Mohon tunggu...
Oka Gualbertus
Oka Gualbertus Mohon Tunggu... -

Seorang pemula di dunia media. Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Atma Jaya Yogyakarta.Giat menulis di kompasiana. Beberapa featurenya pernah dimuat di majalah Warta Flobamora. Penyuka dunia fotografi human interest. Akun medsosnya (http://www.facebook.com/OkaGualbertus, http://www.twitter.com/OkaGualbertus, dan http://www.instagram.com/okka_gualbertus)

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

"Mengonlinekan" Jangan Sampai "Melainkan" Jurnalisme

22 September 2017   00:52 Diperbarui: 22 September 2017   09:45 674
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

             Kapan terakhir anda membaca koran? Pertanyaan ini sering kali dilontarkan oleh dosen-dosen senior kepada mahasiswa/i di dalam kelas jurnalistik di kampus saya. Jawaban yang didapatkan sangatlah beragam. Ada yang menjawab sudah lama sekali, dua hari lalu, tadi pagi sebelum ke kampus sampai jawaban lupa. Dari data yang dikeluarkan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat pembaca media cetak dan koran salah satunya tersisa 15 persen (http://jurnalpatrolinews.com/2016/10/11/pembaca-koran-tersisa-15-persen-online-sudah-merajai/). Terhadap fenomena ini muncul berbagai anggapan yang mencoba membaca akar masalahnya ataupun memikirkan langkah selanjutnya untuk menghadapi temuan ini.

             Persoalan di atas dipandang serius dan sangat menantang bagi beberapa pihak tetapi tidaklah demikian bagi pihak lain. "Ya mau gimana era kita sudah digital. Masa tetap pakai yang jadul?" Begitulah kira-kira. Namun ketika kita telusuri lebih ke belakang, bentuk baru pola konsumsi informasi masyarakat saat ini dengan contoh di atas dipengaruhi oleh praktik jurnalisme kita. Ada bentuk baru yang dipakai oleh kerja jurnalisme kita yang sekarang. Bukan lagi yang konvensional. Semua sudah online. Siap tidak siap, mau tidak mau "wajah baru" jurnalisme sudah di depan mata anda dan saya. Tidak ada pilihan lain selain buka lalu baca. Lantas apakah wajah baru jurnalisme itu membawa masalah baru bagi jurnalisme kita atau malah melengkapi jurnalisme konvensional kita? Apakah yang online tidak perlu dibaca karena kurang kredibel? Mari kita lihat lebih jauh.

             Jurnalisme atau jurnalistik sebagai kerjanya oleh MacDougall dalam (Kusumaningrat, 2016:15) disebut sebagai aktivitas mengumpulkan berita, mencari fakta, dan melaporkan peristiwa. Tulisan ini tidak memperdepatkan atau memaparkan berbagai konsep jurnalisme yang dikemukakan oleh para pakar di dunia jurnalistik, melainkan mencoba mengkaji ulang relevansi dari semangat jurnalisme dengan kehadiran internet yang kemudian memaksa kita harus serba online.

             Ada persoalan penting yang harus dikemukakan dengan jelas ketika "wabah" online menyerang kegiatan jurnalistik kita saat ini yang pada akhirnya melahirkan istilah baru yaitu jurnalisme online. Ketika persoalan ke-online-nan dipasangkan pada jurnalisme maka jelas menjadikan bentuk jurnalisme sendiri berubah. Karena online adalah cara atau lebih tepatnya medium yang difasilitasi oleh jaringan internet maka kerja jurnalisme yang meliputi tahap mengumpulkan, menulis, dan melaporkan sebuah peristiwa pun sudah harus terhubung dengan internet.

              Secara historis media online sebagai bentuk "jurnalisme baru"  pertama di Indonesia muncul pada 17 Agustus 1994. Nama media itu www.republika.co.id. Media online ini lahir satu hari setelah harian republika diterbitkan (Margianto, & Syaefullah, 2012:16). Setelah itu ada media lain seperti: tempointeraktif yang sekarang dikenal www.tempo.co (1996), www.waspada.co.id (1997), dan kompas online www.kompas.com (1997). Ketiga media inilah perintis jurnalisme berbasis internet di Indonesia. Namun kehadiran www.detik.com tahun 1998 menambah warna baru media online di tanah air. 

Detik adalah media online yang murni berdiri sendiri. Ia tidak memiliki bentuk cetak seperti ketiga media sebelumnya sebagai pendahulunya. Hingga saat ini cukup sulit menghitung berapa jumlah media-media online  yang melanglang buana di dunia maya. Berdasarkan data dari dewan pers tahun 2016 dari sekitar 2.000 media online yang ada kira-kira hanya 211 yang mengikuti kaidah jurnalistik (https://news.detik.com/berita/3122996/dewan-pers-ada-2000-media-online-hanya-211-yang-sesuai-kaidah-jurnalistik).

              Begitu banyaknya media-media online yang sampai ke mata publik di satu sisi adalah konsekuensi dari trend baru jurnalisme kita namun di sisi lain adalah akibat dari pola akses informasi masyarakat kita yang telah berubah. Masyarakat kita menempatkan "lahan dunia maya" sebagai tempat memburu informasi. Sebagai contoh, tidak seperi dulu, berita tentang demonstrasi di Jakarta baru bisa dibaca keesokan hari setelah demonstrasi di halaman-halaman surat kabar. Namun sekarang tidaklah demikian. Peristiwa yang baru terjadi satu jam yang lalu atau sepuluh menit yang lalu sudah bisa dibaca di media-media online. Begitu cepat bukan? Aspek kecepatan inilah yang sangat "dituhankan" oleh media-media online.

             "Berita online harus cepat dan merupakan rangkaian perkembangan atas suatu peristiwa" (Margianto, & Syaefullah, 2012: 32). Sudah semakin jelas bahwa media-media online yang lamban menyajikan berita kepada publik bukanlah media online ideal. Selain itu aspek keringkasan yang diterapkan oleh kerja jurnalisme online pun menjadi sangat penting. Dengan demikian kita mengenal istilah jurnalisme empat paragraf sebab berita yang disajikan sepotong-sepotong. Tidak seperi berita di dalam surat kabar konvensional.

             Di lain pihak kecepatan dan keringkasan yang ditawarkan oleh bentuk baru media jurnalisme kita secara bisnis atau profit sangat menguntungkan bagi mereka. Ada istilah traffic yang adalah "aktivitas pada satu halaman situs yang dihasilkan dari kunjungan pengguna internet dan aktivitas pengguna internet di halaman itu" (Margianto, & Syaefullah, 2012:29). 

Ini semacam rating bagi televisi atau oplah bagi media cetak. Traffic inilah yang akan ditawarkan kepada pengiklan untuk memajangkan iklan mereka di dinding media online bersangkutan. Karena traffic menjadi barometer apakah sebuah berita yang disajikan diminati pembaca atau tidak sehingga peluang apakah iklan yang dipasang dikunjungi atau tidak dapat diperkirakan. Lantas pertanyaan paling penting apakah kehadiran media-media online dengan identitasnya tersebut sedikit banyak mengubah denyut jantung jurnalisme "jadul" kita? Bisa ya bisa tidak.

             Dikatakan ya apabila pakem jurnalisme yang dipertahankan dari dulu terdistorsi perlahan-lahan oleh semangat ke-online-an. Benar bahwa  jurnalisme online sangat membuka peluang keterlibatan publik dalam sebuah berita yang disajikan (interaktifitas). Ini dapat kita lihat dari adanya kolom komentar di setiap media online. Dengan cepat dan mudah anda bisa merespon sebuah sajian media online. Entah kesetujuan ataupun ketidaksetujuan. Semua diakomodasi di sini. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun