Mohon tunggu...
Oksama Gusman
Oksama Gusman Mohon Tunggu... Mahasiswa - Freelance Writer

Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Aspek Falsafah Komunikasi dan Diplomasi Minangkabau sebagai Modal dalam Berdiplomasi

3 Januari 2022   05:06 Diperbarui: 3 Januari 2022   05:44 1630
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pernahkah terbesit dalam pikiran kita bahwa mengapa banyak politisi dan diplomat terkenal bangsa Indonesia pada masa awal kemerdekaannya banyak diisi oleh tokoh-tokoh yang memiliki latar belakang etnis Minangkabau? Beberapa tokoh seperti Mohd. Hatta, Agus Salim, Sutan Sjahrir, Mohammad Natsir, Mohammad Yamin, Mr. Assaat, hingga Chaerul Saleh mewarnai perjuangan bangsa Indonesia mulai dari masa pra kemerdekaan hingga beberapa dekade setelahnya.

Pertanyaan seperti ini mungkin dapat menyebabkan timbulnya pandangan ataupun dugaan "etnosentrisme" terhadap suatu etnis di kalangan sebagian orang. Namun, jika kita lebih memilih untuk sedikit mengesampingkan berbagai dugaan serupa, kita dapat menjawab pertanyaan tersebut dengan lebih santai melalui alur pemahaman terkait nilai-nilai yang ditanamkan kepada tokoh-tokoh tersebut sedari mereka masih berada di kampung halamannya, tanah Minangkabau.

sumber: fajarsumbar.com
sumber: fajarsumbar.com

Sedikit profil awal mengenai etnis Minangkabau, Minangkabau merupakan kelompok etnis asli daerah dataran tinggi di Sumatera Barat, Indonesia. Tanah air etnis Minangkabau di Sumatera Barat adalah pusat Kerajaan Pagaruyung,[1] yang diyakini oleh para sejarawan awal sebagai tempat lahirnya ras Melayu,[2] serta lokasi Perang Paderi yang berlangsung pada tahun 1821 hingga 1837. Etnis Minangkabau sendiri memiliki sistem hingga falsafah yang cukup unik, yakni memiliki falsafah "Adat basandi Syarak, Syarak basandi Kitabullah", sistem kekerabatan yang matrilineal, hingga pepatah "Alam takambang jadi Guru". Sistem dan nilai-nilai tersebutlah yang sampai saat ini menopang beberapa pondasi budaya Minangkabau untuk hidup dalam bermasyarakat.

Minangkabau pada dasarnya memiliki banyak sekali falsafah yang menuntun masyarakatnya untuk hidup dalam bermasyarakat. Pepatah "Alam takambang jadi Guru" yang merupakan bagian dari falsafah alam adat Minangkabau menyumbang peran penting dalam membentuk pribadi orang Minangkabau. Falsafah ini lahir dari hasil pemikiran dan/atau penghayatan yang mendalam atas fenomena, hukum, hingga keteraturan alam semesta yang ditafsirkan menjadi nilai dan rujukan dalam menata kehidupan sosial masyarakatnya. 

Falsafah alam ini kemudian menciptakan beberapa konsep turunan, seperti gagasan bahwa "perbedaan" dan gesekannya yang merupakan sebuah hukum alam yang absolut, terdapatnya eksistensi individual hingga lembaga yang harus dijaga dan dipertahankan, otonomi (kemandirian) yang wajib diperkuat, kesetaraan antar individu dan lembaga, harga diri, tuntutan kerja keras dan kreatif, hingga karakter yang egaliter. Konsep-konsep tersebut membawa masyarakat Minangkabau untuk memahami dan percaya bahwa "konflik" merupakan ketentuan alam yang pasti akan selalu ada.

Namun, meski konflik merupakan ketentuan yang diyakini bahwa akan selalu ada dalam kehidupan sosial, masyarakat Minangkabau juga memahami bahwa konflik dapat merusak harmoni yang ada dalam kehidupan bermasyarakat. Konflik dapat menyebabkan timbulnya berbagai praktik yang dapat merusak tatanan sosial hingga keteraturannya yang disandarkan pada alam, dengan kata lain dapat merusak nilai-nilai moral yang telah dibangun oleh masyarakat Minangkabau. Konflik yang dapat mengancam keteraturan ini perlu dihadapkan kepada penyelesaiannya yang membutuhkan keterampilan komunikasi dan diplomasi dibanding menempuh jalur "peperangan".

Sumber: Instagram – wartasejarah 
Sumber: Instagram – wartasejarah 

Dalam komunikasi dan diplomasi, orang Minangkabau tidak lupa memperhatikan "budi dan bahasa"-nya. Konsep ini dianggap memainkan peranan sentral untuk mengantisipasi kompetisi atau persaingan yang didorong oleh konsep “harga diri”. Agar tidak mengakibatkan destruksi sosial atau disharmoni muncullah di dalamnya konsep “budi”. Konsep “budi” adalah norma etik sosial yang menuntut kecerdasan emosional dan sosial yang berisi norma tenggang rasa serta saling hormat dan menghargai satu sama lain. Konsep ini memiliki tolak ukur “hukum piciak jangek” dan "lamak dek awak, katuju dek urang", jika kita merasakan sakit bila dicubit, maka perasaan yang sama akan dirasakan orang lain apabila dicubit, hal yang sama juga berlaku untuk sebaliknya. Hal ini menutut masyarakatnya untuk berlaku arif dan bijaksana, yaitu bertindak berdasarkan pertimbangan raso (perasaan) dan pareso (akal rasional).

Konsep budi memiliki korelasi dengan "bahasa", sebagaimana diungkapkan “Nan kuriak kundi nan merah sago, Nan baiak budi nan endah adolah bahaso”. Hal itu bermakna bahwa budi (kualitas batin) yang bersifat abstrak akan terepresentasi dalam bahasa seseorang. Budi yang baik akan terepresentasi pada bahasa yang baik, dan sebaliknya. Oleh sebab itu, orang Minangkabau dituntut untuk berbahasa yang baik, sopan, dan santun. Salah satunya melalui penggunaan "kieh" (kiasan), dan memandang bahwa penggunaan diksi yang lugas merupakan sebuah tindakan yang kurang sopan. Hal ini membawa kita kepada pemahaman bahwa Minangkabau memandang bahasa bukan hanya sebagai simbol untuk berkomunikasi verbal, tetapi juga merupakan tolak ukur diri , karakter, martabat, dan kehormatan seseorang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun