Sedikit berbeda dengan dua kasus sebelumnya, Turah sebagai pelaku tindak pelecehan seksual justru mendapat banyak dukungan.
Kasus ini terungkap karena teman korban, atas izin JA (korban), membuat utas tentang tindak pelecehan yang dialami JA pada November 2019. Namun sayang, bukannya menerima dukungan, JA sebagai korban justru menerima banyak perundungan.
Tak sedikit ditemukan komentar-komentar yang menjatuhkan korban, bahkan menganggap bahwa korban hanya ingin panjat sosial dan ingin menjatuhkan reputasi Turah. Turah memang dikenal sebagai seorang youtuber dan juga salah satu orang 'berpendidikan' yang sedang menempuh studi di Rusia.
Seperti komentar yang ditulis oleh @Ade*******, "Menurut ku ini masalah kecil sih, si torah hilaf aja sebenarnya, kalau si cewek nampol turah di tempat waktu disentuh itu, harusnya masalah ini udah selesai,"
Atau komentar dari @pencari*******, "Balik lagi sebenernya. Toh si TP juga udh menyesal dan mengakui kesalahannya kok. Tapi kenapa masih diungkit aja? Apa masih belum cukup hukumannya? Kalo mau jatuhin reputasi orang bilang aja napa. Iri bilang bos !!!"
Atas dasar 'berpendidikan' dan popularitas sebagai seorang youtuber itu pula yang menyebabkan banyak orang memberikan pengecualian untuk Turah sebagai pelaku pelecehan seksual.
Dalam kasus pelecehan seksual, pelaku sudah pasti bersalah karena melanggar batas norma seksual milik orang lain. Namun, sayangnya hal ini masih seringkali menjadi perdebatan di media sosial.
Hak-hak istimewa atau privilese yang dimiliki oleh beberapa pelaku tindak pelecehan seksual membuat mereka mendapatkan excuse atau pembelaan dari para pendukung hak istimewanya.
Hal ini sangat disayangkan, mengingat korban yang mengalami trauma dan depresi akibat dari tindak pelecehan seksual justru mendapat tekanan dari lingkungan sosial. Tidak adanya dukungan dari lingkungan, membuat korban terpaksa memilih bungkam.
Bukti-bukti normalisasi tindak pelecehan seksual seperti kutipan-kutipan tweet di atas dan kurang reaktifnya masyarakat saat ada tindak pelecehan di depan mata, membuat korban takut untuk melakukan tindak pembelaan diri, bahkan hanya untuk mengeluarkan suara pun rasanya sangat berat.
Tidak hanya berdampak pada mental korban, tapi juga fisik. Korban dapat mengalami nyeri di bagian vital akibat dari paksaan rangsangan seksual.