Kapan terakhir anda membaca koran? Pertanyaan ini sering kali dilontarkan oleh dosen-dosen senior kepada mahasiswa/i di dalam kelas jurnalistik di kampus saya. Jawaban yang didapatkan sangatlah beragam. Ada yang menjawab sudah lama sekali, dua hari lalu, tadi pagi sebelum ke kampus sampai jawaban lupa. Dari data yang dikeluarkan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat pembaca media cetak dan koran salah satunya tersisa 15 persen (http://jurnalpatrolinews.com/2016/10/11/pembaca-koran-tersisa-15-persen-online-sudah-merajai/). Terhadap fenomena ini muncul berbagai anggapan yang mencoba membaca akar masalahnya ataupun memikirkan langkah selanjutnya untuk menghadapi temuan ini.
       Persoalan di atas dipandang serius dan sangat menantang bagi beberapa pihak tetapi tidaklah demikian bagi pihak lain. "Ya mau gimana era kita sudah digital. Masa tetap pakai yang jadul?" Begitulah kira-kira. Namun ketika kita telusuri lebih ke belakang, bentuk baru pola konsumsi informasi masyarakat saat ini dengan contoh di atas dipengaruhi oleh praktik jurnalisme kita. Ada bentuk baru yang dipakai oleh kerja jurnalisme kita yang sekarang. Bukan lagi yang konvensional. Semua sudah online. Siap tidak siap, mau tidak mau "wajah baru" jurnalisme sudah di depan mata anda dan saya. Tidak ada pilihan lain selain buka lalu baca. Lantas apakah wajah baru jurnalisme itu membawa masalah baru bagi jurnalisme kita atau malah melengkapi jurnalisme konvensional kita? Apakah yang online tidak perlu dibaca karena kurang kredibel? Mari kita lihat lebih jauh.
       Jurnalisme atau jurnalistik sebagai kerjanya oleh MacDougall dalam (Kusumaningrat, 2016:15) disebut sebagai aktivitas mengumpulkan berita, mencari fakta, dan melaporkan peristiwa. Tulisan ini tidak memperdepatkan atau memaparkan berbagai konsep jurnalisme yang dikemukakan oleh para pakar di dunia jurnalistik, melainkan mencoba mengkaji ulang relevansi dari semangat jurnalisme dengan kehadiran internet yang kemudian memaksa kita harus serba online.
       Ada persoalan penting yang harus dikemukakan dengan jelas ketika "wabah" online menyerang kegiatan jurnalistik kita saat ini yang pada akhirnya melahirkan istilah baru yaitu jurnalisme online. Ketika persoalan ke-online-nan dipasangkan pada jurnalisme maka jelas menjadikan bentuk jurnalisme sendiri berubah. Karena online adalah cara atau lebih tepatnya medium yang difasilitasi oleh jaringan internet maka kerja jurnalisme yang meliputi tahap mengumpulkan, menulis, dan melaporkan sebuah peristiwa pun sudah harus terhubung dengan internet.
       Secara historis media online sebagai bentuk "jurnalisme baru"  pertama di Indonesia muncul pada 17 Agustus 1994. Nama media itu www.republika.co.id. Media online ini lahir satu hari setelah harian republika diterbitkan (Margianto, & Syaefullah, 2012:16). Setelah itu ada media lain seperti: tempointeraktif yang sekarang dikenal www.tempo.co (1996), www.waspada.co.id (1997), dan kompas online www.kompas.com (1997). Ketiga media inilah perintis jurnalisme berbasis internet di Indonesia. Namun kehadiran www.detik.com tahun 1998 menambah warna baru media online di tanah air.Â
Detik adalah media online yang murni berdiri sendiri. Ia tidak memiliki bentuk cetak seperti ketiga media sebelumnya sebagai pendahulunya. Hingga saat ini cukup sulit menghitung berapa jumlah media-media online  yang melanglang buana di dunia maya. Berdasarkan data dari dewan pers tahun 2016 dari sekitar 2.000 media online yang ada kira-kira hanya 211 yang mengikuti kaidah jurnalistik (https://news.detik.com/berita/3122996/dewan-pers-ada-2000-media-online-hanya-211-yang-sesuai-kaidah-jurnalistik).
       Begitu banyaknya media-media online yang sampai ke mata publik di satu sisi adalah konsekuensi dari trend baru jurnalisme kita namun di sisi lain adalah akibat dari pola akses informasi masyarakat kita yang telah berubah. Masyarakat kita menempatkan "lahan dunia maya" sebagai tempat memburu informasi. Sebagai contoh, tidak seperi dulu, berita tentang demonstrasi di Jakarta baru bisa dibaca keesokan hari setelah demonstrasi di halaman-halaman surat kabar. Namun sekarang tidaklah demikian. Peristiwa yang baru terjadi satu jam yang lalu atau sepuluh menit yang lalu sudah bisa dibaca di media-media online. Begitu cepat bukan? Aspek kecepatan inilah yang sangat "dituhankan" oleh media-media online.
       "Berita online harus cepat dan merupakan rangkaian perkembangan atas suatu peristiwa" (Margianto, & Syaefullah, 2012: 32). Sudah semakin jelas bahwa media-media online yang lamban menyajikan berita kepada publik bukanlah media online ideal. Selain itu aspek keringkasan yang diterapkan oleh kerja jurnalisme online pun menjadi sangat penting. Dengan demikian kita mengenal istilah jurnalisme empat paragraf sebab berita yang disajikan sepotong-sepotong. Tidak seperi berita di dalam surat kabar konvensional.
       Di lain pihak kecepatan dan keringkasan yang ditawarkan oleh bentuk baru media jurnalisme kita secara bisnis atau profit sangat menguntungkan bagi mereka. Ada istilah traffic yang adalah "aktivitas pada satu halaman situs yang dihasilkan dari kunjungan pengguna internet dan aktivitas pengguna internet di halaman itu" (Margianto, & Syaefullah, 2012:29).Â
Ini semacam rating bagi televisi atau oplah bagi media cetak. Traffic inilah yang akan ditawarkan kepada pengiklan untuk memajangkan iklan mereka di dinding media online bersangkutan. Karena traffic menjadi barometer apakah sebuah berita yang disajikan diminati pembaca atau tidak sehingga peluang apakah iklan yang dipasang dikunjungi atau tidak dapat diperkirakan. Lantas pertanyaan paling penting apakah kehadiran media-media online dengan identitasnya tersebut sedikit banyak mengubah denyut jantung jurnalisme "jadul" kita? Bisa ya bisa tidak.
       Dikatakan ya apabila pakem jurnalisme yang dipertahankan dari dulu terdistorsi perlahan-lahan oleh semangat ke-online-an. Benar bahwa  jurnalisme online sangat membuka peluang keterlibatan publik dalam sebuah berita yang disajikan (interaktifitas). Ini dapat kita lihat dari adanya kolom komentar di setiap media online. Dengan cepat dan mudah anda bisa merespon sebuah sajian media online. Entah kesetujuan ataupun ketidaksetujuan. Semua diakomodasi di sini.Â
Namun atas nama keetisan yang sangat dijunjung oleh kerja jurnalisme jelas terjadi pelanggaran. Mengapa? Karena komentar-komentar yang muncul sering merupakan hujatan atau makian. Bukan hanya itu pelanggaran terhadap semangat keberimbangan berita (cover both side) diabaikan. Di mana pelanggaran itu dilihat? Ya jelas di dalam komentar-komentar pembaca bukan? Dan jelas bahwa komentar-komentar itu bukan produk jurnalisme. Namun apa boleh buat semua orang bisa membaca dan membuat komentar. Dan ini melekat dengan berita yang dimuat oleh media.
       Apa yang dikatakan oleh anggota Dewan Pers Agus Sudibyo "media siber memang membuka ruang terhadap kebebasan berpendapat, tapi prinsip-prinsip ruang publik yang beradab tetap harus dipatuhi. Kebebasan berpendapat tetap memiliki batas-batasnya yaitu etika publik dan hak orang lain harus diperlakukan secara adil" (Margianto, & Syaefullah, 2012:29) menjadi semakin sinkron dengam kemelut jurnalisme kontemporer kita saat ini. Kita seperi ngerumpi, hanya saja beda ruang. Kita ngerumpinya online. Itu baru beberapa pelanggaran belum yang lain.
       Kecepatan dan keringkasan berita-berita online pun sering melalaikan kualitas dan kredibilitas sebuah berita. Menjadi pertanyaan apakah benar bahwa dengan berita yang sepotong-sepotong dan cepat sampai ke mata publik menerapkan unsur 5W+1H yang adalah jiwa paling luhur dari sebuah berita jurnalistik? Persoalan ini perlu diverifikasi. Tentu yang dikejar adalah siapa yang paling pertama menyajikan berita yang sangat aktual. Lagi-lagi "dewa" traffic disembah di sini. Yang penting judul harus menarik agar pengunjung rajin ngeklik. Dan dari banjir ngeklik itu media bersangkutan bisa hidup dengan keuntungan yang tidak sedikit.
       Menjadi rumit lagi apabila berita-berita yang sampai ke publik diyakini sebagai berita yang faktual. Proses verifikasi kebenaran berita tidak dilakukan. Ini sering terjadi di dalam masyarakat dengan tingkat literasi media rendah. Pertanggungjawaban kepada publik dilanggar dengan tahu dan mau. Media yang seharusnya menjadi agen edukasi masyarakat tidak menjalankan fungsinya dengan baik dan benar. Kita seperti mengiyakan saja tragedi the fload of information seperti yang diungkapkan Richard M. Rubin. Dan sayang bahwa informasi yang membanjiri kita jauh dari jangkauan kualitas dan kredibilitas.Â
       Kehadiran media-media online pun bisa kita klaim tidak mengubah tradisi jurnalisme kita. Klaim ini menjadi benar apabila kode etik jurnalistik yang menjadi jantung kegiatan meliput, menulis, dan menyebarkan berita dijadikan kitab suci yang sah oleh para pekerja media. Dari jurnalis sampai redaktur dan yang empunya media. Kita bisa merujuk pada frasa "jurnalisme online" yang dipakai. Frasa ini masuk dalam kelompok frase atributuf. Artinya ada unsur diterangkan dan menerangkan. Yang berkedudukan sebagai diterangkan adalah jurnalisme. Sedangkan online berkedudukan sebagai menerangkan.
 Hemat kata online menerangkan jurnalisme. Sudah semakin jelas bahwa yang menjadi inti adalah jurnalismenya. Namun tidak berarti onlinenya tidak penting. Kata online mungkin lebih tepatnya kita pahami sebagai alat, atau saluran di mana kegiatan jurnalistik dilakukan dengan konektivitas internet sebagai jaminannya. Ini hanya soal pemindahan ruang bukan pemindahan "roh" jurnalisme kita. Apabila hal ini tidak diperhatikan maka batasan tentang jurnalisme yang ideal semakin kabur, buram dan bahkan hilang.
       Terhadap persoalan di atas ada beberapa solusi yang mungkin bisa dipertimbangkan. Pertama, apabila media-medai online yang giat menyajikan berita tetap mengklaim diri melakukan kegiatan jurnalistik maka rujukaan tentang kode etik jurnalistik tetaplah dipakai. Keberimbangan berita, kebenaran dan keakuratan berita, serta pertanggungjawaban kepada publik tidak harus dilalaikan demi menghalalkan aspek kecepatan. Apabila media-media ini tetap berkomitmen menyebarkan berita maka pedoman penulisan berita siber yang dikeluarkan dewan pers harus dipakai. Â
       Kedua, pihak-pihak yang berkepentingan di dalam kegiatan jurnalistik perlu memikirkan bersama kaidah-kaidah yang jelas untuk media-media online apabila diksi jurnalisme online tetap dipakai. Jangan sampai media-media online tidak bedanya medsos(media sosial). Posting saja status dan tinggal menunggu likedan komentar yang masuk. Kemudian kita akan lebih tertarik dengan berbagai komentar yang masuk entah yang setuju atau tidak setuju ketimbang satus yang kita posting. Mengolinekan jurnalisme jangan sampai membuat semakin lain (melainkan) bentuk khas jurnalisme kita yang dulu. Jika tidak cari saja istilah lain untuk menggantikan frasa "jurnalisme online". Ngebutisme online mungkin? Siapa tau cocok.
Sumber rujukan
Margianto, J. Heru., & Syaeffulah, A. (2012). Media online: pembaca, Â laba, dan etika.Jakarta, Indonesia: Aliansi Jurnalis Independen (AJI)
      Kusumaningrat, H., & Kusumaningrat, H. (2016). Jurnalistik; teori dan praktik.Bandung, Indonesia: Rosdakarya
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H