Aspek Ekonomi
Terlepas dari tanggung jawab sosial yang kadang kala jadi perdebatan, di mana mengkonsumsi arak sering membuat anggota masyarakat tertentu (anak muda khususnya) melakukan tindakan kriminal, bahkan menyebabkan kecelakaan lalu lintas yang berujung kematian, untuk menunjang kesejahteraan ekonomi pekerjaan ini tidak mungkin ditinggalkan.
Secara ekonomis pekerjaan ini kadang menjanjikan tetapi juga kadang tidak.Proses penjualan arak untuk menghasilkan uang pun kebanyakan melibatkan pihak yang berbeda. Ada ibu-ibu yang sudah dikenal oleh orang-orang kampung sebagai penujual arak walaupun kadang dijual sendiri oleh para pengiris. Jadi mereka membeli dari para pemilik arak (para pengiris) lalu menjualnya lagi.
Biasanya ibu-ibu itu membawa arak di dalam jerigen-jerigen ke Jawa (nama lain dari Larantuka bagi masyarakat setempat) untuk dijual. Tentu sudah ada pelanggan yang siap membeli. Entah untuk kebutuhan sendiri ataupun untuk dijual kembali di tempat lain. Ada juga cara lain yaitu menitipkan arak di kampung-kampung lain yang mayoritas masyarakatnya bukan pengiris tuak seperti di Leworahang.
Biasanya arak dijual per-botol atau per-jerigen. Harganya pun tergantung permintaan pembeli. Baik untuk kebutuhan upacara adat maupun hajatan masyarakat di dalam kampung maupun di luar kampung yang tidak dapat dipisahkan dari arak. Ketika pembelinya banyak sedangkan penyediaan arak terbatas harganya tentu lebih tinggi.
Begitupun sebaliknya ketika pembelinya sedikit dan penyediaannya banyak harganya pasti menurun. Harga perbotolnya kadang dari sepuluh ribu rupiah sampai dua puluh ribu rupiah pada saat penyediaan arak masih banyak. Namun ketika pohon lontar tidak lagi menghasilkan tuak dalam jumlah banyak, harga arak perbotol bisa di atas dua puluh ribu bahkan di atas tiga puluh ribu.
Dengan hitungan ekonomis seperti ini, sudah jelas bahwa here nere adalah pekerjaan yang sangat membantu perekonomian masyarakat kampung Leworahang, baik untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari maupun untuk pendidikan anak-anak mereka. Banyak keluarga yang mampu menyekolahkan anak-anak mereka di berbagai jenjang pendidikan. Jika sudah begitu, bukankah menjadi pengiris tuak adalah salah satu andalan dan sandaran mereka? Here nere; untuk budaya dan kebutuhan hidup.
Selamat bekerja para lelaki tangguh. Selama tanah masih menumbuhkan tunas-tunas lalu memelihara tunas-tunas itu menjadi pohon tuak yang menjulang tegap, tulang-tulangmu tetaplah tegap. Memeras keringat mentang nyawa. Banyak yang sdang menanti kembalimu dari epu.
*Narasumber tulisan: Bapak As Boki Aran. Pengiris tuak di Leworahang. Wawancara dilakukan pada tanggal 25 Juli 2017.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H