebuah budaya menuju peradaban yang lebih baik dari sebelumnya.Â
Kestrategisan inilah mengapa pendidikan selalu paling menarik untuk dikaji dan diperbincangkan. Manusia pada hari ini merupakan hasil dari proses pendidikan pada masa sebelumnya.
Pendidikan yang baik adalah pendidikan yang memanusiakan manusia, sehingga hari ini banyak para ahli terutama pendidikan melakukan riset dan penelitian dalam rangka memberlakukan manusia secara etis. Inilah sebabnya wajar sekali perubahan-perubahan paradigma pendidikan sering terjadi.Â
Pada awalnya, secara umum bentuk pelayanan pendidikan cenderung eksklusif, di mana penyelenggaraan pendidikan disesuaikan dengan kesamaan hal/jenis. Justru dengan model pendidikan semacam itu malah membentuk diskriminasi dalam masyarakat. Sehingga pada hari ini, model pelayanan pendidikan yang diharapkan adalah pendidikan inklusif.
Menyikapi mengenai inklusif dan eksklusif terlihat dari cara pandang seseorang memandang perbedaan yang ada. Melihat perbedaan harus ditempatkan di wadah yang berbeda dan bahkan menjadi sebuah kebahayaan apabila disatukan, menjadi contoh dari sikap eksklusif, mereka secara ketat membeda-bedakan perbedaan.Â
Sedangkan memandang perbedaan menjadi salah satu hal yang khas, berusaha melihat dan memahami perbedaan itu dari sudut pandang orang lain atau kelompok lain, merupakan contoh dari sikap inklusif.
DI ANTARA HARAPAN
Dalam upaya mencapai pendidikan yang memanusiakan manusia, maka pemerintah Indonesia memberi kesempatan kepada mereka yang memiliki kebutuhan khusus serta kecerdasan dan bakat istimewa dapat memperoleh kesempatan sama seperti teman-teman yang mengenyam pendidikan di sekolah umum. Sehingga harapannya, tidak ada lagi golongan yang termarjinalkan.Â
Upaya ini dapat kita lihat dengan diterbitkannya Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No. 70 Tahun 2009 Tentang Pendidikan Inklusif Bagi Peserta Didik Yang Memiliki Kelainan Dan Memiliki Potensi Kecerdasan Dan/Atau Bakat Istimewa.
Selaras dengan terbitnya Permendikbud tersebut, pemerintah telah mengadakan pelatihan Guru Pendamping Khusus (GPK) untuk mendukung program Pendidikan Inklusif.Â
Sebetulnya GPK ini sudah digagas dari tahun 1979, saat itu ditujukan untuk menyukseskan program Sekolah Terpadu Tuna Netra. Sekolah Terpadu Tuna Netra ini merupakan wujud dari hasil kunjungan Helen Keller International Incorporated pada tahun 1977 ke Indonesia.Â
Terlebih pada saat Kurikulum 2013 di mana konsep sekolah inklusif mulai ramai diberbincangkan, pemerintah kembali menggiatkan program GPK. Tujuan pembentukan GPK pada tahun 1980an dengan 2009 memang ada perbedaan.Â
Pada tahun 2009 harapannya yaitu untuk mempersiapkan dan menunjang implementasi model pendidikan inklusif.
Selain diprogramkannya GPK untuk pengimplementasian Pendidikan Inklusif, dalam Peraturan Menteri Pendidikan No. 70 Tahun 2009 sebetulnya juga mengatur bagaimana syarat dan sistematika pelaksanaan Pendidikan Inklusif di Indonesia, sekaligus menjadi payung hukum untuk sekolah inklusif.Â
Hingga saat ini, pada Kurikulum Merdeka yang digadang menjadi produk terbaik dari Kemdikbudristek pun dalam pengimplementasian Pendidikan Inklusif, masih bersandar dari Peraturan Menteri d iatas.Â
Hal ini terlihat dari diterbitkannya buku Panduan Pelaksanaan Pendidikan Inklusif oleh Kemdikbudristek tahun 2022, isinya dapat dikatakan sebagai penjelasan teknis dari Peraturan Menteri Pendidikan No. 20 Tahun 2009.
Pada prinsipnya, upaya pemerintah dari mulai dikeluarkannya Peraturan Menteri mengenai Pendidikan Inklusif hingga dibuatnya buku Pedoman Pelaksanan Pendidikan Inklusif, yaitu untuk menciptakan pendidikan inklusif yang diharapkan. Sehingga harapannya semua orang mendapatkan pendidikan yang layak dan berujung kepada semakin baiknya sistem maupun pelayanan pendidikan di Indonesia.Â
Namun sayangnya apabila kita lihat lebih nyata, terkadang antara pemegang kebijakan dengan pelaksana pada unit terkecil sering terjadi masalah, sehingga harapan yang ingin kita capai kurang tercapai dengan baik.
Seperti pada beberapa sekolah yang diharapkan melaksanakan atau ditunjuk untuk menggunakan pendidikan inklusif, tidak jarang tenaga pendidik atau guru masih gamang mengenai apa dan bagaimana itu pendidikan inklusif.Â
Rata-rata mereka bingung bagaimana menyikapi dan menanggani apabila ada peserta didiknya yang berkebutuhan khusus. Pengelola sekolahnya pun memiliki keluhan yang sama.
Kegamangan akan teknis bagaimana pendidikan inklusif ini diimplementasikan ke dalam sekolahnya, menjadi salah satu indikasi bahwa ada yang miss dalam proses penanaman pemahaman pendidikan inklusif di sekolah-sekolah.Â
Apabila diamati, program mengenai bagaimana pengimplementasian dari pendidikan inklusif ini masih terbilang kurang massif, sehingga sangat wajar banyak guru yang tidak memahaminya.Â
Lalu bagaimana harapan besar dari dicanangkannya model pendidikan inklusif ini dapat terwujud? Kalau saja pihak yang berada digarda paling depan kurang paham akan konsep ini.Â
Sebuah hal baru memang sering mendapatkan hambatan dan tantangan, oleh karena itu upaya-upaya penanaman pemahaman baik bersifat filosofis hingga teknis harus bersifat lebih massif. Pada hal ini peran aktif pemerintah masih cukup dibutuhkan.
Selain itu sepertinya kita masih membutuhkan role model dari sekolah yang dianggap sudah baik dalam mengelola sekolahnya menjadi sekolah inklusif.Â
Adanya role model sebetulnya menjadi salah satu upaya yang cukup efektif dalam upaya menyebarkan hal-hal baru, seperti pendidikan inklusif ini. Sehingga sekolah-sekolah yang belum mencapai sebagai sekolah inklusif yang ideal, dapat memiliki beberapa referensi apa dan bagaimana konsep pendidikan inklusif itu berjalan. Jangan sampai sekolah inklusif hanya menjadi label saja, tapi didalam pelaksanaanya jauh dari apa yang diharapkan.
Ibarat seperti memindahkan tanaman ke tempat lainnya, penerapan sistem pendidikan yang ada di tempat lain belum tentu akan cocok dengan tempat yang berbeda. Tujuan melihat role model bukan berarti menduplikat penuh ke ruang kelas atau sekolah kita.Â
Setiap sekolah bahkan mungkin ruang kelas pastinya mempunyai karakter yang khas, yang perlu kita pelajari adalah bagaimana role model yang kita jadikan pilihan itu mampu menumbuhkan sistem yang sudah dinilai berhasil.
Keberhasilan pendidikan memang tidak dapat terlaksana dengan baik apabila hanya didukung oleh satu pihak saja. Tumbuhan tidak akan dapat tumbuh dengan baik dan sempurna bahkan dapat mati apabila iklim dan kondisi tanah tidak mendukung.
Tugas suksesi tujuan pendidikan jangan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah saja, tapi setiap setiap komponen-komponen dimasyarakat juga perlu mendukung. Sehingga nanti terciptanya sebuah ekosistem yang baik.
MEMBANGUN PARADIGMA BARU
Tidak dipungkiri secara lahiriah, manusia merupakan sosok makhluk yang memiliki banyak berbedaan satu dengan lainnya, bahkan seorang yang kembar identik pun pasti memiliki perbedaan, baik pola pikir, sikap, kemauan, dan lain-lain bahkan bisa jadi ada perbedaan fisik.Â
Walaupun manusia memiliki perbedaan-perbedaan seperti itu, namun manusia juga memiliki beberapa persamaan, seperti contoh adalah kesamaan hak sebagai manusia.
Salah satu hak yang diperoleh sebagai manusia Indonesia yaitu hak mendapatkan pendidikan. Hak pendidikan ini setidaknya telah diatur dalam konstitusi Pasal 31 ayat (1) UUD NRI 1945, "Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.", dan ditegaskan kembali pada Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, yaitu setiap warga negara Indonesia berhak mendapatkan pendidikan yang bermutu.Â
Lalu masih pada Undang-Undang yang sama di Pasal 4 ayat (1), menegaskan bahwa prinsip penyelenggaraan pendidikan nasional itu harus dilakukan secara demokratis, berkeadilan dan tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi nilai-nilai hak asasi manusia.
Pada awalnya, sekolah di Indonesia memiliki model sekolah umum (yang kita kenal seperti sekolah biasanya) namun juga ada sekolah khusus (yang lebih sering kita kenal dengan sekolah luar biasa).Â
Setelah adanya Konferensi Salamanca tahun 1994 dan dilanjutkan pada tahun 2000 di Dakar (Indonesia ikut dalam konferensi ini) yang membicarakan khusus mengenai pendidikan inklusif, pada tahun 2009 Menteri Pendidikan Nasional mengeluarkan Peraturan khusus mengatur pendidikan inklusif.
Seperti gerakan global, setelah terselenggaranya Konferensi Salamanca di Spanyol, pendidikan inklusif mulai diperkenalkan di berbagai belahan dunia. Saat ini sudah banyak negara-negara di Eropa mulai menuju sekolah yang inklusif.Â
Seperti tidak mau tertinggal dari bangsa lainnya, ternyata di Indonesia pun perlahan mulai mengikuti gerak Pendidikan yang sedang tren saat ini, semangat menciptakan pendidikan yang berkeadilan dan ramah untuk semua golongan dalam dunia Pendidikan perlu kita apresiasi.
Berbicara pendidikan khusus, biasanya kita lebih terbiasa melihat model pendidikan segregasi. Secara teknis pelaksanaan sistem ini memang lebih menguntungkan bagi guru, sebab peserta didik sudah terpisah sesuai dengan karakternya masing-masing.Â
Namun sistem pendidikan model ini sebetulnya memiliki kelemahan, peserta didik yang belajar di sekolah model segregasi ini harapannya adalah supaya kelak mereka lulus dari sekolah tersebut, maka akan mampu hidup bersama dengan komunitas/masyarakat umum.Â
Tetapi bagaimana mereka mampu beradaptasi dengan komunitas/masyarakat umum kalau dalam masa pendidikannya, mereka seakan tercerabut dari komunitas/masyarakat umum?
Secara biaya pendidikan pun, sekolah berkebutuhan khusus terbilang cukup mahal, sehingga sering kurang menjangkau orangtua yang kurang mampu dan memiliki anak yang berkebutuhan khusus.Â
Akhirnya bagi orangtua yang kurang kuat secara finansial, malah memutuskan untuk tidak menyekolahkan anaknya. Padahal yang perlu kita pahami adalah bahwa mereka yang memiliki kebutuhan khusus hidup juga di tengah-tengah masyarakat umum.Â
Mereka bisa saja memiliki potensi lebih, tetapi karena mereka seperti dijauhkan dari masyarakat umum, potensi tersebut akhirnya terpendam saja, karena mereka tidak punya kesempatan untuk menampakkan kemampuan dirinya.
Akhirnya, segala jerih payah kita yang kita lakukan hari ini dapat menentukan secerah apa masa depan nanti. Semoga apa tujuan pendidikan nasional kita dapat terwujud dan setiap dari kita menjadi salah satu unsur pencapai kerberhasilan itu untuk masa depan yang lebih baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H