Mohon tunggu...
OKSAND
OKSAND Mohon Tunggu... Lainnya - Penulis Storytelling dan Editor

- Menulis 2 buku fiksi: novel Tuing! (2018), novelet CMYK (2021) - Menulis 2 buku nonfiksi: CBLK (2020), CBLK2 (2022) - Salah satu penulis dari 5 buku antologi: Tunas Cinta (2017), Baper Jangan? (2018), Lomba Menulis The Writers (2020), Kutunggu Jandamu (2021), Rempah Kita Nusantara (2022) - Editor 7 buku: Cinta 25+ (Antologi POF, 2019), Panggil Aku Mama (Tya Subiakto, 2020), Kutunggu Jandamu (Antologi The Writers, 2021), Anak Tak Bernama (Tya Subiakto, 2022), Rempah Kita Nusantara (Lily Setiadinata, 2022), Kisah di Balik Kesuksesan Hakuhodo (Budiman Hakim, 2022), Markas Cinta (Antologi The Writers, 2023)

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Cara Pilih Semen Era Sekarang

3 Agustus 2023   21:17 Diperbarui: 3 Agustus 2023   21:32 151
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Semen itu sudah jadi produk komoditas. Di Jawa Barat saja, hampir 20 merek. Di Sumatra, masih bisa dihitung satu jari tangan. Di Makassar juga masih sedikit. Jawa Barat ini berlimpah pilihan. Harus pilih yang mana untuk membangun rumah baru? Atau renovasi?

Ada semen produk asli Indonesia. Ada juga buatan sentuhan luar negeri, seperti Jerman, Cina, Thailand.

Apakah semen-semen itu Brand? Atau sekadar merek (nama) saja? Hubungannya apa pilih semen dengan Brand?

***

Brand itu apa yang orang lain katakan, ketika kita tidak ada di ruangan itu. Itu kata Jeff Bezos, "Your brand is what other people say about you when you're not in the room."

Brand itu persepsi. Orang pakai jam tangan mewah bisa dipersepsikan dia itu orang kaya, padahal boleh jadi jam dapat pinjam. Emak-emak sosialita dengan anggunnya menenteng tas yang logonya ada L dan V, lalu dipamer-pamerkan, padahal bisa jadi itu sewa, atau punya temannya. Dia numpang foto saja. Persepsi.

Brand itu nama dan makna. Itu kata Pak Bi, guru saya soal branding. Nama lengkapnya Subiakto Priosoedarsono, praktisi branding berpengalaman 50 tahun.

Jika produk atau jasa itu tidak bermakna apa-apa buat kita, tidak membuat kita membeli lagi dan beli lagi, tidak menancap di otak kita sebelum kita pergi membelinya, maka produk atau jasa tersebut hanya sekadar nama/merek. Tanpa makna.

***

Dari pengertian Brand di atas, kita mulai bisa menentukan semen mana yang bisa dipilih untuk rumah kita, atau ehm, rumah tetangga.

Pertama, apakah semen tersebut punya makna bagi kita? Misal, yang dipilih adalah semen Dynamix. Bisa jadi alasan memilihnya karena dulunya bernama Holcim, dan dulunya lagi bernama semen Kujang. Jadi justru Dynamix dipilih karena romansa masa lalu. Ada nilai historisnya.

Kedua, sentimen kelokalan. Teman saya di Makassar tidak pikir panjang, dia pasti pakai semen Tonasa. Katanya, itu semennya orang Makassar. Walaupun di sana ada semen yang lebih murah, kecintaannya pada produk lokal, produk Indonesia, tidak tergoyahkan. Uhuk.

Ketiga, kita beli karena referensi dari orang lain. Era sekarang, konsumen membeli produk karena 3R: Review, Rating, Recommendation. 

Bagi yang awam tentang semen, dia bisa googling: Semen apa yang terbaik untuk pengecoran? Bisa jadi yang keluar jawabannya adalah semen Gresik, atau Extra power, atau Tiga Roda.

Intermezzo sebentar.

Ngomong-ngomong soal googling, zaman sekarang kita bisa dengan mudah mencari tahu personal brand diri sendiri, atau produk yang kita buat. Caranya, ketik saja di Google. Misalnya Oksand. Saya di dunia digital, atau dunia maya, adalah penulis dan editor. Apa kata Google? Kalau cocok dengan persona apa yang kita bangun/rancang, berarti aktivasi brand kita sudah benar. Kalau ketik Oksand yang keluarnya ikan tongkol, artinya masih perlu berkeringat-keringat untuk proses branding nama kita.

Oke lanjut.

Anak sekarang dengan cepat bisa mencari review produk di Google, di YouTube, di Instagram, atau bahkan TikTok. Dari review tersebut, kalau apa yang dikatakannya tentang produk itu bagus, maka bakal dikasih rating tinggi, dan akhirnya direkomendasikan. Padahal bisa jadi, si pembuat konten tidak dibayar setetes pun oleh pembuat produk. Yang seperti ini, di Marketing 4.0 disebut Evangelist, dia merekomendasikan padahal menggunakan saja tidak, tapi dia bisa rekomendasikan karena temannya, suaminya, atau saudaranya pakai, dan hasilnya bagus. Tentang evangelist ini, dan marketing 4.0 nanti kita bahas terpisah. Bisa jadi esai kalau ditulis sekarang

Rekomendasi, bisa juga datang dari user experience. User itu bisa tukang yang merasakan langsung performa semennya waktu mengaduk beton, atau sedang plester dinding bata merah, atau saat mengaci. Bisa juga, user atau pengguna adalah mandor, karena pertimbangan dia semen bisa murah hitungannya setelah harga terpasang, tidak sekadar harga semen tok. User juga bisa yang punya rumah, karena hasilnya bagus, mulus, minim retak. Dia puas karena dinding rumahnya awet dan tahan lama. Pilar-pilar betonnya kokoh tak tertandingi. Akhirnya dia rekomendasikan karena sudah terbukti nyata.

***

Di pikiran kita, menurut Pak Bi, ibarat laci atau filing cabinet. Ada laci mi instan, ada laci mobil, motor, atau semen. Di tiap laci, biasanya kita hanya hafal 7 merek. Yang disebut duluan, itu adalah top of mind.

Sekarang di laci pikiranmu, ada semen apa?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun