Namun atas nama keetisan yang sangat dijunjung oleh kerja jurnalisme jelas terjadi pelanggaran. Mengapa? Karena komentar-komentar yang muncul sering merupakan hujatan atau makian. Bukan hanya itu pelanggaran terhadap semangat keberimbangan berita (cover both side) diabaikan. Di mana pelanggaran itu dilihat? Ya jelas di dalam komentar-komentar pembaca bukan? Dan jelas bahwa komentar-komentar itu bukan produk jurnalisme. Namun apa boleh buat semua orang bisa membaca dan membuat komentar. Dan ini melekat dengan berita yang dimuat oleh media.
       Apa yang dikatakan oleh anggota Dewan Pers Agus Sudibyo "media siber memang membuka ruang terhadap kebebasan berpendapat, tapi prinsip-prinsip ruang publik yang beradab tetap harus dipatuhi. Kebebasan berpendapat tetap memiliki batas-batasnya yaitu etika publik dan hak orang lain harus diperlakukan secara adil" (Margianto, & Syaefullah, 2012:29) menjadi semakin sinkron dengam kemelut jurnalisme kontemporer kita saat ini. Kita seperi ngerumpi, hanya saja beda ruang. Kita ngerumpinya online. Itu baru beberapa pelanggaran belum yang lain.
       Kecepatan dan keringkasan berita-berita online pun sering melalaikan kualitas dan kredibilitas sebuah berita. Menjadi pertanyaan apakah benar bahwa dengan berita yang sepotong-sepotong dan cepat sampai ke mata publik menerapkan unsur 5W+1H yang adalah jiwa paling luhur dari sebuah berita jurnalistik? Persoalan ini perlu diverifikasi. Tentu yang dikejar adalah siapa yang paling pertama menyajikan berita yang sangat aktual. Lagi-lagi "dewa" traffic disembah di sini. Yang penting judul harus menarik agar pengunjung rajin ngeklik. Dan dari banjir ngeklik itu media bersangkutan bisa hidup dengan keuntungan yang tidak sedikit.
       Menjadi rumit lagi apabila berita-berita yang sampai ke publik diyakini sebagai berita yang faktual. Proses verifikasi kebenaran berita tidak dilakukan. Ini sering terjadi di dalam masyarakat dengan tingkat literasi media rendah. Pertanggungjawaban kepada publik dilanggar dengan tahu dan mau. Media yang seharusnya menjadi agen edukasi masyarakat tidak menjalankan fungsinya dengan baik dan benar. Kita seperti mengiyakan saja tragedi the fload of information seperti yang diungkapkan Richard M. Rubin. Dan sayang bahwa informasi yang membanjiri kita jauh dari jangkauan kualitas dan kredibilitas.Â
       Kehadiran media-media online pun bisa kita klaim tidak mengubah tradisi jurnalisme kita. Klaim ini menjadi benar apabila kode etik jurnalistik yang menjadi jantung kegiatan meliput, menulis, dan menyebarkan berita dijadikan kitab suci yang sah oleh para pekerja media. Dari jurnalis sampai redaktur dan yang empunya media. Kita bisa merujuk pada frasa "jurnalisme online" yang dipakai. Frasa ini masuk dalam kelompok frase atributuf. Artinya ada unsur diterangkan dan menerangkan. Yang berkedudukan sebagai diterangkan adalah jurnalisme. Sedangkan online berkedudukan sebagai menerangkan.
 Hemat kata online menerangkan jurnalisme. Sudah semakin jelas bahwa yang menjadi inti adalah jurnalismenya. Namun tidak berarti onlinenya tidak penting. Kata online mungkin lebih tepatnya kita pahami sebagai alat, atau saluran di mana kegiatan jurnalistik dilakukan dengan konektivitas internet sebagai jaminannya. Ini hanya soal pemindahan ruang bukan pemindahan "roh" jurnalisme kita. Apabila hal ini tidak diperhatikan maka batasan tentang jurnalisme yang ideal semakin kabur, buram dan bahkan hilang.
       Terhadap persoalan di atas ada beberapa solusi yang mungkin bisa dipertimbangkan. Pertama, apabila media-medai online yang giat menyajikan berita tetap mengklaim diri melakukan kegiatan jurnalistik maka rujukaan tentang kode etik jurnalistik tetaplah dipakai. Keberimbangan berita, kebenaran dan keakuratan berita, serta pertanggungjawaban kepada publik tidak harus dilalaikan demi menghalalkan aspek kecepatan. Apabila media-media ini tetap berkomitmen menyebarkan berita maka pedoman penulisan berita siber yang dikeluarkan dewan pers harus dipakai. Â
       Kedua, pihak-pihak yang berkepentingan di dalam kegiatan jurnalistik perlu memikirkan bersama kaidah-kaidah yang jelas untuk media-media online apabila diksi jurnalisme online tetap dipakai. Jangan sampai media-media online tidak bedanya medsos(media sosial). Posting saja status dan tinggal menunggu likedan komentar yang masuk. Kemudian kita akan lebih tertarik dengan berbagai komentar yang masuk entah yang setuju atau tidak setuju ketimbang satus yang kita posting. Mengolinekan jurnalisme jangan sampai membuat semakin lain (melainkan) bentuk khas jurnalisme kita yang dulu. Jika tidak cari saja istilah lain untuk menggantikan frasa "jurnalisme online". Ngebutisme online mungkin? Siapa tau cocok.
Sumber rujukan
Margianto, J. Heru., & Syaeffulah, A. (2012). Media online: pembaca, Â laba, dan etika.Jakarta, Indonesia: Aliansi Jurnalis Independen (AJI)
      Kusumaningrat, H., & Kusumaningrat, H. (2016). Jurnalistik; teori dan praktik.Bandung, Indonesia: Rosdakarya