Mohon tunggu...
Oktaviani Putri Nur Hamidah
Oktaviani Putri Nur Hamidah Mohon Tunggu... Relawan - Mahasiswi UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Gadis Pecinta hujan yang mengharapkan ridho tuhannya

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Ambisi Menjadi Pemimpin

23 April 2019   00:02 Diperbarui: 23 April 2019   00:12 386
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Perbedaan zaman salafushholeh yang paling kentara dengan zaman sekarang, salah satunya adalah ambisi kepemimpinan. Dulu khususnya pada zaman sahabat, mereka saling menolak untuk menjadi pemimpin.

Abu Bakar Shiddiq diriwayatkan, sebelum diminta menjadi Khalifah menggantikan Rasulullah mengusulkan agar Umar yang menjadi Khalifah. Alasan beliau karena Umar adalah seorang yang kuat.

Tetapi Umar menolak, dengan mengatakan, kekuatanku akan berfungsi dengan keutamaan yang ada padamu. Lalu Umar membai'ah Abu Bakar dan diikuti oleh sahabat-sahabat lain dari Muhajirin dan Anshor.

Dari dialog ini dapat kita pahami bahwa generasi awal Islam, yang terbaik itu, memandang jabatan seperti momok yang menakutkan. Mereka berusaha untuk menghindarinya selama masih mungkin. Tapi di zaman ini, keadaannya sudah berubah jauh.

Orang saling berlomba untuk menjadi pemimpin. Jabatan sudah menjadi tujuan hidup orang banyak. Semua tokoh yang sedang bertarung mengatakan, jika diminta oleh rakyat, saya siap maju. Inilah basa basi mereka. Entah rakyat mana yang meminta dia maju jadi pemimpin. Sebuah kedustaan yang dipakai untuk menutupi ambisi menjadi pemimpin.

Keberatan para Sahabat dulu untuk menjadi pemimpin, dikarenakan mereka mengetahui konsekuensi dan resiko menjadi pemimpin. Mereka mendengar hadits-hadits Nabi Saw tentang tanggung jawab pemimpin di dunia dan di akhirat. "Setiap kamu adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggung jawabannya. Imam (kepala negara) adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggung jawabannya atas kepemimpinannya...".

Dalam hadits yang lain Nabi Muhammad Saw memprediksi hiruk pikuk di akhir zaman soal kekuasaan dan menjelaskan hakikat dari kekuasaan itu. Beliau bersabda seperti dilaporkan oleh Abu Hurairah :

"Kalian akan berebut untuk mendapatkan kekuasaan. Padahal kekuasaan itu adalah penyesalan di hari Kiamat, nikmat di awal dan pahit di ujung. (Riwayat Imam Bukhori).

Perebutan tersebut bisa kita lihat dengan jelas dalam pesta demokrasi yang terjadi tahun ini, sungguh sangat miris sekali. Dari mulai kampanye hingga kini, perebutan kekuasaan masih saja terus di geluti, ujaran kebencian terus di gaungi, saling berlomba untuk menggiring opini, saling mencari kesalahan padahal mereka tidak menyadari apa yang mereka lakukan membuka cacat dan kejelekan diri.

Bahkan banyak yang megklaim menang sebelum ada informasi resmi, apakah ini sebuah pertandingan atau kompetisi sehingga ada kata menang atau kalah di satu sisi ? bukankah lebih baik mengganti kata 'menang' dengan kata 'unggul'karena ini bukan pertandingan menjual janji-janji namun pilihan rakyat untuk negeri.

Salah satu hikmah 'ulama, Ahmad Hasyimi mengatakan, "Ambisi untuk berkuasa adalah penyakit yang tak ada obatnya."

Memang tidak ada obatnya, ambisi tersebut pasti masih membara setelah pengumuman resmi dari KPU nanti dan pada akhirnya KPU akan tetap di nilai salah oleh yang kalah.

Kenapa tidak menerima kenyataan dan bersyukur atas ketetapannya saja? Bahwa yang tidak terpilih nantinya harusnya bersyukur karena ia tidak memiliki tanggungan di akhirat nanti. Seperti kata Prof. Nadirsyah Hosen :

"Menjadi pemimpin lebih dari 250 juta rakyat itu amanah, perut mereka dan masa depan anak-anak mereka dititipkan pada bahumu. Maka, kepada siapapun yang terpilih, jangan engkau sujud syukur. Menangislah! Anggaplah ini musibah karena kelak 250 juta orang menagih haknya."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun