Mohon tunggu...
Oktavianti Pertiwi
Oktavianti Pertiwi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Pendidikan Sosiologi

Fakultas Ilmu Sosial - Universitas Negeri Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Disfungsi Pendidikan: Kekerasan Seksual dalam Instansi Pendidikan

27 Desember 2021   15:17 Diperbarui: 27 Desember 2021   15:21 613
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Kekerasan seksual merupakan kejahatan seksual yang secara umum merupakan perbuatan yang melanggar kesusilaan yang merusak kesopanan dan perbuatannya tidak atas kemauan si korban melalui ancaman kekerasan (Marpaung, Leden, 2004: 7). Korban kekerasan seksual bisa terjadi kepada siapa saja, dalam hal ini berarti korban kekerasan seksual terjadi pada setiap gender dan tidak memandang usia. 

Kekerasan seksual dapat terjadi di manapun dan kapanpun. Kekerasan seksual menunjuk kepada setiap aktivitas seksual, bentuknya dapat berupa penyerangan atau tanpa penyerangan. Kategori penyerangan, menimbulkan penderitaan berupa cedera fisik, kategori kekerasan seksual tanpa penyerangan menderita trauma emosional. Bentuk-bentuk kekerasan seksual dapat berupa dirayu, dicolek, dipeluk dengan paksa, diremas, dipaksa onani, oral seks, anal seks, dan diperkosa (Maidin Gultom, 2014:3).

 Berdasarkan data CaTahu Komnas Perempuan, kasus kekerasan seksual pada tahun 2020 sebanyak 590 kasus yang mana data tersebut bersumber dari data pengaduan secara langsung kepada Komnas Perempuan. Catatan Tahunan Komnas Perempuan menunjukkan tingkat kasus kekerasan terhadap perempuan di Indonesia. Dari data tersebut kita dapat melihat peningkatan jumlah kekerasan seksual di Indonesia setiap tahunnya.

Seiring waktu, kekerasan sosial menjadi pemberitaan yang sering kita dengar dan baca pada media massa online, televisi, dan media sosial. Produk perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, seperti Instagram, Twitter, Whatsapp, dan Facebook mendukung peningkatan informasi mengenai kekerasan seksual. 

Namun, perkembangan teknologi informasi dan komunikasi juga menyebabkan bertambahnya kasus kekerasan seksual dalam bentuk pesan teks atau dikenal istilah baru, yaitu sexting.

Pada 3 bulan terakhir di 2021 di masa transisi pandemi Covid-19 muncul banyaknya berita kasus kekerasan seksual. Terdapat berita hangat di bulan Desember 2021 mengenai kasus pelecehan seksual terhadap peserta didik. Seperti yang dikatakan sebelumnya, kekerasan seksual dapat terjadi kepada siapa saja, tidak memandang umur. Saya akan membahas dua kasus pelecehan seksual terhadap peserta didik yang banyak beredar di media sosial dan media massa online.  

Kasus pertama adalah kasus pemerkosaan oleh pemilik pondok pesantren di daerah Bandung kepada beberapa santri. Kekerasan seksual tersebut dilakukan oleh pemilik pondok pesantren, yaitu Herry Wirawan. Ia melakukan pemerkosaan kepada 12 santrinya yang rentang usianya 13-16 tahun dan diketahui 8 santri telah hamil. Kejadian ini berlangsung dari tahun 2016 hingga 2021. Informasi ini didapat dari akun twitter Nongandah yang ia tuliskan  pada 7 Desember 2021.

Kemudian, kasus berikutnya terjadi kepada beberapa mahasiswa di universitas daerah Jakarta. Informasi ini didapat dari media sosial twitter, salah satu mahasiswa mengirimkan screenshoot ruang chat dia dengan dosen pembimbingnya di kolom komentar di salah satu akun base. Dalam chat tersebut, dosen pembimbingnya mengirim pesan yang mengarah pada ranah seksual. Hal ini dikatakan dosen tersebut melakukan pelecehan seksual dalam bentuk sexting. Dari satu mahasiswa yang berani speak up tentang dosen pembimbingnya itu, muncullah korban-korban lain dengan pelaku yang sama.

Dari kedua kasus tersebut saya ingin mengaitkannya dengan pandangan teori struktur fungsional dari Emile Durkheim. Emile Durkheim salah satu tokoh dari teori sosiologi klasik mengungkapkan bahwa masyarakat adalah sebuah kesatuan di mana di dalamnya terdapat bagian-bagian yang dibedakan. 

Bagian-bagian dari sistem tersebut mempunyai fungsi masing-masing yang membuat sistem menjadi seimbang. Dalam buku Sosiologi Pendidikan karya Dian dan Siswanto (2021: 24), teori struktur fungsional dari Durkheim, lebih menekankan order sosial dan mengabaikan konflik atau masyarakat bergerak statis dan seimbang.

Durkheim mengatakan bahwa kokohnya masyarakat terjadi karena tegaknya hukum dan berfungsinya sistem pendidikan serta terjadinya sosialisasi utama keluarga. Fungsi sistem pendidikan menjadi salah satu faktor integrasi masyarakat. Terkait dengan pendidikan, fungsi pendidikan dari pandangan teori struktur fungsional, yaitu sebagai berikut:

1.Seleksi dan alokasi

2.Sosialisasi

3.Agent of social change

4.Agen peranan moral (Dian dan Siswanto, 2021: 25).

Durkheim juga menjelaskan lembaga pendidikan memiliki fungsi untuk merawat, melegitimasi, menstraformasi, mensosialisasikan, dan menginternalisasi moral order dalam masyarakat. 

Pada pandangan ini Durkheim menekankan bahwa individu diatur oleh masyarakat. Masyarakat dapat survive jika "organisasi sekolah" menghidupkan secara menerus collective conscience (Dian dan Siswanto, 2021: 30). 

Pendidikan digunakan sebagai media sosialisasi kepada generasi muda untuk mendapatkan pengetahuan, perubahan perilaku dan menguasai tata nilai-nilai yang dipergunakan sebagai anggota masyarakat. Menurut Durkheim, pendidikan haruslah berorientasi pada moralitas. Pendidikan menurut Durkheim sebagai upaya untuk mengisi jiwa seseorang dengan cara atau jalan melihat, merasa, dan bertindak.

Kaitan teori struktur fungsional dengan kasus kekerasan seksual tersebut adalah pendidikan digunakan sebagai media sosialisasi kepada peserta didik untuk mendapatkan pengetahuan, perubahan perilaku, dan menguasai nilai dan norma yang ada dalam masyarakat. Hal ini berarti dimulai dari pendidik, pemimpin instansi, dan segenap kayarwan yang bertugas dalam instansi tersebut menjadi contoh yang benar sesuai dengan nilai dan norma yang ada dalam masyarakat dan membimbing peserta didik dalam menguasai nilai dan norma yang ada. 

Namun, rupanya terdapat banyak kasus kekerasan seksual yang terjadi kepada peserta didik oleh civitas academia. Contohnya dua kasus di atas yang belum lama ini terkuak faktanya. Hal ini berarti terdapat disfungsi pendidikan dalam instansi tersebut.

Diketahui fungsi pendidikan menurut teori struktur fungsional, yaitu seleksi dan alokasi, sosialisasi, agent of social change, dan agen penerapan moral. Dari kasus tersebut, fungsi pendidikan sosialisasi dan agen penerapan moral tidak berfungsi sepenuhnya sehingga terjadi disfungsi. Sosialisasi di sini, pendidik yang utama dalam berinteraksi dengan peserta didik seharusnya bisa menerapkan dan mencontohkan nilai dan norma yang sesuai dalam masyarakat. Pelecehan seksual merupakan tindakan asusila yang mana tidak sesuai dengan norma di masyarakat. Seseorang yang melakukan tindakan asusila akan diberikan sanksi, entah berupa sanksi sosial maupun hukum.

Untuk meminimalisir tindakan asusila yang dilakukan oleh pendidik, kepala sekolah atau kepala rektorat sebagai pemimpin instansi pendidikan perlu adanya penataan ulang tenaga pendidik dan memberikan penguatan nilai-nilai moral dan etika kepada pendidik. Tentunya bagi pendidik yang ketahuan melakukan pelecehan seksual terhadap peserta didik, harus dilepasjabatkan. Lalu, untuk korban solusi yang diberikan intansi pendidikan adalah memotivasi dan mensosialisasikan keberanian untuk melapor kasus pelecehan seksual yang terjadi di instansi pendidikan, seperti sekolah, universitas, pondok pesantren, dan sebagainya. 

Dalam penanganan terhadap korban, selain peran dari instansi pendidik dibutuhkan kerja sama peran dengan keluarga dan lembaga dibidang anti kekerasan seksual. Sehingga terjadi integrasi masyarakat yang kuat karena berjalannya fungsi setiap masing-masing instansi dalam masyarakat.

Kekerasan seksual dapat terjadi kepada siapa saja dan di mana saja. Setiap tahunnya kasus kekerasan seksual selalu ada bahkan meningkat. Kekerasan seksual yang terjadi kepada peserta didik yang pelakunya adalah pendidik sedang marak diberitakan pada tahun 2021 ini. Kasus tersebut menunjukkan terjadinya disfungsi pendidikan yang bersumber dari pandangan teori struktur fungsional. 

Untuk menangani kasus kekerasan seksual dalam instansi pendidikan, perlu adanya kerja sama antara instansi pendidikan, keluarga, dan masyarakat atau lembaga yang mengurus permasalahan kekerasan seksual. Sehingga struktur fungsional dalam masyarakat dapat berjalan dengan semestinya.

Daftar Referensi:

Bedey, A. (2021). Kronologi Terungkapnya Kasus Guru Perkosa 12 Santri Hingga Hamil. Jakarta: Merdeka.com.

Hidayat, R. (2014). Sosiologi Pendidikan Emile Durkheim. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.

Huda, A. (2021). Dosen UNJ Diduga Lakukan Pelecehan Seksual. Jakarta: Republika.

Leden, M. (2004). Kejahatan Terhadap Kesusilaan Dan Masalah Prevensinya. Jakarta: Sinar Grafika.

Maidin, G. (2014). Perlindungan Hukum terhadap Anak dan Perempuan. Bandung: PT Refika Aditama.

Ruslan, H. (2013). Ini Solusi Agar Guru Terhindar dari Tindakan Asusila. Jakarta: Republika.

Sari, R. D., & Siswanto. (2021). Sosiologi Pendidikan. Jakarta: Laboratorium Pendidikan Sosiologi UNJ.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun