Secara universal, penjara merupakan tempat kurungan bagi seorang terpidana yang berdasarkan keputusan pengadilan dinyatakan bersalah di hadapan hukum. Lebih khusus, penjara bagi negara-negara iskandanavia, penjara adalah tempat untuk dilaksanakannya pembinaan yang berbentuk pemberian pekerjaan bagi Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) dalam rangka memberikan keterampilan dan skill sehingga menjadi bekal baginya setelah selesai menjalani pidana.Â
Di Indonesia penjara dalam hal ini Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) dan Rumah Tahanan Negara (Rutan) adalah tempat dilaksanakannya Sistem Pemasyarakatan yang mengacu pada nilai -- nilai Pancasila dan budi luhur Pengayoman yang telah cetuskan oleh Dr. Saharjo melalui 10 Prinsip Pemasyarakatan dengan tujuan reintegrasi sosial.Â
Terlepas dari bagaimana pembinaan yang dilaksanakan dalam penjara, Lapas maupun Rutan, adalah menjadi syarat penting bagi berlangsungnya pembinaan di dalam kondisi yang kondusif tanpa adanya transformasi konflik (gangguan kemanan dan ketertiban). Hal ini tentu akan mendorong pelaksanaan pembinaan dalam Lapas dan Rutan.
Dalam konteks pengamanan, transformasi konflik atau gangguan keamanan dan ketertiban (kamtib) di dalam Lapas maupun Rutan disebabkan oleh friksi, yaitu hubungan kausalitas antara regulasi, petugas, WBP serta konflik yang terjadi didalamnya. Oleh sebab itu, tulisan ini akan membahas secara singkat bagaimana menangkal transformasi konflik dalam Lapas dan Rutan di Indonesia.
Kebijakan Pengamanan Lapas dan Rutan di IndonesiaÂ
Dalam kurun waktu 5 tahun terakhir hampir 50% penghuni Lapas dan Rutan dihuni oleh kasus dengan narkotika baik pengedar, kurir hingga bandar narkoba. Belum lagi permasalahan kejahatan dengan tingkat kualifikasi A yakni membahayakan diri sendiri dan orang lain termasuk kejahatan dalam kategori finansial (white collar crime) dan kejahatan kemanusiaan. Kejahatan--kejahatan tersebut masuk dalam kategori extraordinary crime dengan tingkat kualifikasi risiko tinggi.Â
Dalam Buku Standar Pembinaan Risiko Tinggi Narapidana tahun 2017, dijelaskan bahwa narapidana dengan tingkat risiko tinggi sangat berpotensi menimbulkan ancaman dan risiko yang sangat tinggi, oleh sebab itu diperlukan kebijakan khusus terkait manajemen pengamanan untuk kualifikasi narapidana dengan risiko tinggi. Kebijakan dan strategi pengamanan terhadap kejahatan extraordinary crime telah banyak dilakukan mulai dari kebijakan revisi Undang-Undang hingga kebijakan terkait pencegahan dan penanggulangan kejahatan khususnya dalam pengamanan Lapas dan Rutan di Indonesia.Â
Peningkatan kapasitas Sumber Daya Manusia (SDM) dan pelatihan personil secara aktif telah dilakukan demi menyiapkan strategi pengamanan yang sistemik serta didukung dengan peralatan teknologi yang canggih.
Alhasil, pada tahun 2018, Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjenpas) berhasil membangun Lapas Super Maksimum Sekuriti (SMS) Kelas IIA Karanganyar di Pulau Penjara (Nusakambangan) dengan kapasitas hingga 1500 narapidana. Lapas ini dibangun dengan sistem electronic devices, dilengkapi dengan teknologi pengamanan super canggih, CCTV, serta personil khusus yakni Emergency Response Team (Pasukan Tanggap Darurat).
Lebih lanjut di tahun yang sama, Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjenpas) juga telah melakukan upaya pembaharuan sistem dan manajemen risiko pengamanan dengan jalan modifikasi perilaku terhadap narapidana sehingga dapat memisahkan narapidana dengan tingkat kualifikasi risiko tinggi dan tingkat kualifikasi rendah.Â
Pemisahan dilakukan dengan tujuan untuk membentuk perilaku narapidana, mengubah karakter serta melakukan pendekatan psikologis narapidana sehingga narapidana tersebut siap untuk hidup kembali ke masyarakat. Kebijakan tersebut adalah buah dari hasil Revitalisasi Pemasyarakatan yang telah digaungkan oleh Ditjenpas sebagai pilot project dengan melahirkan Permenkumham No. 35 Tahun 2018 tentang Revitalisasi Pemasyarakatan.