Mohon tunggu...
Oktaviani NS
Oktaviani NS Mohon Tunggu... Freelancer - Free human being

Still learning and will never stop. Kindly check https://gwp.id/story/121331/tentang-luka for more.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Dendam Masa Lalu dapat Menjadikan Kita "Toxic Parents"

22 Juli 2020   13:06 Diperbarui: 22 Juli 2020   23:23 364
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi anak sedih. (sumber: shutterstock via kompas.com)

Kekerasan secara verbal maupun non-verbal yang telah merusak mental, fisik, dan emosi seorang anak menyebabkan akibat buruk yang berjangka panjang. 

Anak dapat secara tidak sadar membalaskan dendam mereka kepada anak-anaknya ketika menjadi orang tua. Hal ini seperti racun yang terus menggerogoti tanpa tahu obat penangkalnya. 

Dalam perkara 'toxic parents', Mathews (2018) mengatakan bahwa psikiater lebih banyak menangani korban yang terimbas, dalam hal ini anak, daripada mengobati 'toxic parents' itu sendiri.

Orang tua yang sehat atau 'the healthy parents' sudah matang secara emosional, sehingga mereka tidak akan melakukan projeksi atau pelampiasan emosi kepada anak-anak mereka. 

Kematangan secara emosional juga menunjukkan self-awareness yang menghasilkan empati, kasih sayang, dan sikap peduli terhadap dirinya sendiri (Mathews, 2018). Self-awareness inilah yang kemudian mendorong orang tua untuk bisa memiliki batasan yang tepat terhadap hubungan mereka dengan anak-anak.

Berbanding terbalik, 'toxic parents' seringkali melampiaskan kemarahan mereka kepada anak-anak. Pelampiasan itu dapat berupa ancaman secara mental, fisik, emosional, bahkan sexual. 

Selain itu, memaksakan kehendak kepada anak dan tidak mau mendengarkan pendapat anak karena merasa memiliki kuasa atas mereka, termasuk tindak 'toxic parenting' yang tidak sehat.

Pada penelitian Michalski (2017), dapat dilihat bahwa lingkungan keluarga yang tidak sehat atau 'toxic' dapat memberikan efek seperti berkurangnya kemampuan untuk merasakan kebahagiaan, memalsukan hubungan yang sehat kepada sesamanya, dan ketertinggalan di sekolah. 

Michalski juga mengatakan bahwa dalam perspektif sosiologis, perlakuan tidak pantas terhadap anak dapat menghasilkan dampak negatif pada masa remaja.

Toxic parenting seringkali dilakukan secara tidak sadar. Orang tua merasa bahwa memarahi anak mereka di depan umum karena melakukan kesalahan adalah hal yang wajar. 

Contoh lain, orang tua jarang merasa puas dan cukup dengan pencapaian yang diperoleh oleh anak mereka. Ketika anak mendapat nilai 90 di kelas, orang tua menuntut nilai 100. Lalu, ketika anak sudah memperoleh nilai 100, orang tua menuntut anak untuk menjadi juara umum.

Selalu meminta lebih dan membanding-bandingkan anak untuk alasan motivasi tanpa pernah mengapresiasi adalah tindakan yang egois dan dapat mematikan karakter anak yang sedang terbentuk. 

Pada dasarnya, orang tua dianugerahi kasih sayang dan cinta tanpa batas untuk anak-anaknya. Namun, kadang tuntutan untuk menjadikan anak-anak sempurna dapat mencederainya.

 Secara turun-temurun seorang anak hanya dituntut untuk menghormati, menghargai, dan menyenangkan hati orang tua. Anak dituntut untuk menjadi apa yang orang tua inginkan. 

Tuntutan ini juga menumbuhkan pola pikir berikut, "Jika saya melakukan apa yang diminta oleh orang tua, maka mereka tidak akan memarahi saya."

Pola pikir seperti itu kemudian akan membatasi perkembangan seorang anak dan akan menciptakan sekat dengan orang tua karena ia seperti hidup di dalam 'penjara'. Padahal, di dalam keluarga seharusnya hubungan antara anak dengan orang tua maupun dengan anggota keluarga yang lain harus seimbang.

Toxic parenting dapat dilihat melalui tindakan-tindakan berikut:

1. Memaksakan kehendak pada anak tanpa mau mendengarkan pendapat.

Berbagai macam tuntutan, kritikan, dan ketidakpercayaan bahwa anak dapat melakukan sesuatu dengan benar bisa berdampak negatif pada anak. Ketahuilah bahwa anak juga memiliki mimpi dan pendapatnya sendiri. Jika dirasa salah, maka berikanlah pengertian dan solusi yang membangun.

2. Menggunakan peran kuasa sebagai orang tua.

Penyebutan 'anak durhaka' seringkali terucap dari mulut para orang tua ketika anaknya melakukan kesalahan atau membela diri setelah melakukan suatu tindakan yang bertentangan dengan keinginannya.

Sebagai orang tua, ada baiknya untuk mencoba meredam emosi dan membangun komunikasi yang sehat. Komunikasi yang sehat dapat dilakukan dengan mencoba memahami lewat sudut pandang anak, agar lebih mudah mengerti satu sama lain.

3. Mengajari anak berbohong sejak dini.

Kalimat-kalimat seperti, "Makanannya harus dihabiskan, kalau tidak nanti nasinya akan menangis." atau "Jika ada yang mencari, bilang saja mama/papa tidak ada." secara tidak sadar sudah menumbuhkan kebiasaan untuk berbohong kepada anak sejak kecil.

4. Blaming not correcting.

Kebiasaan menyalahkan daripada mengintrospeksi kesalahan yang ada pada diri juga salah satu tindakan tidak sehat. Seperti ketika anak menangis karena menabrak tembok atau pintu, orang tua biasanya mengatakan, "Sudah tidak usah menangis, nanti mama/papa pukul tembok/pintunya."

Secara tidak sadar, tindakan itu mengajarkan anak untuk menjadi arogan dan tidak ingin mengakui kesalahannya. Padahal, mengakui kesalahan lewat penggunaan kalimat positif akan lebih baik, seperti, "Lain kali lebih hati-hati." atau "Kalau jalan harus memperhatikan sekitar."

5. Menjadikan anak sebagai 'investasi' jangka panjang.

Separuh dari hidupnya, dapat diakui bahwa orang tua melakukan hampir segala hal untuk anaknya. Sayangnya, pada beberapa kasus, orang tua menganggap bahwa anaknya adalah barang 'investasi'. Beberapa toxic parents menjadikan pengorbanan mereka sebagai senjata untuk membuat anak mengikuti segala keinginannya, tak jarang anak harus mengubur mimpinya dalam-dalam.

Bagi anak yang penurut, mereka cenderung akan mengikuti keinginan orang tuanya dan mengesampingkan kebahagiaan dirinya sendiri. Namun, hal ini akan membuat anak menjadi takut untuk mengemukakan pendapatnya pada hal-hal di luar 'rumah'. 

Sedangkan bagi anak yang pemberontak, mereka cenderung akan menjadi pembangkang, bahkan di luar lingkungan keluarganya. Hal ini juga membuka kesempatan besar untuk membalas 'dendam' mereka melalui anak-anak mereka kelak.

Perlu dimengerti bahwa anak bukanlah seratus persen 'kepunyaan' orang tua. Paling utama, perlu diingat bahwa setiap individu memiliki hak atas dirinya sendiri. 

Salah satu kutipan menarik yang dapat dipelajari dari Will Smith adalah saat ia mengatakan bahwa membesarkan seorang anak sama halnya seperti konsep menanam tanaman. 

Orang tua, sebagai 'tukang kebun', harus menyediakan dan memberikan segala kebutuhan dari 'bibit' yang telah diciptakan Tuhan. Namun, orang tua tidak dapat menentukan anak mereka ingin tumbuh dan berkembang seperti apa.

Layaknya tanaman, ia akan berkembang mengikuti arah sinar matahari, bukan mengikuti keinginan tukang kebunnya. Anak pun sama, ia akan berkembang mengikuti arah cita dan mimpinya.

Sumber:

Mathews, Andrea (2018). Surviving the Toxic Parent. Accessed on 21 July 2020.

Michalski, Joseph (2017). The Cumulative Disadvantages of Socially Toxic Family Environments: A Comparison of Early Life Experiences of Incarcerated Men and University Students. European Journal of Sociology and Antropology, 2(2), 4.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun