Rumah itu tampak berbeda sejak ku tinggal pergi beberapa waktu yang lalu. Tidak ada lagi rumput liar yang tumbuh sembarangan di halaman, pagar tua pembatas antara halaman dan jalan pun sudah tampak lebih berwarna. Sore itu entah dengan kekuatan apa, aku memberanikan diri lagi untuk lewat dari rumah yang dulu sering ku singgahi. Aku hanya berani berdiri menatap di luar pagar, bahkan itupun sanggup membuat hatiku berdesir. Setetes air terbit di ujung mata, aku rindu.
Di luar pagar itu, beberapa tahun yang lalu aku pernah berdiri dengan ragu. Halaman yang di tumbuhi rumput liar yang lebih tinggi dariku, pagar besi yang tinggi menjulang, cat rumah yang sudah tampak tua jarang dibaharui, kesan yang bisa ku tangkap saat itu hanya dingin dan misterius. Aku tidak ingin masuk ke dalam, aku benci hal-hal misterius. Hatiku sudah dingin, tidak ingin ku buat jadi beku jika harus bertandang ke rumah dingin dan misterius itu. Jadi saat itu kutinggalkan saja rumah itu tanpa pernah berpikir akan melewatinya lagi.
Lewat beberapa tahun setelah itu, tak pernah ku duga ingatan tentang rumah itu bersekelebat di pikiran. Hari itu ku putuskan untuk lewat hanya sekedar melihat bagaimana kondisi rumah itu. Rumah itu masih sama, dingin dan semakin misterius. kemisteriusannya ditambah dengan pagar tembok yang dibangun lebih tinggi dari pagar yang dulu. Aku tidak bisa lagi melihat keadaan di balik tembok tebal itu. Lalu kemudian, kamu keluar dengan wajah datar tak berekspresi dari pagar tembok yang sedang kuamati. Hanya melihatku lalu pergi seperti tidak ada siapa-siapa yang kau lihat. Aku menarik nafas lega sekaligus heran. Aku masih berdiri di luar pagar untuk beberapa jam, namun kamu tidak kunjung pulang. Kakiku kemudian kembali berjalan untuk pulang.
Aku tidak pernah mengira akan bertemu denganmu lagi. Di persimpangan jalan ketika aku hendak kembali ke rumah, ku lihat kamu berdiri menatap koran hari itu. Kamu masihlah kamu yang ku lihat terakhir kali. Dingin dan datar. Saat hendak melewatimu, kau mendongakkan kepala.
“ Hey, kau yang waktu itu berdiri di depan rumahku kan?,” suaramu tiba-tiba membuatku membeku. Suaramu hangat hari itu, sehangat matahari senja yang mulai turun ke Barat. Jadi kenapa aku membeku? Tentu saja karena takut ketahuan menguntit rumahmu selama beberapa jam. Aku tergelak menelan ludah, tersenyum semanis yang ku bisa lalu pergi melewatimu. Kubiarkan kamu berdiri tanpa ada balasan senja itu. Antara malu dan tidak peduli.
Waktu berjalan, hidupku pun berjalan sebagaimana adanya. Kau pun begitu, sesekali ku lihat kau di seberang jalan saat hendak pulang. Matahari masih sama, bangun dari Timur kemudian perlahan bergerak dan terlelap di Barat. Senja yang lain dengan langit yang sama. Kita berpapasan dengan ketidaksengajaan. Kau tersenyum tipis –sampai hampir tidak terlihat- ke arahku. Aku hanya menunduk untuk menyapa.
“ Hei, kau. Mau minum kopi di teras rumahku?,” suaramu menghentikan jalanku.
“ Boleh,” kataku singkat dan penuh keraguan.
Matahari sudah hampir menghilang. Kita tertawa entah untuk apa. Di teras rumahmu. Sore itu. Rumahmu masih terasa dingin untuk hatiku, tapi suaramu memberikan kehangatan yang sudah lama hilang dari hidupku. Hari sudah malam, aku pamitan untuk segera pulang.
