Mohon tunggu...
Okto Klau
Okto Klau Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penulis lepas

Menulis adalah mengabadikan pikiran

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Caleg, Baliho, dan Sampah

27 Januari 2024   17:14 Diperbarui: 3 Februari 2024   18:47 431
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sayid (54) memilah sampah dari ribuan atribut partai politik di dekat kantor Komisi Pemilihan Umum Kota Solo | KOMPAS/SRI REJEKI 

Caleg (Calon Legislatif), baliho, dan sampah adalah tiga hal yang sangat erat berhubungan satu sama lain di musim kampanye para caleg.

Para caleg memang membutuhkan berbagai macam instrumen untuk berkampanye. Salah satunya adalah dengan memasang baliho-baliho.

Baliho-baliho ukuran raksasa hingga baliho-baliho ukuran kecil bertebaran hampir di seantero pelosok negeri. Baliho-baliho dengan gambar wajah-wajah yang tersenyum ramah dengan kata-kata rayuan maut untuk para pemilih.

Itulah salah satu cara agar masyarakat bisa mengenal figur-figur politik ini selain turun untuk tatap muka secara langsung dengan masyarakat.

Meski beberapa pengamat politik berpendapat bahwa baliho tidak terlalu efektif lagi sebagai sarana kampanye tetapi cara ini tetap dipakai sampai saat ini.

Bahkan saat ini jumlah baliho-baliho semakin masif dari pemilu-pemilu sebelumnya. Hal ini juga dipicu dengan hadirnya berbagai jasa cetak baliho yang ada di hampir semua pelosok negeri.

Tidak ada yang salah untuk itu. Tetapi masalah yang muncul kemudian adalah ketika memasuki masa tenang, baliho-baliho tersebut akan menjadi sampah. 

Kelihatannya pesta demokrasi selain melahirkan para pemimpin, juga menciptakan sampah-sampah dari baliho-baliho yang dicetak.

Seharusnya kita sudah harus cerdas menggunakan media-media kampanye yang ramah lingkungan. Apalagi di zaman yang serba digital ini, para caleg bisa juga mengiklankan diri lewat media-media masa dan media digital.

Sampah baliho para caleg. Detik.com
Sampah baliho para caleg. Detik.com

Setiap kali ada Pemilu (Pemilihan Umum) baliho atau spanduk caleg (calon legislatif) dan capres/cawapres pasti bertebaran di mana-mana.

Coba bayangkan, di satu kabupaten ada sekitar 4 sampai 7 dapil (daerah pemilihan). Kalau ada 16 partai saja setiap dapil, maka ada sekitar 7 sampai 8 caleg per satu partai dikali 16 partai. Kita bisa menghitung berapa banyak baliho yang dicetak.

Apalagi baliho untuk setiap caleg bukan hanya 1. Setiap caleg bisa saja mencetak puluhan hingga ratusan baliho. Itu baru 1 dapil. Bila 3 sampai 4 dapil. Bisa dibayangkan berapa banyak baliho. Coba dikali lagi dengan berapa kabupaten di seluruh Indonesia.

Kalau dihitung-hitung untuk biaya cetak baliho saja bisa mencapai triliunan rupiah bila dikalkulasi se-Indonesia. Itu budget-nya.

Meski sepi dari media masa dan media sosial tetapi para caleg (calon legislatif) terus bergerilya mencari masa.

Pernahkah kita membayangkan apabila suatu saat pemilu tanpa baliho?

Pemilu tanpa baliho-baliho raksasa merupakan suatu mimpi yang diharapkan menjadi kenyataan suatu saat.

Tetapi kalau memang membutuhkan baliho, kita harus membuatnya dalam format lain. Barangkali baliho-baliho cetak kita kurangi dan perbanyak kampanye visual lewat media masa dan media sosial.

Kita harus memiliki tekad yang kuat untuk menyelesaikan persoalan sampah. Kita boleh saja berbicara lantang tetapi bila tidak diikuti dengan tindakan nyata, maka semua akan percuma.

Mengapa baliho caleg dan capres/cawapres menjadi sampah lingkungan yang serius?

Pertama bahan yang dipakai untuk mencetak baliho itu termasuk dalam kategori bahan berbahaya yang sulit terurai.

Dunia sedang memerangi sampah plastik dan sampah-sampah yang sulit terurai tetapi dengan pemilu kita justru menciptakan sampah-sampah berbahaya itu.

Sampah plastik dan sejenisnya membutuhkan ratusan tahun untuk terurai. Bukankah ini merusak bumi?

Kedua, proses produksinya menggunakan sumber daya yang besar dan berdampak buruk terhadap lingkungan. Misalnya polusi dan sebagainya.

Ketiga, baliho-baliho yang dipasang di jalan-jalan dan tempat-tempat umum selain menimbulkan polusi visual atau pandangan bisa menjadi penyebab kecelakaan bagi para pengguna jalan.

Itulah tiga masalah yang ditimbulkan akibat banyaknya baliho di musim pemilu ini.

Memang masyarakat mempunyai hak untuk tahu tentang informasi caleg dan program-program mereka. Tetapi harus dilakukan dengan lebih baik sehingga tidak merusak nilai estetika suatu kota  (polusi visual) dan juga merusak lingkungan (sampah).

Apabila dirasa bahwa baliho masih efektif sebagai salah satu alat kampanye, maka diupayakan agar menggunakan bahan-bahan yang nantinya bisa didaur ulang atau bahan-bahan yang ramah lingkungan.

Baliho atau spanduk yang tidak ramah lingkungan bagaimana pun juga nanti semuanya akan berakhir di tempat pembuangan akhir dalam jumlah besar.

Hal ini akan membebani lingkungan. Padahal seluruh dunia sedang berjuang membebaskan diri dari sampah. 

Sampah plastik merupakan masalah dan tantangan serius bagi lingkungan. Kita tidak harus membebani lingkungan dengan sampah yang dengan penuh kesadaran kita sendiri ciptakan.

Bila pro dengan perjuangan lingkungan hidup, kita harus berpikir ulang cara kampanye kita menggunakan baliho yang tidak ramah lingkungan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun