Feminisme merupakan sebuah ideologi yang berkembang dengan menawarkan sudut pandang wanita sebagai bahan kajiannya. Karya sastra yang menggunakan feminisme dalam konteks pembahasan maupun metode untuk membedah suatu permasalahan biasanya tidak jauh dari persoalan gender. Menurut Ratna (dalam Al-Ma'ruf, 2017:116), teori feminisme telah dimanfaatkan oleh kaum wanita sebagai alat untuk memperjuangkan haknya---yang berkaitan dengan konflik kelas dan ras---khususnya konflik gender.
Dilansir dari Konferensi Kemen PPA (G20 MCWE) tentang pemberdayaan perempuan dalam siaran pers yang diadakan pada 24 - 26 Agustus 2022 di Bali, penyelenggaraan ini dilatar belakangi oleh permasalahan wanita dan dampak yang diakibatkan dari fenomena Covid-19. Menurut data yang telah disimpulkan, wanita mengalami dampak signifikan mengenai kesenjangan gender yang berhubungan dengan pemutusan hubungan kerja hingga kehilangan mata pencaharian.
Wanita juga dituntut harus lebih bisa mengimbangi peran dalam menanggung beban rumah tangga. Isu besar dan berkepanjangan mengenai wanita ini dianggap menjadi peningkatan angka pengangguran dan kemiskinan Indonesia dalam krisis Covid-19. Namun, dengan berkembangnya teknologi dalam dunia digital sekarang banyak pula permasalahan yang bertolak belakang dengan paham feminisme.
Beberapa akun media sosial juga turut membahas dan menyebarluaskan mengenai gerakan feminisme dianggap hanya sebagai tren "ikut-ikutan" untuk generasi milenial. Mereka dianggap hanya mengerti teori, tetapi tidak paham tindakan dan solusi. Kesalahpahaman dan salah mengartikan postingan atau unggahan beberapa konten mengenai feminisme dianggap kaum wanita lebih condong membela diri tanpa melihat pria juga mengalami hal serupa.
Ditinjau dari artikel yang berjudul "Saya Laki-Laki, saya butuh Feminisme" yang diunggah pada laman Baktinews, kaum pria menolak mentah mentah tren gerakan feminisme di media sosial yang hanya ditujukan pada keadilan kaum wanita. Dalam artikel tersebut, penulis menjelaskan secara rinci bahwasanya pria juga harus memenuhi syarat jika mau dianggap sebagai golongan patriarki.
Pada kenyataannya, kewajiban utama mencari nafkah dalam rumah tangga adalah tugas utama pria dan itu menjadi hak paten secara turun temurun, hal itupun dianggap sebagai beban yang sangat menuntut. Kaum pia tidak bisa menunjukan perasaanya terlalu terbuka seperti wanita, ia hanya boleh terlihat mengantongi kewibawaan dan kejantanan, karena jika gagal dalam mempertahankan maskulinitasnya, ia akan dianggap kehilangan jati diri sebagai pria sejati.
Lantas apakah semua ini disebut suatu kesalahan?
Secara garis besar, para wanita yang secara terang-terangan gencar menggaungkan gerakan feminisme berarti meminta keadilan karena menganggap dirinya sebagai korban. Jika banyak wanita yang mengikuti hal tersebut, apakah bisa disebut sebagai tren "ikut-ikutan?
Jika kita membahas isu dan permasalahan mengenai kasus wanita yang terjadi di Indonesia, jumlahnya bisa mencapai puluhan ribu kasus. Hal ini berbanding terbalik dengan jumlah kaum wanita yang menyuarakan gerakan feminisme. Lantas, bagaimana cara mengatasi pengalihan sebutan tren tersebut?
Ada pepatah yang mengatakan, "duduk sama rendah, berdiri sama tinggi", sesuatu yang berkesinambungan berawal dari keadilan yang seimbang. Mencari sebuah solusi untuk mengembalikan citra baik paham feminisme dalam permasalahan masyarakat yang semakin ramai seperti saat ini tidak akan mudah jika tidak disertai perubahan yang besar. Eksistensi media sosial dan media publikasi lain yang pasti akan selalu disentil oleh orang banyak---bisa dimanfaatkan sebagai solusi tengah.
Apakah karya sastra dan media sosial bisa digabungkan?
Mungkin kita ganti pertanyaan tersebut,
Apakah kita sebagai generasi muda dan milenial bisa mengatasinya?
Jawabannya, bisa!
Perubahan besar berawal dari hal-hal kecil yang baik. Karya sastra seperti cerpen, puisi, prosa dan lain sebagainya bisa kita publikasikan dengan baik melalui media sosial. Kendati demikian, remaja dan generasi milenial lebih suka menghabiskan waktu dengan gadget daripada membaca buku. Bukankah dengan begitu semua hal saat ini bisa diakses dengan mudah?
Tergantung bagaimana cara kita mengemas hal-hal tersebut menjadi sebuah inspirasi untuk mengembalikan citra baik gerakan feminisme. Bukan hanya wanita, pria juga bisa ikut andil dalam menyuarakan sesama keadilan dalam gender. Menjadi penulis yang bijak adalah syarat agar kita bisa diterima masyarakat banyak, terlebih lagi kesetaraan pada pria dan wanita.
Dengan saling bertukar pendapat dan ide, maka akan muncul konteks baru yang kita sendiri tidak akan mampu menebak seperti apa ide-ide tersebut. Melalui pembuatan konten dan unggahan yang mendidik, gerakan feminisme harus bisa berfokus pada usaha untuk meningkatkan kesadaran tentang keadaan wanita. Tegaskan dengan lantang bahwa gerakan feminisme bukan hanya sekedar tren.
Menciptakan sebuah karya yang baik juga harus memperhatikan aspek-aspek tertentu agar tidak semakin menimbulkan kesalahpahaman. Karya tersebut tidak harus menyindir atau bahkan mendiskriminasi gender tertentu, sebab kesetaraan bukan hanya sebatas perang tempur antara pria dan wanita.
Jangan jadikan feminisme sebagai penghilang status maskulinitas pada pria. Jadikan feminisme sebagai langkah awal bahwa pria juga perlu paham kesan maskulin dan patriarki bukanlah bentuk penindasan untuk kaum wanita. Pria perlu menyadari dengan mendukung feminisme,, mereka akan terbebas dari bayang-bayang patriarki.
Bagai siang dan malam, pria dan wanita diciptakan untuk saling melengkapi. Bukankah lebih baik jika kita bisa hidup berdampingan dengan bersejuk hati?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H