Setelah hari itu lama aku baru melihatmu lagi. Tapi saat itu tak mengapa, tidak ada rindu, tidak ada hasrat untuk melihatmu lagi, semua terasa biasa. Sampai beberapa minggu kemudian kau mengundangku lagi untuk ‘minum kopi’ di teras rumahmu. Senja yang berbeda dengan langit yang sama. Ritual minum kopi itu pun akhirnya berlanjut untuk beberapa lama. Walaupun hanya bisa bertemu denganmu sesekali saja - sekali dalam beberapa bulan misalnya-, aku selalu menantikan pertemuan itu.
Suaramu terkadang mendingin, namun kopi di cangkir putih itu selalu bisa menghangatkan hatiku lagi. Tidak banyak hal yang ku tahu tentang hidupmu, pembicaraan kita hanya basa-basi dan tak pernah lebih dari itu. Meskipun aku sering ingin lebih dari itu, meskipun aku ingin masuk lebih dalam ke rumahmu dan bukan hanya duduk di teras dengan kopi di cangkir putih, aku berusaha menahan diri. Satu hal yang kusadari, kau tak ingin siapapun masuk ke rumahmu. Bahkan bertandang di teras saja adalah sebuah kemewahan.
Setelah setahun akhirnya aku bisa melihat ke dalam rumahmu dari luar. Kosong. Hanya itu yang bisa kudeskripsikan. Pernah ku tawarkan untuk mengisi kekosongan di dalam sana. Namun akhirnya kita terlibat pertengkaran besar, yang kemudian menjadi pemicu pertengkaran-pertengkaran di kemudian hari. Mungkin jika tahu akan begitu, akan ku tutup mulutku dan cukup bersyukur walaupun hanya bisa duduk di teras rumahmu.
Hari itu, senja yang berbeda dengan langit yang sama. Tanganku mendingin, hatiku akhirnya membeku. Di luar pagar rumahmu aku berdiri membisu, kau di hadapanku dengan kemarahan yang tidak akan pernah ku mengerti penyebabnya. Kau menyuruhku untuk pergi, jangan pernah datang bahkan lewat lagi dari rumahmu. Dengan kepala tertunduk aku berjalan gontai kembali ke rumah. Tidak hancur seperti dulu, hanya beku. Hatiku.
Tidak ada lagi ritual minum kopi di teras rumahmu sejak saat itu. Saat senja datang aku lebih sering bersembunyi menghindar, tidak ingin bertemu. Kemudian tubuhku pun bereaksi. Setiap kafein yang masuk ke dalam peredaran darah terasa seperti neraka. Setiap organ dan jaringan tubuhku seolah menolak dicekcoki dengan kafein. Aku berhenti tidak lagi menyesap kopi. Aku berhenti meskipun sangat rindu. Betapapun aku mencintai pahit yang terasa di ujung lidah, tubuhku tak sanggup berdamai dengan efeknya. Denganmu pun begitu. Meskipun akhirnya aku tersadar aku mencintaimu, aku harus berhenti. Hatiku tidak bisa membeku lebih dari ini.
Tapi akhirnya hari ini kuputuskan untuk melewati rumahmu lagi. Rinduku sudah kelewat batas. Tapi benar yang orang bilang. Rumahmu menghangat, tidak seperti dulu saat aku duduk berbagi tawa di teras. Lalu seorang keluar dari rumahmu membawa dua cangkir putih sambil tersenyum padamu.
Kau duduk di gazebo – yang tampaknya masih baru-, di halaman. Kau tersenyum lepas dan menyambut orang itu dengan pelukan. Di sini, di luar pagar rumahmu aku berdiri termangu, mengingat tak pernah sekalipun kau beri aku senyuman sehangat itu. Seorang tetangga memasuki halaman rumahmu, kemudian berbincang sambil sesekali berbagi tawa. Kau tertawa, orang itu tertawa, tetanggamu tertawa.
Dari luar pagar rumahmu, aku tersenyum bahagia melihat kehidupan barumu. Rumah baru yang tidak dingin dan penuh misteri lagi, seseorang yang akhirnya mengisi kekosongan rumahmu, bahkan tetangga yang sudah bisa melewati batas pagarmu. Meskipun aku tidak pernah lebih dari seorang tamu di teras rumah, hari itu, senja yang berbeda dengan langit yang sama, aku tersenyum bahagia. Ku harap kamu bahagia dengan hidup barumu yang lebih berwarna.
Aku masih mencintaimu.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI