Mohon tunggu...
Cerpen Pilihan

Rumahmu

14 September 2016   23:24 Diperbarui: 14 September 2016   23:32 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setelah setahun akhirnya aku bisa melihat ke dalam rumahmu dari luar. Kosong. Hanya itu yang bisa kudeskripsikan. Pernah ku tawarkan untuk mengisi kekosongan di dalam sana. Namun akhirnya kita terlibat pertengkaran besar, yang kemudian menjadi pemicu pertengkaran-pertengkaran di kemudian hari. Mungkin jika tahu akan begitu, akan ku tutup mulutku dan cukup bersyukur walaupun hanya bisa duduk di teras rumahmu.

Hari itu, senja yang berbeda dengan langit yang sama. Tanganku mendingin, hatiku akhirnya membeku. Di luar pagar rumahmu aku berdiri membisu, kau di hadapanku dengan kemarahan yang tidak akan pernah ku mengerti penyebabnya. Kau menyuruhku untuk pergi, jangan pernah datang bahkan lewat lagi dari rumahmu. Dengan kepala tertunduk aku berjalan gontai kembali ke rumah. Tidak hancur seperti dulu, hanya beku. Hatiku.

Tidak ada lagi ritual minum kopi di teras rumahmu sejak saat itu. Saat senja datang aku lebih sering bersembunyi menghindar, tidak ingin bertemu. Kemudian tubuhku pun bereaksi. Setiap kafein yang masuk ke dalam peredaran darah terasa seperti neraka. Setiap organ dan jaringan tubuhku seolah menolak dicekcoki dengan kafein. Aku berhenti tidak lagi menyesap kopi. Aku berhenti meskipun sangat rindu. Betapapun aku mencintai pahit yang terasa di ujung lidah, tubuhku tak sanggup berdamai dengan efeknya. Denganmu pun begitu. Meskipun akhirnya aku tersadar aku mencintaimu, aku harus berhenti. Hatiku tidak bisa membeku lebih dari ini.

Tapi akhirnya hari ini kuputuskan untuk melewati rumahmu lagi. Rinduku sudah kelewat batas. Tapi benar yang orang bilang. Rumahmu menghangat, tidak seperti dulu saat aku duduk berbagi tawa di teras. Lalu seorang keluar dari rumahmu membawa dua cangkir putih sambil tersenyum padamu. 

Kau duduk di gazebo – yang tampaknya masih baru-, di halaman. Kau tersenyum lepas dan menyambut orang itu dengan pelukan. Di sini, di luar pagar rumahmu aku berdiri termangu, mengingat tak pernah sekalipun kau beri aku senyuman sehangat itu. Seorang tetangga memasuki halaman rumahmu, kemudian berbincang sambil sesekali berbagi tawa. Kau tertawa, orang itu tertawa, tetanggamu tertawa.

Dari luar pagar rumahmu, aku tersenyum bahagia melihat kehidupan barumu. Rumah baru yang tidak dingin dan penuh misteri lagi, seseorang yang akhirnya mengisi kekosongan rumahmu, bahkan tetangga yang sudah bisa melewati batas pagarmu. Meskipun aku tidak pernah lebih dari seorang tamu di teras rumah, hari itu, senja yang berbeda dengan langit yang sama, aku tersenyum bahagia. Ku harap kamu bahagia dengan hidup barumu yang lebih berwarna.

Aku masih mencintaimu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun