Sepenggal kisah
Saya Oktavia Purnama Dewi, mengajar Bahasa Indonesia di SMP N 5 PPU.
Menangani siswa di sekolah, tentunya wajib saya lakukan karena sebagai guru juga berkewajiban mendidik.
Saya memiliki beraneka karakter siswa. Ada yang serius, santai, ada juga yang sok akrab.
Mengangani hal tersebut, saya tidak ‘jaim’ atau jaga jarak dengan mereka.
Ketika itu, awal saya menjadi guru ada salah satu siswa yang bersikap sangat perhatian.
Ketika itu,,,
Suatu pagi, saya menemukan setangkai mawar di meja saya. Besoknya pun demikian. Mawar itu saya kumpulkan menjadi satu pot kecil dan menghiasi meja saya di ruang guru. Awalnya saya tidak peduli siapa yang meletakkan bunga itu. Namun, Ketika saya mengajar saya didatangi siswa, menemui saya Ketika saya di kelas, entah hanya menanyakan kabar atau mencium tangan saya, lama kelamaan menanyakan ukuran sepatu, merk parfum, alamat rumah… seperti ada yang aneh ini batin saya.
Suatu hari saya mengajar di kelasnya, sebut saja Namanya Fulan. Ketika saya memberikan tugas, tentunya semua mengerjakan, termasuk si Fulan, namun dia tidak mengerjakan soal, melainkan menulis nama saya penuh di buku catatan. Ketika saya ngobrol dengan salah satu siswa di kelas itu, ia kemudian menangis dan meukul-mukul tembok kelas. Yaps…saya harus mengambil sikap.
Saya mulai mendekati dia dan berbicara bahwa Fulan saya anggap sebagai anak sendiri. Fulan harus focus dengan belajar karena sudah kelas 9 yang sebentar lagi akan ujian. Namun si Fulan hanya menangis.
Esoknya, saya menerima surat, yang isinya membuat saya terperanjat. Layaknya surat untuk kekasih hati. Sampai pada kalimat terakhir…” Ibu Dewi harus menikah dengan saya”.
Saya Kembali bersikap. Saya memanggil salah satu teman akrabnya untuk mencarikan lelaki yang berpura-pura menyukainya, ya,,,mengapa harus laki-laki??? Karena si Fulan adalah seorang Wanita.
Saya Kembali memanggil si Fulan tanpa didampingi BK karena saya tidak ingin dia malu dengan kejadian ini. Banyak hal yang saya katakan. Bahwa Fulan masih SMP dan harus focus belajar dan anggap saya sebagai ibunya, atau temannya barangkali dia bisa cerita apa saja yang dirasakan oleh seorang Fulan yang menginjak masa pubertas. tidaklah wajar seorang siswa menyukai gurunya apalagi sesame jenis. Agama pun melarang. Jadi Fulan harus lebih dekat dengan keluarga dan melibatkan dengan kegiatan-kegiatan yang positif. Jika di sekolah saya sering mengajaknya bicara tentang apa saja selama itu untuk kebaikaan dirinya. Dan akhirnya…setelah dia lulus sekolah, si Fulan ke rumah saya untuk meminta maaf.
Tidak ada yang perlu dimaafkan anakku …, tetap menjadi senja, yang selalu mengajak meniti kenangan yang tak pernah hilang. Selamat menempuh hidup baru, Fulan….
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H