Mohon tunggu...
Oka Gualbertus
Oka Gualbertus Mohon Tunggu... -

Seorang pemula di dunia media. Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Atma Jaya Yogyakarta.Giat menulis di kompasiana. Beberapa featurenya pernah dimuat di majalah Warta Flobamora. Penyuka dunia fotografi human interest. Akun medsosnya (http://www.facebook.com/OkaGualbertus, http://www.twitter.com/OkaGualbertus, dan http://www.instagram.com/okka_gualbertus)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Here Nere; Menghidupi Budaya dan Ekonomi

30 Agustus 2017   22:18 Diperbarui: 31 Agustus 2017   05:49 2498
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aspek Budaya

Jika anda pernah melintas jalur Pantura (pantai utara) Flores Timur tentu nama kampung ini tidak lagi asing. Sebut saja Leworahang nama kampungnya, atau Ile Padung nama Desanya. Perkampungan ini letaknya di pesisir pantai utara Flores yang cukup eksotis pemandangannya. Apalagi menunggu matahari terbenam di atas permukaan laut. Rasanya mau mengucapkan terima kasih berulang-ulang untuk Sang Khalik, sang pemberi senja. Itu baru pemandangannya, belum lagi melihat seluk beluk kehidupan masyarakatnya. Tidak kalah menarik dengan pemandangan alamnya.

Rata-rata penduduk kampung ini adalah petani. Tidak jauh berbeda dengan penduduk desa lain di Flores Timur. Namun ada yang mungkin berbeda yakni budaya mengiris tuak. Saya sebut budaya karena aktivitas ini sudah mengakar kuat dari generasi ke generasi hingga saat ini.

Ada begitu banyak makna yang terkandung di dalam pekerjaan yang satu ini. Tidak heran lagi, jika ketika masuk wilayah kampung Leworahang pohon-pohon tuak (lontar) berdiri tegap. Menjulang tinggi seperti menara-menara hidup. Dari yang masih berumur paling muda sampai yang paling  tua. Tentu sudah semakin jelas bahwa kehidupan masyarakat desa Ile Padung tidak dipisahkan dari pohon-pohon tuak itu. Pohon tuak adalah lahan untuk menemukan kesejahteraan hidup. Lahir maupun batin.

Here nere (mengiris tuak) yang kemudian disuling menjadi arak telah menjadi pekerjaan  pokok bagi laki-laki dewasa atau pria berkeluarga di Leworahang. Tidak ada patokan umur yang baku bagi seorang pria kampung untuk terjun ke dalam pekerjaan ini. Mereka-mereka yang merasa diri siap dan mampu bisa saja menjadi pengiris tuak. Mengapa? Karena ini bukalah pekerjaan yang mudah. Dari proses mengiris sampai menyuling tuak menjadi arak memakan waktu yang tidak sedikit.

Pengorbanan dan keuletan adalah modal dasar bagi seorang pengiris tulen. Belum lagi mencari kayu bakar yang bagus untuk proses penyulingan pun cukup menyita tenaga. Pekerjaan here nere ini semacam sebuah identitas sebagai seorang pria kampung yang telah atau sudah mampu menjalani kehidupan secara mandiri. Baik dalam keluarganya masing-masing ataupun secara individu. Hemat kata, mereka sudah mampu bertanggung jawab dengan kehidupannya.

Kegiatan mengiris tuak biasa dilakukan pada pagi dan sore hari sepanjang tahun. Dibandingkan sore, pada pagi hari jumlah tuak  yang dihasilkan lebih banyak. Banyak dan tidaknya dihitung dari berapa jumlah tuak per-ember atau per-jerigen yang didapat. Namun pada bulan Maret dan April, peralihan musim hujan ke musim kemarau adalah waktu dimana hasil irisan melimpah ruah. Tuak yang dihasilkan lebih banyak dibandingkan bulan-bulan lain karena uba (bagian lontar yang mengeluarkan tuak) masih panjang.

Jam empat subuh dan jam empat sore adalah waktu yang tepat untuk pergi ke epu (kebun) dengan membawa perkakas untuk here nere. Mulai dari nawing (tempat menyimpan tuak) hepe (pisau) untuk mengiris uba, sampai batu asa untuk menajamkan pisau.

Pohon lontar yang diiris jumlahnya bisa belasan pohon untuk satu orang saja. Paling banyak enam belas pohon dan paing sedikit lima sampai enam pohon. Oleh karena itu bagi mereka yang memiliki pohon lontar dalam jumlah yang banyak selalu ke epu lebih subuh atau lebih siang.

Kegiatan mengiris tuak tentu bukan rutinitas belaka. Ada nilai budaya, dan keyakinan  yang melingkupinya. Oleh karena pekerjaan ini diwariskan sejak dari generasi-generasi terdahulu, dipelajari dan kemudian dihidupkan hingga saat ini maka sudah jelas nilai budayanya sudah mapan. Ada nilai kerja keras dan kesanggupan bagi masyarakat setempat dalam menjalani pekerjaan ini. Berhadapan dengan pohon-pohon lontar yang tinggi dengan tiupan angin di ketinggian menjadi tantangan tersendiri.

Namun, nilai keberanian adalah sebuah modal yang membuat mereka tetap memilih menjadi para pengiris tulen. Di samping itu pohon-pohon tuak diyakini sebagai lahan yang telah menghidupkan mereka. Selama masih ada pohon tuak yang tumbuh dan hidup, di situ pekerjaan ini tidak mungkin ditinggalkan. Pun ada aspek lain yang diyakini, yaitu keselamatan kerja. Ini akan terwujud apabila keadilan dalam pembagian pohon-pohon tuak tidak disepelekan. Tidak ada yang lebih diuntungkan ataupun lebih dirugikan.

Aspek Ekonomi

Terlepas dari tanggung jawab sosial yang kadang kala jadi perdebatan, di mana mengkonsumsi arak sering membuat anggota masyarakat tertentu (anak muda khususnya) melakukan tindakan kriminal, bahkan menyebabkan kecelakaan lalu lintas yang berujung kematian, untuk menunjang kesejahteraan ekonomi pekerjaan ini tidak mungkin ditinggalkan.

Secara ekonomis pekerjaan ini kadang menjanjikan tetapi juga kadang tidak.Proses penjualan arak untuk menghasilkan uang pun kebanyakan melibatkan pihak yang berbeda. Ada ibu-ibu yang sudah dikenal oleh orang-orang kampung sebagai penujual arak walaupun kadang dijual sendiri oleh para pengiris. Jadi mereka membeli dari para pemilik arak (para pengiris) lalu menjualnya lagi.

Biasanya ibu-ibu itu membawa arak di dalam jerigen-jerigen ke Jawa (nama lain dari Larantuka bagi masyarakat setempat) untuk dijual. Tentu sudah ada pelanggan yang siap membeli. Entah untuk kebutuhan sendiri ataupun untuk dijual kembali di tempat lain. Ada juga cara lain yaitu menitipkan arak di kampung-kampung lain yang mayoritas masyarakatnya bukan pengiris tuak seperti di Leworahang.

Biasanya arak dijual per-botol atau per-jerigen. Harganya pun tergantung permintaan pembeli. Baik untuk kebutuhan upacara adat maupun hajatan masyarakat di dalam kampung maupun di luar kampung yang tidak dapat dipisahkan dari arak. Ketika pembelinya banyak sedangkan penyediaan arak terbatas harganya tentu lebih tinggi.

Begitupun sebaliknya ketika pembelinya sedikit dan penyediaannya banyak harganya pasti menurun. Harga perbotolnya kadang dari sepuluh ribu rupiah sampai dua puluh ribu rupiah pada saat penyediaan arak masih banyak. Namun ketika pohon lontar tidak lagi menghasilkan tuak dalam jumlah banyak, harga arak perbotol bisa di atas dua puluh ribu bahkan di atas tiga puluh ribu.

Dengan hitungan ekonomis seperti ini, sudah jelas bahwa here nere adalah pekerjaan yang sangat membantu perekonomian masyarakat kampung Leworahang, baik untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari maupun untuk pendidikan anak-anak mereka. Banyak keluarga yang mampu menyekolahkan anak-anak mereka di berbagai jenjang pendidikan. Jika sudah begitu, bukankah menjadi pengiris tuak adalah salah satu andalan dan sandaran mereka? Here nere; untuk budaya dan kebutuhan hidup.

Selamat bekerja para lelaki tangguh. Selama tanah masih menumbuhkan tunas-tunas lalu memelihara tunas-tunas itu menjadi pohon tuak yang menjulang tegap, tulang-tulangmu tetaplah tegap. Memeras keringat mentang nyawa. Banyak yang sdang menanti kembalimu dari epu.

*Narasumber tulisan: Bapak As Boki Aran. Pengiris tuak di Leworahang. Wawancara dilakukan pada tanggal 25 Juli 2017.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun