Mohon tunggu...
Yuda Oktana
Yuda Oktana Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Bekerja keraslah, selebihnya biar Tuhan yang menyelesaikannya....

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Tuhan di Mana?

1 November 2015   20:44 Diperbarui: 1 November 2015   20:44 173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Malam telah datang, bulan telah lantang, bintang telah terang. Ah, sudah lama kami tak merasakan malam yang macam begini, sebab kabut asap selama ini memburam langit di Kota kami.

Seperti malam-malam biasa, aku duduk diteras kontrakan menikmati malam ditengah kesendirian. Sejenak ku pejamkan mata, merasakan keheningan, lalu angin berhembus perlahan menyeretku ke sebuah lubang hitam, hingga aku sampai di tempat yang aneh: sepi, hitam putih, seperti kota mati.

Disekelilingku bangunan-bangunan tua yang telah berlumut, pabrik-pabrik besar yang telah karatan—mati, hey aku di mana: kenapa penghuni tempat ini sedikit dan bajunya lusuh, rambutnya tak karuan?

Tetiba terdengar suara dari langit, entah dari siapa, "Dalam hidup apa yang kau cari?"

Mungkin pertanyaan itu untukku. Aku mulai memuat dafar pencarian, sambil membayangkannya:

  1. Uang
  2. Rumah dan mobil mewah
  3. Wanita cantik
  4. Pesawat pribadi
  5. Ketenaran
  6. Kekuasaan
  7. Bisa keliling dunia...

Ah, betapa bahagianya aku, punya uang banyak, kekasih cantik, rumah dan mobil mewah, wajah yang selalu menghiasi media massa, dan tinggal menunjuk saja aku bisa memerintah orang. Aku tersenyum membayangkannya.

“Dalam hidup benarkah ini yang kamu cari,” ada yang bebisik dalam hatiku, aku jadi murung. Apa yang sebenarnya aku cari, mungkinkah semua yang aku bayangkan bisa memberikan segalanya.

Tapi, tunggu dulu. Tuhan di mana? Hey, kenapa tak masuk dalam daftar pencarianku. Apakah aku telah melupakan Tuhan?

"Tuhan telah mati," terdengar teriakan dari balik bangunan tua dengan nada seperti putus asa.

"Tuhan hanya candu," kata seorang kakek tua, berkumis tebal, berambut panjang, sepertinya aku pernah lihat, tapi di mana, ia seperti Karl Marx atau jangan-jangan memang Karl Marx.

“Tuhan Hanyalah ilusi,” teriak seorang pemuda bertato, rambutnya rucing-runcing, penampilan yang aneh.

"Tuhan itu tidak ada," kata seorang pejalan yang sedang mabuk.

Aku linglung, bersandar di tebing yang berlumut, dinding yang telah berkerak. Tuhan engkau di mana? kenapa Kau tak masuk dalam pencarian hidupku, apakah aku lupa atau Engkau yang melupakanku.

Tuhan di mana?

Tetiba dari jauh perlahan ada suara, sepertinya aku kenal suara itu, "Allahu akbar. Allahu akbar," suara yang selalu ku dengar lima kali dalam sehari.

"Hayya 'alash sholah." Suara itu syahdu sekali,berirama, meliuk mendamaikan jiwa.

Suara apa itu? apakah itu panggilan dari Tuhan, kenapa suara itu mendamaikan dan menggetarkan, ini pasti bukan senandung biasa.

"Bukankah suara ini yang selalu engkau dengar dalam hari-harimu?" tanya seorang pria, berjenggot dan berpeci putih, wajahnya bersih, seperti ada cahaya dari air mukanya.

"Suara apa itu?" tanyaku.

"Itu panggilan dari Tuhan untuk segera menghadapnya, orang menyebutnya Azan” jawabnya.

Benarkah itu panggilan Tuhan, kenapa selama ini aku tak menghiraukannya. Saat ku dengar suara itu, aku masih santai-santai saja, kadang duduk di cafe-cafe, mengobrol dengan teman.

“Panggilan dari Tuhan?” aku mencoba mengkonfirmasi.

“Iya itu panggilan dari Tuhan untuk segera melaksanakan shalat,” tegasnya. Ia beranjak dari mukaku.

“Kamu mau kemana?” tanyaku sebelum kakinya jauh melangkah.

“Ke masjid,” tangannya menunjuk ke sebuah tempat yang tak jauh dari kami berdiri.

Tempat itu bersih, seperti ada cahaya yang memancar disetiap sudut tebingnya.

Apakah benar itu rumah Tuhan? Benarkan Tuhan ada di sana?

Azan, Shalat, dan Masjid, bukankah sesuatu yang selama ini sering ku dengar sekaligus ku abaiakan. Aku lupa kapan kali terakhir beranjak dari tempat nongkrong saat Azan berkumandang menuju masjid untuk melaksanakan shalat—menghadap Tuhan.

Perlahan dengan langkah penyesalan, aku mengikuti lelaki berpeci itu menuju masjid

Tapi, Tuhan di mana?

"Tuhan ada dihatimu, sedekat tali nyawamu," kata kakek tua bersorban putih yang tiba-tiba lewat didepanku.

Menyadarkanku dari lamunan.

 

Rumah Kata, 1-11-2015

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun