BAB 8: HUKUM WASIAT DALAM HUKUM PERDAT ISLAM DI INDONESIA
Secara Bahasa wasiat yaitu pesan, atau pesan-pesan, atau sesuatu yang dipesankan kepada orang lain. Sedangkan secara terminologis, wasiat yaitu pesan sesuatu kebaikan seseorang untuk dilaksanakan atau dijalankan sesudah meniggalkan sang pemberi wasiat. Wasiat termasuk kewenangan absolut Pengadilan Agama menurut Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang peradilan Agama yang telah diubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006, namun belum ada hukum materil dalam bentuk Undang-undang yang mengatur, satu-satunya peraturan yang mengatur wasiat adalah buku Kompilasi Hukum Islam (KHI) tentang hukum kewarisan. KHI mengatur wasiat dalam pasal 194-209 dipandang sebagai hukum materill dan diberlakukan di peradilan dalam lingkungan Pengadilan Agama.
Adapun Rukun Wasiat diantarannya:
1.Orang yang memberi wasiat yang berakal, baligh, Merdeka, bebas dari hutang, dengan cara sukarela.
2.Orang yang menerima wasiat.
3.Kemudian ada barang yang di wasiatkan.
BAB 9: HUKUM ZAKAT, HIBAH, INFAK, DAN SEDEKAH DALAM HUKUM PERDATA ISLAM DI INDONESIA
Zakat menurut Bahasa yaitu tumbuh dan tambah. Secara istilah zakat ialah hak yang wajib diambil dari harta yang banyak (yaitu harta yang mencapai nishab) bagi seorang muslim untuk diberikan kepada kelompo terntentu (mustahiq). Anatar zakat, hibah, infak dan sedekah yang penjelasannya sama-sama memberikan Sebagian hartanya untuk kepentingan bersama. Dengan syarat dan ketentuan yang ada pada Agama Islam dan peraturan Perundang-undangan.
BAB 10: KEWARISAN DALAM HUKUM PERDATA ISLAM DI INDONESIA
Hukum waris adalah salah satu huku kekeluargaan Islam yang paling penting berkaitan dengan kewarisan. Pasal 49 huruf b UU No. 3 Tahun 2006 dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan waris adalah penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli waris dan pelaksanaan pembagian harta peninggalan serta penetapan pengadilan atas permohonan seseorang tentang penentuan siapa yang menjadi ahli waris dan penentuan bagian ahli waris.
Asas hukum kewarisan :
1.Asas integritas yaitu menggunakan ketulusan hati untuk menaati hukum kewarisan.
2.Asas Ta' abbudi ialah pembagian waris secara hukum.
3.Asas Hukum al-Maliyah.
4.Asa Huquq Thabi'iyah.
5.Asa Ijabari yaitu warisan yang terjadi Ketika ahli waris meninggal dunia.
6.Asas Bilateral.
7.Asas Individual yang di mana harta waris dimiliki perorangan.
8.Asas keadilan.
9.Asas kematian.
10.Asas Membagi Habis Harta Warisan.
Â
BAB 11 :JUAL BELI DALAM HUKUM PERDATA ISLAM DI INDONESIA
Akad pertukaran baik benda maupu harta dengan tujuan kepemilikan, dan selain itu jelas bahwa akad jual beli merupakan akad bisnis (mu'awadhah) yang mengandung imbalan materil sebagai akibat dari transaksi tersebut, berbeda dengan akad sosial (tabarru). Bentuk-bentuk Jual Beli yaitu Jual beli ditinjau dari sisi objek akad jual beli dibagi menjadi:
a.Tukar-menukar uang dengan barang. Ini bentuk jual beli berdasarkan konotasinya. Misalnya: tukar-menukar mobil dengan rupiah.
b.Tukar-menukar barang dengan barang, disebut juga dengan muqayadhah (barter). Misalnya: tukar-menukar buku dengan jam tangan.
c.Tukar-menukar uang dengan uang, disebut juga dengan sharf. Misalnya: tukar-menukar rupiah dengan real.
Ditinjau dari sisi waktu serah-terima, jual beli dibagi menjadi 4 bentuk:
a.Barang dan uang serah-terima dengan cara tunai. Ini bentuk asal dalam jual beli dan dikenal secara umum.
b.Uang dibayar di muka dan barang menyusul pada waktu yang disepakati, ini dinamakan jual beli salam.
c.Barang diterima di muka dan uang menyusul, disebut juga dengan ba'i ajal (jual beli tidak tunai). Misalnya: jual beli kredit.
d.Barang dan uang tidak tunai, disebut juga ba'i dain bi dain (jual beliutang dengan utang).
BAB 12: SEWA DALAM HUKUM PERDATA ISLAM DI INDONESIA
Sewa-menyewa sebagaimana perjanjian lainnya, yaitu merupakan perjanjian yang bersifat konsensual, di mana perjanjian ini mempunyai kekuatan hukum, yakni sewa menyewa berlangsung dan apabila akad sudah berlangsung, maka pihak yang menyewakan (Mu'ajir) berkewajiban untuk menyerahkan barang (Ma'jur) kepada pihak penyewa (Mustajir) dan dengan diserahkannya manfaat barang atau benda, maka pihak penyewa berkewajiban untuk menyerahkan uang sewaannya. Ketentuan Tentang Berakhirnya Masa sewa diantaranya Terjadinya aib (kecacatan) pada barang sewa, Rusaknya barang sewa, Masa Sewa-Menyewanya telah habis, Adanya Udzur (halangan).
BAB 13: UPAH MENGUPAH DALAM HUKUM PERDATA ISLAM DI INDONESIA
Dimaksud upah adalah memberikan imbalan sebagai bayaran kepada seseorang yang telah diperintah untuk mengerjakan suatu pekerjaan tertentu dan bayaran itu diberikan menurut perjanjian yang telah disepakati. Bab upah mengupah ini masih dalam kategori bab akad-akad bisnis atau akad mu'awadhah.
Adapun penulis menjelaskan tentang Rukun dan syarat upah mengupah:
1.Orang yang memberi upah, dalam hal ini disyaratkan baligh, berakal dan atas kehendak sendiri.
2.Orang yang menerima upah, dalam hal ini disyaratkan baligh dan berakal.
3.Sesuatu yang menjadi objek upah mengupah atau sesuatu yang dikerja- kan, dalam hal ini yang menjadi objek upah mengupah adalah sesuatu yang diperbolehkan menurut agama (Islam).
4.Imbalan sebagai bayaran (upah) dengan syarat tidak kurang dari nilainya dan harus jelas.
5.Akad yaitu dengan kesepakatan bersama.
Adapun juga Hikmah Upah Mengupah:
Dapat ikut memenuhi hajat orang banyak dan membuka lapangan
Menumbuhkan sikap saling menolong dan kepedulian terhadap orang pekerjaan.
Dapat menciptakan hubungan silaturahim dan persaudaraan antara pengupah dan yang diupah.
Dapat saling menguntungkan dengan cara yang baik dan sesuai dengan syariah.
BAB 14: SYIRKAH DALAM HUKUM PERDATA ISLAM
 Syirkah itu ialah kerja sama antara dua orang atau lebih dalam berusaha (permodalan ataupun usaha lainnya), yaitu keuntungan dan kerugiannya ditanggung bersama sesuai proporsi. Hasil keuntungan dalam musyarakah juga diatur, seperti halnya pada mudarabah, sesuai prinsip pembagian keuntungan dan kerugian seperti dalam Undang-Undang Perbankan No. 10 Tahun 1998 dan UU No. 21 Tahun 2008 tentang perbankan syariah mengenai Bagi Hasil. Keuntungan dibagi menurut proporsi yang telah disepakati sebelumnya, kedua pihak memikul risiko kerugian financial. Macam-Macam Syirkah diantaranya syirkah amwal, syirkah abdan dan syirkah wujuh. Sedangkan syirkah amwal dan syirkah abdan dapat dilakukan dalam bentuk yirkah inan, syirkah mufawadhah dan syirkah mudharabah.
BAB 15: MUZARA'AH, MUKHABARAH DAN MUSAQAH DALAM HUKUM PERDATA ISLAM DI INDONESIA
Muzara'ah adalah suatu usaha atau kerja sama untuk mengerjakan tanah, baik sawah maupun ladang dengan perjanjian yang telah disepakati bersama antara pemilik tanah dan penggarap tanah bahwa biaya (modal) penggarap tanah ditanggung oleh pemilik tanah dan hasilnya dibagi menurut ketentuan yang telah disepakati bersama serta bibit yang ditanam berasal dari penggarap tanah.
Sedangkan Mukhabarah adalah suatu usaha atau kerja sama untuk mengerjakan tanah, baik sawah maupun ladang dengan perjanjian yang telah disepakati bersama antara pemilik tanah dan penggarap tanah, di mana biaya (modal) penggarapan tanah ditanggung oleh penggarap tanah dan hasilnya dibagi menurut kesepakatan bersama serta bibit yang ditanam berasal dari penggarap tanah.
Secara bahasa musaqah diambil dari kata dasar as-saqyu yang berarti pengairan. Menurut istilah musaqah adalah kerja sama perawatan tanaman, seperti menyirami dan sebagainya dengan perjanjian bagi hasil atas buah atau manfaat yang dihasilkan. Batalnya atau berakhirnya Muzara'ah, Mukhabarah, dan Musaqah diantaranya: Kedua belah pihak menyepakati untuk meakhiri akad, Adanya penyimpangan, Salah satu pihak meninggal dunia, Adanya Uzur.
BAB 16: MUDHARABAH DALAM HUKUM PERDATA ISLAM DI INDONESIA
Mudharabah Dalam Hukum Perdata Islam di Indonesia yaitu kerja sama antar pemilik dana atau penanam modal dengan pengelola modal untuk melakukan usaha tertentu dengan pembagian keuntungan berdasarkan nisbah.
Adapun Penulis menyebutkan masa berakhirnya akad kerja sama mudhrabah adalah:
1.Apabila waktu kerjasama yang disepakati dalam akad telah berakhir.
2.Jika terjadi pelanggaran kesepakatan yang dibuat dalam akad kerja sama.
3.Dapat berakhir jika pemilik modal atau mudharib meninggal dunia atau tidak cakap melakukan perbuatan hukum. Pemilik modal berhak melakukan penagihan terhadap pihak-pihak lain berdasarkan bukti dari mudharib yang telah meninggal dunia dan kerugian yang diakibatkan oleh meninggalnya mudharib, dibebankan pada pemilik modal.
BAB 17: GADAI DALAM HUKUM PERDATA ISLAM DI INDONESIA
Pengertian Gadai adalah penguasaan barang milik pinjaman oleh pemberi pinjaman sebagai jaminan. Adapun syarat Gadai diantaranya orang yang berakad harus cakap hukum juga, ijab qobul dilkukan secara tertulis atau secara lisan, adanya utang yang merupakan hak yang wajib dikembalikan, barang yang di angunan dengan syarat tidak rusak sebelum janji utang harus dibayar.